Setelah selesai makan, Ara lanjut membersihkan meja dan mencuci pirong kotor. Mbak wiwid sudah berangkat kerja. Sedangkan Ibunya mempersiapkan catatan untuk belanja nanti.
“Memangnya nanti mau belanja apa saja buk?”
“Bahan makanan uda tingg sedikit. Itu juga sabun sama sampo sudah ga punya stok.”
“Ayah pulang jam berapa buk?”
“Mungkin sore an. Kenapa?”
“Nanya aja sih. Masa ga boleh?”
“Iya udah itu lanjut dulu nyuci piringnya.”
Tok. Tok. Tok.
Terdengar suara pintu di ketuk. Ibu Ara segera berdiri dan membukakan pintu.
“Loh Hans, tumben kesini pagi – pagi?”
“Iya tante, lagi libur jualan.”
“Bakso lancar hans?”
“Alhamdulillah semua lancar tante.”
“Langsung ke dalam saja, itu Ara masih nyuci piring.”
“Tumben nona manis mau nyuci piring. Hahaha.” Ledek Hans.
“Jangan Cuma bisa ngeledek. Sini bantuin.”
“Aku kesini mau main kok. Cuci saja sendiri. Wleee.”
“Awas aja ya, aku aduin ke Dita baru tahu rasa.”
“Bisanya cuma ngancam.”
“Dita? Temenmu yang rame itu ra?” sela Ibunya.
“Iya buk. Pacarnya kak Hans tuh. Hahaha.”
“Bener Hans?”
“Engga tante. Bohong tuh, ketularan Dita jadi tukang gosip juga si Ara.”
“Enak aja, dasar kang cilok. Mana ciloknya, pajak cilok kalau main kesini.”
“Dih, kan lagi libur. Semua cabang juga libur hari ini.”
“Memangnya ada apa hari ini kok semuanya diliburin?” tanya Ara keheranan.
“Ibu ratu mau kesini.” Jawab Hans.
“Hah? Tante maya mau kesini?”
“Iya, pesawatnya sih jam satu siang sampai di Surabaya. Kamu mau ikut jemput?”
“Engga deh. Di rumah saja aku. Nanti kena omel gara – gara bantuin kamu pindah disini.”
“Ibumu sama sipa kesini Hans?” tanya Ibu Ara.
“Sendirian tante, Papa palingan juga sibuk. Mana ada waktu papa ngurusin kemauan Ibu Ratu yang aneh bin ajaib. Hahaha.”
“Kok gitu kak?”
“Kamu tahu sendirilah, Ibu Ratu kalau sudah maunya ya harus dituruti. Papa palingan tinggal transfer – transfer uang saja.”
“Nah itu kamu ga nurut Hans.” Ucap Ibu Ara.
“Kok tante ketularan Ara sih jadi nyebelin.” Jawab Hans sambil memelas.
“Enak aja ngatain Ibuk ketularan aku. Aku tuh yang nurun sifatnya dari Ibu. Jadi bukan salahku, kan aku dapet bakat nyebelin tuj dari Ibuk.”
Tok.
Kepala Ara dipukul dengan bolpoin yang Ibunya bawa.
“Aduh.”
“Hus, ngawur saja. Kan Ibuk juga dapetnya dari nenek. Hahaha.” Jawab ibunya.
“Tuh kan sama – sama nyebelin.” Ucap Hans.
Hans mengambil bajwan jagung yang ada di meja. Lalu memakannya hanya dengan satu kali suap saja.
“Ra, kamu nanti ada acara ga?” Tanyanya.
“Ara harus nemenin tante belanja. Ga usah ngajak dia kemana – mana.” Sela Ibu Ara.
“Udah tahu jawabannya kan kak?”
“Aku ikut kalian belanja saja deh.”
“Ide bagus tuh. Syukurlah, aku ga perlu bawa belanjaan yang berat.” Sahut Ara.
“Kamu naik apa kesini? Kok ga kedengeean suara motormu, yang kenalpotnya cempreng itu?”
“Cempreng katanya, yang cempreng tuh suaramu.”
“Yeeee, gini – gini aku anggota paduan suara di kampus.”
“Paduan suara? Demo kali tuh, bukan paduan suara.”
“Ish, nyebelin.”
“Enak aja ngatain nyebelin. Yang nyebelin tuh Ibu ratu. Kan sifatnya jadi nurun ke aku.”
Ibu Ara kemudian tertawa,
“Coba nanti kalau maya denger kamu ngomong gini, bakal diapain ya kamu Hans?”
“Tante jangan kejem gitu dong ah.”
“Jadi kamu kesini naik apa kak? Becak?”
“Mobil. Kenapa?”
“Mobil siapa?”
“Mobilku lah.”
“Kapan kamu beli? Nyewa ya?”
“Beli mobil kok nanya kapan. Udah dari lama juga mobilnya.”
“Udah Lama? Bukannya kamu cuma motor ya kak?”
“Punya mobil dong. Lihat saja sendiri keluar.”
“Perasaanku kok ga enak ya.” Ucap Ara sambil berjalan keluar. Benar saja dia tidak melihat satu kendaraanpun di luar rumahnya. Ara masuk dengan hati dongkol, karena sudah dikerjain sama Hans. Timbulah niatnya untuk mengerjai balik.
“Wah bagus ya kak mobilmu.” Ucapnya setelah duduk di meja makan. Ganti hans yang merasa aneh. Bagaimana bisa ada mobil, dia kan ga naik mobil.
“Iya dong bagus.” Jawabnya singkat.
“Beli dimana kak? Aku pinjam boleh?”
“Wah, ga boleh. Kamu kan belum punya sim.”
“Pinjam kan ga harus aku yang nyetir.”
“Eh iya deh iya boleh.”
“Mana kuncinya? Mau lihat dong dalamnya kayak gimana.” Desak Ara. (Ayo, mau alesan apa lagi kamu Hans.) Batin Ara.
“Wah aku taruh mana ya tadi.”
“Kamu ga ngeluarin apapun kok Hans.” Jawab Ibu Ara.
(Mampus, ini mobil siapa sih yang dilihat Ara.) Batin Hans. Hans nampak kebingungan. Sementara Ara senyum – senyum sendiri.
(Tahu kan rasanya dikerjain. Syukurin.) Batinnya.
“Ra, aku ngaku deh. Aku ga naik mobil kesini.”
“Lah, mobil di depan punya siap dong?”
“Ya mana aku tahu Ra.”
“Aduh, padahal itu mobil parkirnya di depan rumah lagi. Ga bakal bisa keluar nih, kalau belum dipindah. Coba kakak cari deh siapa yang parkir di depan.” Ucap Ara.
Mau tidak mau, Hans segera pergi keluar. Dan kagetlah dia saat melihat ada sebuah mobil yang baru saja parkir di depan rumah Ara. Dia ingat betul mobil siapa itu. Cepat – cepat da masuk lagi dan menuju kamar mbak wiwid. Jika dia masuk kamar Ara, bisa ketahuan nanti.
“Kenapa kamu kak?”
“Sssstt, jangan bilang – bilang kalau aku disini.”
Ara masih tak mengerti maksud Hans. Kemudian terdengar pintu diketuk.
Tok. Tok. Tok.
“Siapa ya Ra? Kenapa Hans jadi takut begitu?” tanya Ibunya.
“Enggak tahu bu. Biar Ara lihat dulu ke depan.”
“Assalamualaikum. Araaaaaa.”
“Waalaikumsalam. Sebentar.” Jawab Ara. Ara pun membukakan pintu. Dan terkejutlah dia saat melihat siapa yang datang. Pantas saja kak Hans lari ngibrit, wong dia yang datang. Ucap Ara dalam hatinya.
“Masuk Dit. Tumbenan ga ngabarin mau kesini?”
“Iya, tadi rencana mau ke kampus. Tiba – tiba males, yasudah mampir sini aja.” Jawabnya sambil duduk di ruang tamu.
“Siapa Ra?” tanya Ibunya.
“Dita buk.”
“Oh Dita. Masuk sini nak.” Ajak Ibu Ara.
“Ga usah bu. Disini aja, iya kan Dit?” sela Ara.
“Iya bu, di sini saja.” Jawab Dita.
“Kamu ga jadi ke kampus deh ni?” tanya Ara.
“Gatau, malas.”
“Karena?”
“Gatau, tadi tiba – tiba merasa malas. Terus jadi pingin main kesini.”
“Tapi bentar lagi aku bakal pergi belanja. Kamu sendirian dong disini?”
“Belanja kemana?”
“Belanja bulanan aja sih. Ya palingan ke pasar. Becek, kotor, bau.”
“Hiiiih. Kok kamu belanjanya ke pasar sih. Kan ada tuh modern market. Enak disana bersih, rapi dan nyaman.”
“Tapi mahal.” Sahut Ibu Ara sambil meletakkan minuman dan camilan di meja.
“Hehe iya sih, makasih tante minuman sama camilannya.”
“Kamu gapapa tinggal sendirian disini kalau tante sama Ara keluar?”
“Sebenernya kesini mau nyari temen. Kalau pada mau keluar ya gapapa deh, aku tunggu disini aja.”
Ara dan Ibunya saling pandang. Seakan mereka mengatakan kata yang sama “gawat”.
“Kami kalau belanja lama loh Dit.” Ucap Ara mencoba mengubah keputusan temannya.
“Sejam? Dua jam? Aku kan bisa tidur di kamarmu.”
“Kamarku berantakan. Jangan deh. Mendingan kamu ke kampus. Nanti aku nyusul kesana deh.” Bujuk Ara.
“Ada apa sih? Kok kayanya kamu nyembunyiin sesuatu.”
“Engga kok, aku sama Ibu mesti cepet pergi belanja soalnya. Nanti ayahku pulang perdin.”
“Oh, ayahmu mau pulang. Iya deh aku ke kampus saja.” Jawab Dita.
Ada kelegaan diwajah Ara dan Ibunya.
“Tapi minuman sama camilannya aku bawa ya?”
“Iya bawa saja gapapa.” Jawab Ibu Ara.
Ahirnya Dita pun pergi. Ara dan Ibunya lega, Hans pun juga lega.
“Sudah pergi?” tanya Hans sambil mengintip dari balik tembok.
“Sudah kok kak.”
Tapi tiba – tiba pintu terbuka lagi.
Bersambung.