Episode 14 : Kilas Balik Awal Sebelum Rafael Menikahi Fina

1765 Kata
“Kamu sampai hampir diinfus?” Rafael menatap tak percaya Ipul. Lebih tepatnya, ia cukup syok dengan kabar yang baru saja Rena sampaikan. “Ya hanya sampai, Raf. Soalnya pas Ipul mau dipasang jarumnya, dia mendadak kayak orang kesurupan, dan itu perawat yang mau pasang jarumnya sampai ketusuk jarum tangannya. Nyaris enggak bisa dicabut, lho ...saking dalamnya.” Rena menelan ludah dan kemudian menghela napas pelan. Ia tertunduk pasrah sebelum akhirnya, ia menatap Ipul. “Ya ampun, Pul … Pul. Enggak di kampung, enggak di Jakarta, bahkan di Bali pun kamu tetap bikin drama. Enggak kebayang kalau jarum infusnya enggak bisa kecabut. Bisa dipenjara, kamu!” gumam Rafael sambil menatap Ipul dengan menggeleng tak habis pikir. “Aku saja sampai jatuh dari ranjang rawat saking syoknya pas masih setengah sadar, perawan itu,” ujar Ipul yang langsung dikoreksi oleh Rena. “Perawat … perawat!” tegas Rena. Burhan yang masih duduk tapi menyimak perbincangan di hadapannya, menjadi mesem dan nyaris tertawa mendengar kesalahan ucap Ipul. “Oh, iya … itu. Aku loncat kan? Aku loncat refleks sambil dorong tuh orang, ya enggak sengaja juga, gitu, jarumnya sampai nancep ke tangan dia!” lanjut Ipul. Rafael kembali menggeleng tak habis pikir menanggapi cerita Ipul. “Ya sudah, Ren. Bawa Ipul ke kamar tamu. Biarin dia istirahat. Kasih makan, obat biasa saja. Minta sama Mamah sana. Tapi Mamah sedang di kamarku bareng Fina dan Bubu.” kemudian tatapan berikut fokus Rafael menjadi tertuju pada Ipul. “Ingat, Pul. Bubu itu takut banget sama kamu. Jadi, sekadar kalau kamu napas saja, kamu harus atur, ya, biar enggak kedengaran Bubu. Soalnya pendengaran Bubu juga tajam banget!” Mendengar itu, Ipul langsung terdiam pasrah. Lain dengan Burhan yang langsung tergelak. “Ya sudah, Pamer(papah mertua), aku pamit. Aku istirahat bentar,” ucap Ipul sambil menatap sopan Burhan. Burhan yang sampai menekap mulutnya menggunakan tangan kanan demi meredam tawanya, berangsur mengangguk beberapa kali. “Sana. Kalian istirahat. Kamu juga, Ren. Yang semangat, dong, jangan cemberut gitu!” “Iya. Calon manten kok cemberut! Sudah, bantu Ipul. Tuntun biar mesra!” sambung Rafael. Meski masih terlihat sebal kepada Ipul, tapi akhirnya Rena merangkul punggung Ipul kemudian menuntunnya. “Cieee ….” Rafael sengaja menggoda adiknya itu. “Rafael!” pekik Rena sambil terus melangkah menuntun Ipul. Rena menuntun Ipul menuju lorong yang ada di sudut ruang tamu yang keberadaannya berseberangan dengan teras kebersamaan Rafael dan Burhan. Lorong yang juga menjadi tempat keberadaan kamar tamu berada, selaku kamar yang juga sempat menjadi tempat tinggal Ipul. “Sudah, kita tadi bahas apa?” tegur Burhan kemudian tak lama setelah Rena dan Ipul tak lagi terlihat lantaran kedua insan itu sudah memasuki lorong keberadaan kamar tamu. “Oh, iya, Pah. Itu tadi ….” Rafael kembali duduk dan menatap Burhan dengan serius. Bersama Burhan, ia terikat obrolan panjang sambil sesekali menyesap teh hijau yang Burhan racik khusus. ****  Di kamar, Sunny tengah merenung, mencoba memilih ingatan perihal apa yang Mey minta. Mengenai pertemuan pertamanya dengan Rafael yang langsung mengajak Fina menikah padahal Rafael tahu, saat itu Fina sedang memiliki hubungan terbilang rumit dengan Bian. Sambil menimang-nimang Bubu dan sesekali melangkah pelan di depan Fina yang duduk di tempat tidur, Mey mengangguk semangat. Mey sungguh penasaran dengan awal pertemuan Rafael dan Fina di mana Rafael langsung mengajak Fina menikah. “Ayolah Fin … Mamah tuh penasaran banget. Kalian tuh belum ada yang cerita, kan? Sedangkan kita sama-sama tahu, kalian ini sweet banget. Papah enggak se-sweet Rafael. Ayo, kilas balik hubungan kalian! Biar Bubu juga tahu! Ya kan, Sayang, kamu juga mau tahu?” ucap Mey. Fina yang tersipu karena kenyataan tersebut, mau tidak kau menjadi memasuki ingatannya ketika awal Rafael mendadak mengajaknya menikah. Ya, saat itu. Saat di mana Fina masih berada pada titik nadir. Titik terburuk dalam kehidupan yang pernah Fina alami. Di awal pertemuan kembali Fina dan Rafael tepatnya di puskesmas, Rafael meminta Fina untuk menjadi kekasih pura-pura pria itu. Fina masih ingat kejadian itu. ****  Kala itu, Rafael yang tersenyum begitu manis, teramat sopan sampai membungkuk demi menyelaraskan tinggi tubuhnya dengan Fina, justru membuat Fina menaruh curiga. Tanpa bisa menutupi kecurigaannya, Fina mengangguk ragu sambil menatap waspada pria di hadapannya. “Kamu benar-benar lupa sama aku? Dulu, kamu ....” Di ingatan Fina kala itu mendadak terputar kejadian enam tahun lalu. Ketika usianya masih delapan belas tahun, bahkan ia pun belum lulus SMA, kejadian layaknya sekarang, Rafael tiba-tiba menahannya sambil memasang senyum manis, juga terjadi. Saat itu, Fina baru pulang sekolah. Ia berjalan kaki sendirian melewati halaman rumah paling luas di kecamatan mereka. Rumah yang terkenal sebagai milik orang kaya, pengusaha yang tinggalnya di Jakarta. Selain memiliki pekerja bahkan ada empat orang, rumah itu juga memiliki ukuran paling besar sekaligus mewah menyerupai sebuah vila. Intinya, di rumah yang tampilannya selalu bersih sekaligus terjaga itu, Rafael tiba-tiba muncul dan menahan Fina layaknya sekarang. Namum, kenapa Rafael tidak mengingatnya bahkan mengingat hubungan mereka? “Sekarang apa lagi? Kamu enggak akan memintaku menjadi kekasih pura-puramu lagi, kan?” tuding Fina langsung, sambil terus menatap Rafael curiga. Ia benar-benar berjaga terhadap pria di hadapannya. Rafael dibuat tak percaya dengan pernyataan Fina. “Ha? Serius, kami kenal, bahkan dulu, ... aku sudah memintanya menjadi kekasih pura-pura? Kok aku enggak ingat, padahal aku enggak pernah amnesia?” batin Rafael. Ia menelan ludah cepat demi meredam kebingungannya. Kini, di ingatan Fina yang masih menatap Rafael, tengah terputar kejadian enam tahun lalu. Saat itu, Rafael yang menahannya, langsung menyapanya dengan sopan kemudian mengenalkan diri. Saat itu, Rafael sampai menahan sebelah pergelangan Fina. “Hai? Jangan terkejut apalagi takut. Namaku Rafael. Aku orang baik-baik. Ehm ... namamu siapa? Kamu terlihat cukup cantik dan sepertinya baik. Mau jadi kekasihku?” Pernyataan Rafael kala itu sukses membuat Fina melotot kebingungan saking tidak percayanya. Fina sampai berpikir, mungkin Rafael sakit? Namun, jika melihat dari penampilannya, tidak ada tanda-tanda Rafael sakit. “Aku bukan orang jahat apalagi gila! Ini rumahku! Dan kakekku tinggal di sini!” ucap Rafael kala itu, dan Fina berpikir, pria itu mengatakannya lantaran pria itu melihat kebingungan dari raut wajah Fina. “A-aku, harus pulang! Bapakku sudah menunggu!” elak Fina saat itu sambil berusaha mengenyahkan tahanan tangannya dari tangan Rafael. Namun siapa sangka, sebelah tangan Rafael yang bebas justru menahan sebelah tangan Fina yang bebas, di mana pria itu juga membawa Fina masuk. Mereka meninggalkan gerbang berikut halaman rumah keluarga Rafael yang sangat luas. Rumah yang selalu membuat orang-orang yang melihatnya tanpa terkecuali Fina, takjub. Kebetulan saat itu tidak ada pekerja di halaman depan rumah. Di beranda rumah, tiba-tiba Rafael menghentikan langkah kemudian menatap saksama Fina yang saat itu semakin dibuat bingung sekaligus ketakutan. “Percayalah, ini rumahku. Aku memang tidak selalu di sini, karena aku lebih sering menghabiskan waktuku di Jakarta. Aku sudah bekerja.” Rafael menatap Fina tanpa keraguan. Sambil terus menatap Rafael, Fina berangsur menggeleng. “Semua yang kamu katakan, sama sekali bukan urusanku karena memang enggak ada sangkut-pautnya sama aku. Maaf, aku beneran harus pulang!” Fina buru-buru meninggalkan Rafael, kabur detik itu juga, apalagi pria itu sudah melepas tahanannya. Namun Rafael tak menyerah. Rafael menahan selempang tas yang menghiasi punggung Fina sambil berkata, “urusan bapakmu, nanti aku yang urus. Sekarang tolong bantu aku dulu. Kita sama-sama bantu!” Menyadari Fina yang sempat refleks menghentikan langkah, nyaris kembali kabur, Rafael menambahkan, “kalau memang kamu enggak bisa jadi kekasih asliku, kamu cukup jadi kekasih pura-pura. Tolong bantu aku, ini menyangkut nyawa kakekku!” “Kakekku sakit. Sakit parah! Dan sekarang, dia ingin bertemu kekasihku sebelum dia benar-benar pergi karena penyakitnya!” tambah Rafael. “Hei ... aku tidak akan melakukannya cuma-cuma ... aku akan memberimu imbalan. Bagaimana jika aku membiayai sekolahmu sampai sarjana? Bukankah mencari biaya pendidikan di sini, sangat sulit?” Permintaan sekaligus penawaran Rafael saat itu langsung menggoyahkan rasa takut Fina, apalagi dengan latar belakang keluarganya yang hidup pas-pasan, bisa mengenyam pendidikan hingga sarjana adalah hal yang harus sangat ia perjuangkan. Terlebih setelah lulus SMA saja, Fina berniat langsung kerja guna mengumpulkan biaya untuk kuliahnya. Selanjutnya, di alam nyatanya, Fina menceritakan masa lalu mereka pada Rafael. Mengenai barter mereka. Di mana, Rafael juga yang membiayai tuntas pendidikkan Fina. “Hah, masa, sih? Kok aku lupa, ya? Ah ... terlalu banyak hal yang harus aku urus, sedangkan mengenai biayamu juga sudah langsung tersambung ke rekening tagihan,” ucap Rafael kemudian dan memang masih belum bisa mengingat hubungan mereka di masa lalu. “Kalau begitu, aku pamit dulu. Masih ada urusan. Bapakku sedang sakit parah!” Fina nyaris melarikan diri. Tak beda dengan kejadian dulu, Rafael dengan cekatan kembali menahan salah satu pergelangan tangan Fina.  Kenyataan tersebut membuat dunia Fina seolah berhenti berputar. “Apa lagi, ini? Kenapa kejadian dulu seolah akan kembali terulang? Menjadi kekasih pura-pura, sedangkan sekarang statusku sudah berubah menjadi janda tidak terhormat?” batin Fina. “Kali ini aku juga butuh bantuanmu! Kakekku kembali sakit! Serius!” ucap Rafael. “Duh ... meski permintaan Rafael memang rawan apalagi aku telanjur trauma membantu dalam urusan hubungan bahkan meski hubungan palsu ... tapi, biar bagaimanapun, Rafael juga sudah membantuku menjadi sarjana. Bahkan karena Rafael, aku juga menjadi memiliki pekerjaan layak, meski masih sebatas guru honorer!” batin Fina, tetapi tiba-tiba Rafael menariknya, memaksanya untuk ikut serta. “Kali ini, aku juga tidak akan cuma-cuma!” ucap Rafael berjanji. Fina susah payah menghalau tuntunan Rafael agar ia tidak terbawa pria itu. Pria yang tampilannya sudah jauh berbeda dengan dulu. Kini, Rafael terlihat semakin matang dan sepertinya Rafael juga sudah semakin sukses jika dilihat dari gaya berpakaiannya yang terlihat sangat rapi ala pengusaha kantoran. “Masa, iya, sudah enam tahun, kamu masih belum juga punya kekasih asli apalagi menikah? Bahkan aku sudah menikah?!” protes Fina. Mendengar pengakuan Fina, Rafael berangsur menghentikan langkahnya. Dahinya berkerut ketika ia menoleh dan menatap Fina. Padahal, di belakangnya kini sudah ada pintu ruang rawat Raden. “Kamu, sudah menikah?” tanya Rafael tak percaya. Fina buru-buru mengangguk, meski jauh di lubuk hatinya, ia merasa malu dengan statusnya. Karena meski ia sudah menikah, ia juga dicerai dan dikembalikan paksa oleh Bian. Hal tersebut pula yang membuat Fina refleks tertunduk sedih. Ya ... meski berusaha tegar sekaligus bangkit, tetapi Fina hanya manusia biasa. Fina memiliki perasaan berikut hati yang masih bekerja dengan baik. “Ya ... aku sudah menikah! Aku kan sudah dua puluh empat tahun dan sekarang, aku juga sudah jadi guru!” tegas Fina berusaha memperjelas kendati karenanya, ia menjadi cukup gugup. Bahkan sesekali, Fina mengangguk demi membalas tatapan Rafael, meyakinkan pria itu. “Duh ... masa, iya, aku harus menyerah dan pasrah dijodohkan? Pengorbananku selama ini, sia-sia, dong?” sesal Rafael. “Sekali lagi, aku mohon tolong aku,” pintanya benar-benar memohon. Fina menggeleng takut. Sungguh, ia masih trauma dengan keputusannya yang rela berkorban untuk menolong Bian, tetapi justru harus mendapatkan banyak masalah setelahnya. Bian saja yang sahabatnya bisa mencampakkannya dengan begitu mudah, bahkan Bian juga sampai menciptakan begitu banyak masalah, bagaimana dengan Rafael yang bahkan tidak ia kenal? Mereka hanya sebatas orang asing yang terjebak dalam perjanjian konyol! “Maaf ... kali ini, aku benar-benar enggak bisa bantu kamu.” Fina menghela napas berat. “Daripada sibuk mencari wanita untuk menjadi kekasih pura-puramu, bukankah lebih baik kamu menikah saja?” ucapnya kemudian mencoba memberi saran. Rafael tertunduk murung. “Maaf, aku harus pergi,” pamit Fina yang kemudian memang berlalu. Fina meninggalkan Rafael begitu saja. “Meski dulu kita terlibat dalam perjanjian konyol yang kubuat dan justru aku sudah tidak ingat, tetapi kali ini, aku benar-benar tidak bisa menahanmu dan membuatmu kembali membantuku,” batin Rafael makin bersedih. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN