“Namun, apakah pernikahan juga akan membuat Gress berhenti menganggu mereka?”
Episode 13 : Pernikahan Dan Solusi
***
Bagi Rina, mempercepat pernikahan sama saja menambah beban Daniel. Sedangkan sejauh ini, Rina juga paham, meski orang tua Daniel memberi kekasihnya kemudahan hidup, tapi di sisi lain, Daniel yang merasa berkecil hati atas kenyataannya yang hanya sebatas anak adopsi, selalu berusaha melakukan segala sesuatunya sendiri. Daniel sudah memiliki banyak beban. Menyelesaikan S2 di luar negeri dalam kurun waktu satu tahun saja, Rina yakini bukan perkara mudah. Belum lagi usaha roti yang pria itu geluti. Rina sungguh tidak mau menambah beban Daniel dengan pernikahan yang harus dipercapat, bahkan sekalipun Rina belum memiliki cara lain untuk menghindari Gress. Apalagi Rina yakin, Daniel sudah harus sangat memutar bahkan memeras otak, hanya untuk mengurus semua itu.
“Aku mohon, Mas ... Mbak. Jangan minta Kak Daniel untuk mempercepat pernikahan. Kasihan Kak Daniel, apalagi apa-apa, Kak Daniel maunya urus sendiri. Bisa tambah kurus dia, kalau harus sampai keluar dari rencana.” Rina menunduk dalam. Ia sungguh memohon kepada Rafael dan Fina yang masih duduk di hadapannya.
Kesungguhan Rina membuat Fina merasa nelangsa. Apalagi dulunya, ia juga pernah merasakan bagaimana rasanya mendadak dipaksa menikah? Bingung, belum siap, tidak yakin, bahkan takut. Semua kemungkinan menakutkan dan jauh dari kebahagiaan meski hanya dalam bayangan itu menjadi perpaduan rasa yang membuat Fina jauh dari baik-baik saja. Pun meski hubungan Rina dan Daniel berlandaskan cinta. Daniel dan Rina saling mencintai, di mana keduanya juga sudah menyiapkan rencana pernikahan.
Nyatanya, Bian yang dulunya sangat dekat dengan Fina saja, mendadak menjelma menjadi pribadi dingin. Pribadi yang tidak Fina kenal dan justru menjadi orang paling jahat kepada Fina. Dan setelah Fina pikir-pikir, Bian pantas melakukan itu, apalagi saat itu, Bian dalam keadaan tertekan bahkan terpaksa, setelah sampai mendapatkan pengkhianatan yang sangat dalam dari Lia. Sungguh, Fina takut, Daniel juga bisa mendadak berubah andai saja pernikahannya dan Rina harus dipercepat. Fina takut Daniel berubah hanya karena dipaksa menikah hingga pria itu mengalami tekanan batin yang sulit diobati. Dan Fina tidak mau kasus Bian sampai terulang oleh Daniel.
“Justru, laki-laki akan tambah semangat dalam segelanya, kalau mereka sudah menikah. Kami kaum laki-laki akan semangat kerja, agar secepatnya pulang dan bertemu istri. Kami sungguh akan melakukan yang terbaik, apalagi kalau sudah sampai punya anak!” balas Rafael meyakinkan Rina, karena begitulah yang ia rasakan kepada Fina berikut keluarganya. “Tentunya kami juga tambah emangat ibadah, biar kelak masuk surga bersama anak dan istri bahkan keluarga besar!”
Fina belum berani berkomentar. Ia masih hanyut dengan pemikirannya. Mengenai pernikahan paksa, kendati sebelumnya, mempelai yang menjalaninya saling menyayangi dan sangat tidak mungkin untuk saling melukai, apalagi jika dilihat dari kedekatan keduanya yang sangat dekat.
“Sini, duduk.” Rafael menepuk-nepuk teras sebelahnya dan meminta Rina untuk duduk di sana. Mengenai pernikahan, ia sungguh ingin berbicara empat mata dengan Rina, sebelum ia melakukannya kepada Daniel, yang tentunya akan menjadi suami Rina. Baginya, sebagai sosok yang nantinya akan menjadi kepala keluarga, Daniel harus lebih siap dalam segala hal, termasuk siap menerima kemungkinan terburuk. Pun meski kemungkinan buruk dalam hubungan keduanya terbilang sangat kecil. Terlebih sejauh ini, hubungan Rina dan Daniel lancar jaya, bahkan sekalipun keduanya sampai harus menjalani LDR.
Rina yang masih merasa tidak yakin, masih merasa terbebani sekaligus bersalah jika harus menambah beban Daniel, berangsur melangkah dan kemudian duduk di sebelah Rafael.
“Mas ...?” rengek Rina yang baru saja duduk. Ia menunduk tak bersemangat.
Rafael menepuk-nepuk punggung Rina. “Bukankah pernikahan menjadi tujuan hubungan kalian?”
“Namun, apakah pernikahan juga akan membuat Gress berhenti menganggu mereka? Kita enggak tahu apa yang akan terjadi nanti bahkan setelah ini, kan? Bagaimana kalau Gress sampai nekat? Kita sama-sama tahu, seorang Gress enggak segan menelanjangi dirinya sendiri di depan banyak orang. Kepada dirinya saja enggak peduli, apalagi kepada orang lain, kan?” tegas Fina cepat sambil menatap Rafael.
Fina menatap Rafael dengan banyak keseriusan, berikut luka lama mengenai pernikahan paksanya dan Bian, yang tiba-tiba meluap. Rafael dan Rina sampai terbengong-bengong menatap tak percaya Fina yang terlihat jelas menjadi sangat emosional. Kekecawaan berikut luka yang begitu mendalam terpancar jelas di raut terlebih tatapan Fina kepada Rafael.
“Sayang ...?” Rafael berusaha menenangkan Fina, tapi istrinya itu langsung menghela napas dalam seiring kedua mata Fina yang sampai terpejam paksa. Sebuah kenyataan yang menandakan Fina benar-benar tidak bisa menoleransi keadaan.
“Pernikahan bukanlah satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah. Aku yakin, pasti ada cara lain yang lebih efektif tanpa harus melukai pihak mana pun. Apalagi untuk pernikahan, aku mau, ... Rina dan Daniel, mendapatkan pernikahan impian mereka!” lanjut Fina yang merasa sesak luar biasa di dadanya. Dan kendati ia tak lagi terpejam, tapi ia juga tak lagi menatap Rafael maupun Rina.
Fina nyaris hilang arah dan tak kuasa mengontrol emosinya, andai saja pandangannya tidak dihiasi sosok Bubu. Yah, Bubu. Satu-satunya pelipur lara, obat terampuh untuknya dalam segala luka. Dan kendati kali ini ia sampai kembali terpejam sekaligus menghela napas, helaan napas yang jauh lebih dalam dari sebelumnya, tapi semua itu karena ia merasa jauh lebih tenang.
Tanpa banyak kata, Rafael berangsur merengkuh tubuh sang istri dengan sesal berikut rasa bersalah yang sangat dalam. Rafael sungguh memeluk Fina sangat erat, seolah-olah, sedikit saja ia lengah, ia sungguh bisa kehilangan Fina. Fina sungguh akan enyah meninggalkannya untuk selama-lamanya.
“Semua ini gara-gara Gress, ya? Ya sudah. Jangan sampai marah-marah ... pasti ada cara. Pasti ada cara agar Gress tidak mengangguku dan Kak Daniel, bahkan kita.” Rina yang menjadi merasa sangat bersalah, sampai menitikkan air mata. Ia menatap sedih kebersamaan Rafael dan Fina, sebelum akhirnya menunduk dan menyembunyikan kesedihan berikut penyesalannya di sana.
Baik Rafael maupun Fina yang sama-sama yakin Rina sampai menangis, apalagi suara Rina terdengar sengau, juga tak kalah bersedih. Fina yang menunduk dan masih memenuhi pandangannya dengan wajah Bubu, sampai tak kuasa menahan air matanya untuk tidak mengalir yang kemudian menimpa punggung Bubu. Sedangkan Rafael yang terlihat jauh lebih tegar, menggunakan sebelah tangannya untuk merengkuh tubuh Rina. Rafael melakukannya tanpa membuat bibir berikut pandangannya teralih dari kepala Fina.
“Baiklah. Hari ini juga, aku akan mencari cara lain agar Gress tak lagi mengganggu kita!” tegas Rafael kendati ia melakukannya dengan nada lirih. Kemudian ia mengulum bibirnya seiring kerut tipis yang menghiasi dahinya, mengiringi keseriusannya dalam memikirkan Gress. “Sudah, jangan dipikirkan apalagi sampai sedih-sedih lagi. Aku janji akan urus Gress.” Masing-masing tangannya masih mengeluh punggung Fina dan Rina.
Setelah sama-sama terdiam lantaran larut dengan suasana yang masih diselimuti kesedihan, rengekan Bubu sukses mengusik Rafael.
“Sayang, ini jangan lama-lama, nanti Bubunya gosong!” ujar Rafael yang langsung panik. Rafael buru-buru meraih selimut dari di troli bayi dan kebetulan ada di belakangnya. Rafael langsung menutupkan selimut tersebut ke sekujur tubuh Bubu.
“Sayang, nanti Bubu enggak bisa bernapas! Jangan serapat ini!” Kali ini giliran Fina yang menegur Rafael. Fina buru-buru membenarkan selimutnya dari tubuh Bubu dan menyisakan hingga kepala sang anak yang menjadi bagian yang tak tertutup selimut.
Dengan napas yang terengah-engah, Rafael yang masih menatap Bubu dan ada kalanya berganti kepada Fina pun membalas, “syok aku. Takut Bubu jadi hitam. Kasihan nanti dibully kayak Ipul!”
Mendengar pernyataan Rafael yang begitu takut anaknya memiliki kulit hitam, Fina langsung menghela napas sambil menggeleng tak habis pikir.
“Dari gen-nya saja juga sudah bedalah, Mas. Enggak mungkin Bubu mendadak berubah kulit jadi gelap berlebihan seperti Ipul!” celetuk Rina sambil menyeka air matanya.
“Iya juga, sih?” saut Rafael sambil mengerling dan mempertimbangkan ucapan sekaligus balasan Rena. Kemudian ia berangsur bangkit demi membantu Fina yang mencoba bangun.
“Kalau memang berhubungan dengan gen, berarti kemungkinan Rena punya anak mirip Ipul, nantinya juga akan sangat besar, dong?” batinnya yang menjadi khawatir sendiri. Rafael takut, jika itu sampai terjadi, anak Rena akan sampai menjadi bahan tertawaan dan parahnya dibully. Akan tetapi, Rafael tak mau menanggapi keadaan tersebut dengan lebih serius. Apalagi jika memang berhubungan dengan gen, setidaknya anak Ipul juga akan mirip Rena, jadi kemungkinan fisik akan mirip Ipul tidak terlalu besar. “Harusnya!” batinnya lagi
Rafael merangkul Fina dari samping, dengan hati-hati. Sedangkan Rina yang sadar Fina sangat kesulitan untuk bangun, juga buru-buru bangkit kemudian mengambil alih Bubu dari Fina. Meski setelah melahirkan, Fina tak lagi mengalami peningkatan berat badan bahkan cenderung menjadi kurus setelah menjalani persalinan, tapi semenjak melahirkan, Fina memang kerap mengalami tensi darah rendah. Fina menjadi kerap pusing tiba-tiba, bahkan terkadang akan kesulitan setelah duduk dalam waktu cukup lama.
“Ayo siap-siap, kita ke rumah sakit. Rin, kamu berangkat siang, kan?” ujar Rafael yang kemudian memfokuskan tatapannya kepada Rina yang ada di hadapannya.
“Iya, Mas. Kalau kalian ada perlu, enggak apa-apa, Bubu sama aku dulu. Kalaupun kalian sampai pulang telat, kan ada Bapak sama Ibu?” balas Rina yang berusaha menyikapi keadaan dengan sesantai mungkin, seiring ia yang menjadi sibuk menimang-nimang Bubu.
Rafael mengangguk setuju. “Ya sudah, ayo kita masuk.”
Sedangkan Fina yang sudah merasa tidak nyaman dengan keadaannya, memilih untuk menurut. Fina mengikuti tuntunan Rafael yang masih merangkulnya, seiring ia yang juga sampai menyemayamkan wajahnya ke d**a Rafael.
“Mungkin efek tadi juga. Kamu enggak bisa kontrol emosimu,” bisik Rafael yang memutuskan untuk membopong Fina, lantaran istrinya itu semakin sempoyongan.
“Kode keras minta piknik!” goda Rafael kemudian dan sukses membuat Rina maupun Fina, tertawa.
“By, ... serius, kepalaku pusing banget!” rengek Fina sambil memijat pelipisnya menggunakan kedua tangan.
“Kamu masih rutin minum vitamin, kan? Lagian, tensi rendah itu identik dengan orang yang kurang asupan, lho. Masa iya, kamu, istri aku, sampai tensi rendah terus?” balas Rafael lagi sambil terus melangkah.
Rina yang melangkah didepan Rafael dan masih menimang-nimang Bubu, menjadi kembali tertawa.
“Mungkin ini efek kurang tidur, By!” elak Fina yang masih merengek dan sibuk memijat pelipisnya. Fina terus memejamkan matanya lantaran menahan rasa pusing yang semakin lama terasa semakin kuat.
“Ya seenggaknya kalau kamu rajin minum vitamin, apalagi makanan buat kamu juga terjangkau semua, kan?” balas Rafael lagi.
Meski masih bertutur lembut, tapi kali ini Rafael memang marah.
“Iya, By. Iya. Ampun! Tapi padahal aku juga sudah banyak makan dan kadang minum vitamin.”
“Kadang, kan, enggak rutin? Apalagi kamu tahu sendiri, Bubu netenya kuat banget!”
“Iya ... iya, ampun. Aku salah!”
“Terkesannya aku ini raja kejam yang akan membasmi rakyat-rakyatnya yang lemah! Sudah, jangan bilang ampun lagi!”
“Dengar, Bu ... papah sama mamahmu sedang main drama raja dan rakyat jelata. Harusnya Mamah bilang, kan awal Papah ngajak Mamahmu nikah, karena Papahmu minta Mamah buat bekerja jadi istrinya. Tapi jangan bilang ke siapa-siapa, ya, Bu! Soalnya ini rahasia negara keluargamu!” lirih Rina yang masih berjalan di depan Rafael yang tetap membopong Fina, kendati kali ini mereka tengah menaiki anak tangga menuju lantai atas selaku lantai keberadaan mereka.
Namun tiba-tiba saja, Rina jadi penasaran, apa yang akan Rafael lakukan agar Gress tak lagi mengganggu mereka?
***
Ketika Rafael baru saja membantu Fina berbaring di tempat tidur, dering tanda telepon masuk di ponselnya dan itu dari Mey, langsung mengalihkan fokusnya. Rafael langsung menjawab telepon masuk tersebut sambil sesekali memperhatikan Fina yang berangsur meringkuk, kemudian berganti pada Rina yang sedang siap-siap memandikan Bubu.
“Hallo, Mah? Hah, menginap mumpung Rena sama Ipul ada di Bali, ya? Oh ... oke ... oke, Mah. Sore kami ke sana.”
Dari perbincangan Rafael dengan Mey, kemungkinan Rafael dan Fina berikut Bubu menginap di rumah Mey, tidak terelakan. “Yah ... Aunty kesepian, deh!” batin Rina yang sampai mencebik seiring ia yang meninggalkan Bubu di ranjang bayi. Rina bermaksud menyiapkan perlengkapan mandi Bubu.
Andai, Bubu sudah bisa berbicara, mungkin bayi menggemaskan itu akan berkata, “jangan modus deh, Aunty. Sekesepian-kesepiannya Aunty tanpa aku, kan masih ada Uncle Daniel!”
***
“Aku pulang ....”
Rafael sedang menikmati teh hijau yang baru saja Burhan tuangkan, sambil duduk-duduk santai di kursi yang menghiasi area teras depan kolam, ketika suara Rena terdengar. Sungguh, baru mendengar suara Rena saja, Rafael langsung kebingungan. Bahkan saking bingungnya, cangkir kecil yang terbuat dari tanah liat, berwarna merah bata dan memiliki ukiran berwarna hitam bergambar naga, masih menempel di bibir Rafael. Rafael tidak tahu harus berbuat apa? Karena dengan kata lain, jika itu benar suara Rena, Ipul juga turut serta. Tentunya, kenyataan tersebut sangat berbahaya bagi Bubu yang sangat anti Ipul.
“Lho, kok kalian sudah pulang? Bukannya seharusnya kalian pulang lusa?” ujar Burhan yang duduk persis di kursi tunggal yang ada di hadapan Rafael. Jarak mereka hanya tersekat oleh meja kayu terbilang luas yang ada di tengah-tengah mereka.
Rafael yang awalnya masih mematung, buru-buru meletakan cangkirnya ke meja. “Beneran, tuh orang pada pulang? Gagal total dong, acara liburan Bubu ke sini?” ujarnya sambil menoleh untuk memastikan.
Rafael sampai berdiri dan beranjak dari duduknya. Ia dapati, Rena yang melangkah malas bahkan sampai cemberut. Sebuah kenyataan yang menandakan ada masalah cukup serius dan telah menimpa adiknya itu. Sedangkan di belakang Rena, Ipul melangkah cukup sempoyongan, sambil sesekali menggeleng sekaligus menggigil, terlepas dari Ipul yang tak hentinya merem-melek. Keadaan Ipul kini tak ubahnya orang yang sedang sangat puyeng bahkan nyaris teler. Dan kenyakinan Rafael tersebut diperkuat dengan keberadaan koyok yang menghiasi kedua pelipis Ipul, terlepas dari leher Ipul yang sampai terbungkus koyok, padahal pria itu juga sudah mengenakan jaket hangat.
“Itu si Ipul kenapa? Kok sampai dibungkus koyok begitu lehernya kayak ikan bandeng duri lunak?” ujar Rafael yang merasa prihatin dengan keadaan Ipul.
“Kalian enggak kenapa-kenapa, kan? Di sana kalian aman, maksudnya, ... enggak ada yang jahat apalagi sampai mengeroyok kalian? Harusnya sih, enggak, soalnya wajah Ipul saja sudah seram. Masa iya, ada yang berani nyerang?” lanjut Rafael yang menjadi menanggapi keadaan Ipul dengan serius. Ia menatap penasaran Rena dan Ipul silih berganti, kendati ia tidak sampai beranjak dari tempatnya berdiri.
Rena yang sudah ada di hadapan Rafael langsung mendengkus sambil sesekali melirik sebal Ipul. Ipul yang terlihat jelas sangat tersiksa sekaligus sakit. Entah apa yang terjadi kepada Ipul. Baik Rafael maupun Burhan, masih menerka-nerka.
***