Menurun Part 2

1168 Kata
“Oh, ayahmu mau pulang. Iya deh aku ke kampus saja.” Jawab Dita. Ada kelegaan diwajah Ara dan Ibunya. “Tapi minuman sama camilannya aku bawa ya?” “Iya bawa saja gapapa.” Jawab Ibu Ara. Ahirnya Dita pun pergi. Ara dan Ibunya lega, Hans pun juga lega. “Sudah pergi?” tanya Hans sambil mengintip dari balik tembok. “Sudah kok kak.” Tapi tiba – tiba pintu terbuka lagi. Dita tiba – tiba masuk lagi. Mereka bertiga kaget, Hans segera sembunyi lagi di balik dinding. “Tasku ketinggalan. Hehe.” Ucapnya. “Ah iya, ini nih tasnya.” Jawab Ara. “Disitu ada siapa Ra?” “Dimana?” “Aku sepertinya melihat ada orang ngintip disitu?” “Dimana Dit?” Ara berpura – pura ketakutan. “Dibalik dinding itu.” “Di rumah cuma Ibu sama Ara saja kok Dit.” Ucap Ibu Ara. “Beneran tante? Tadi Aku kayak lihat bayangan disana.” “Jangan nakut – nakutin deh Dit. Buk, ayo belanja aja. Serem ih.” “Aku berangkat ke kampus aja deh kalo gitu. Rumahmu kok jadi serem sih Ra.” Ucap Dita sambil berlalu pergi. “Ahirnya pergi juga.” Ucap Ara. “Beneran sudah pergi Ra?” tanya Hans dibalik dinding. Dia tak berani mengintip lagi. Takut kalau Dita balik masuk lagi. “Sudah pergi kak. Ga ada.” Jawab Ara. “Kayanya mendingan aku ikut kalian pergi belanja deh. Daripada dihantui sama dia.” “Hahaha. Aku ganti baju dulu ya bu.” “Iya.” Jawab Ibunya. Hans kembali duduk di meja makan bersama Ibu Ara. Mereka asyik dengan kesibukan masing – masing. Hans iseng membuka hape Ara dan main zuma. Lagi enak – enaknya main zuma, eh ada telepon masuk di hape Ara. Diangkatnya telepon itu, namun Hans hanya diam. Dia menunggu orang yang menelepon berbicara. “Hallo.” “Ya hallo? Ini siapa?” tanya Hans. “Ara ada?” “Ada. Ini siapa?” “Kamu siapa?” “DITANYA KOK BALIK NANYA!” “Ya terserah aku dong. Aku maunya ngobrol sama Ara. Bukan sama kamu.” “ASAL KAMU TAHU YA. ARA ITU NURUT SAMA AKU. KALAU AKU BILANG GA BOLEH NGOBROL SAMA KAMU, YA GA AKAN MAU DIA NGOBROL SAMA KAMU.” “Biasa aja ngomongnya ga usah pake tenaga. Aku ga budek.” “Kamu siapa?” “Aku pacarnya Ara.” “Siapa pacarnya Ara?” “Ya tanya saja sama dia.” “Tante, pacar Ara nelpon nih. Ngobrol sama calon mantu deh.” Hans memberikan hape Ara kepada Ibunya. “Halo.” Ucap Ibu Ara. “Halo. Ara?” “Bukan. Ini Ibunya.” “Oh maaf tante, saya ga tahu. Suaranya mirip sama Ara.” “Iya gapapa. Ini siapa ya?” “Temennya Ara tante.” “Loh tadi katanya pacarnya kok sekarang temennya? Mana yang bener nih?” goda Ibu Ara. Belum sempat Luffi menjawab, Ara keluar dari kamar dan menyadari hapenya dibawa Ibunya. Lalu dia bertanya. “Siapa bu?” “Pacarmu.” “Pacarku?” Ara melotot, pasti Luffi nih, pikirnya. “Mana coba Ara mau ngomong.” “Ibu belum selesai ngobrol kok uda diminta. Kangen ya?” “Iih Ibu. Siapa sih? Mana Ara mau lihat.” “Kamu punya pacar apa engga? Kok gatau pacarnya yang mana.” Ledek Ibunya. “Sampe mana tadi nak? Kamu kerja dimana?” Ibunya lanjut mmenginterogasi Luffi. “Kerja di kapal bu.” “Di kapal? Nelayan?” Mendengar itu Ara menepuk keningnya, ada – ada saka ibunya. “Bukan bu.” “Terus apa dong? Setahu ibu yang kerja di kapal ya nelayan.” “Di kapal besar bu. Antar pulau. Antar negara.” “Wah jarang pulang dong?” “Ya begitulah bu.” “Tapi duitnya banyak kan. Hehehe.” Goda ibunya. “Ibuuuuuu. Apaan sih. Sini sini mana hape Ara.” Ara segera mengambil hapenya. “Gitu aja ngamuk. Kan Ibu cuma nanya. Ya kan Hans?” “Betul.” “Terserah deh. Awas aja ya kalo Ibu Ratu nanti dateng.” Ancam Ara. Hans hanya terkekeh mendengar ancaman Ara. Ara masuk lagi ke kemarnya. “Hallo.” “Assalamualaikum, salam dulu dong.” “Iya, waalaikumsalam.” “Kenapa?” tanya Luffi sambil sedikit tertawa. “Mereka ngerjain aku. Kamu juga, uda tahu dikerjain masih dijawab aja.” Omel Ara. “Ya, kan lagi ngobrol sama Ibu, masa ga dijawab sih. Kan ga sopan.” “Ya tapi kan.” “Sudah – sudah, ga usah marah – marah nanti cantiknya ilang dikit.” “Cantik ilang dikit tuh yang gimana coba, ada – ada saja.” “Ya itu, hidungmu pesek. Gara – gara sering marah tuh.” “Asal kamu tahu ya, pinokio hidungnya panjang tuh gara – gara suka bohong. Nah kalau aku tuh jujur, jadi ga mancung – mancung banget hidungnya.” “Hahahaha. Iya deh iya.” “Aku mau belanja dulu ya?” “Belanja apa?” “Nemenin Ibu belanja bulanan. Nanti sore Ayah juga pulang. Makanya mau siap – siap sekarang.” “Oh, yaudah. Gih berangkat. Hati – hati ya. Salam sama ibu. Eh tapi cowok tadi siapa?” “Oh, cowok gila. Ga usah dipeduliin.” “Kok bisa di rumahmu kalau dia gila?” “Ya jelas bisa, dia kan kakak sepupuku. Orangnya jail banget. Udah biasa, nyebelin emang orangnya.” “Oooo. Yaudah berangkat gih. Aku lanjut kerja juga.” “Selamat kerja.” “Iya, Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Tut. Setelah mematikan telepon, Ara segera mengajak Ibunya belanja. “Ayo bu, keburu siang.” “Iya, ini Ibu sudah siap kok. Ayo berangkat.” “Hans kamu ikut? Atau jaga di rumah saja?” lanjut Ibu Ara. “Kak Hans pasti ikut dong. Ya kan kak?” ucap Ara sambil menaik – turunkan alisnya. “Apa kamu gini – gini?” katanya sambil menirukan gerak alis Ara. “Kalau mau dibantu pas ada Ibu Ratu, ya bantuin bawa banjaan sekarang. Hahahahaha.” Jawab Ara. “Ish. Iya deh iya. Ayo berangkat.” “Naik apa kita kalo bertiga gini?” tanya Ibu Ara. “Tenang bu.” Jawab Ara. “Ngerencanain apa kamu hah?” selidik Hans. “Bawel ih. Sebentar ngapa.” Ara menelepon seseorang, lalu kemudian dia bilang. “Kendaraan sudah siap.” “Kendaraan apa?” tanya Ibunya. “Ayolah, kita tunggu di luar.” “Perasanku ga enak nih.” Ucap Hans sambil mengelus dadanya. Mereka berdiri di depan rumah. Menunggu kendaraan yang disebutkan Ara tadi. Tak lama sebuah bentor (becak motor) masuk ke halaman rumah Ara. “Nah, yang ditunggu – tunggu sudah datang nih.” Ucapnya. “Ini bentornya Ra. Cukup isi Bensin full saja, ga usah bayar sewa.” Ucap seorang pria, usianya sekitar baru empat puluhan. Namanya Lek man. “Makasih ya lek man, sudah dipinjami.” “Iya gapapa Ra, hari ini juga lagi libur kok. Mbak sumi lagi ga enak badan soalnya, minta ditemani terus.” “Wah, semoga Lek Sumi cepet sembuh ya pak lek.” Ucap Ara. Lek Man kemudian memberikan kuci bentornya pada Ara. Lalu berjalan pulang. “Kok kamu kepikiran sampai pinjam bentor Lek Man Ra?” tanya Ibunya. “Beberapa hari yang lalu. Ara ketemu Lek Man sama Lek sumi di depan kampus Ara bu.” “Terus?” “Anaknya rewel, minta beli fried chiken lezati depan kampus tuh. Nah, sudah sampai disana, ternyata uang Bu Lek Sumi hilang. Kebetulan Ara lagi makan disana. Yaudah Ara bantuin, kan kasihan bu. Anaknya uda nangis jerit – jerit kayak kesurupan. Ahahahaha.” “Hush, kamu tuh. Emangnya tahu kesurupan tuh gimana?” “Hehe ndak tahu bu. Terus Lek Man bilang, kalau kapan saja butuh kendaraan, boleh pinjam bentornya.” “Terus kalau Lek Mannya pulang, ini yang njoki bentornya siapa?” tanya Ibu Ara. “Uhuk uhuk. Jangan bilang aku ya Ra.” Hans sampai tersedak. “Ya emang kamu kak. Siapa lagi dong, masa Ibu?” “Halah. Niat banget mau ngerjain aku kamu Ra.” “Eh siapa suruh ngaku – ngaku naik mobil, udah nyuruh – nyuruh lihat ke depan pula. Nih hukuman yang setimpal. Hahaha. Ayo berangkat. Ini kuncinya.” Ara memberikan kunci bentor pada Hans. Hans menerimanya dengan malas. Mau tidak mau dia harus mengantar mereka belanja dengan bentor. Seorang pria dengan kemeja hitam rapi, celana hitam licin, dengan rambut yang sudah dipoles dengan pomade, harus mengendarai bentor. Sementara Ara tersenyum puas, karena dia bisa mengerjai Hans.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN