Sepanjang perjalanan menuju pasar. Hans menjadi perhatian banyak orang. Bahkan ada beberapa gadis yang memfotonya waktu berhenti di lampu merah. Sambil berkata
“Ganteng – ganteng kok tukang bentor.”
Ara langsung tertawa terbahak – bahak mendengarnya. Hans yang kesal ahirnya memukul kepala Ara.
Pletak.
“Aduh. Sakit kak.”
“Biarin.”
“Sudah sudah jangan berantem disini. lampunya sudah hijau. Ayo cepat jalan Hans.”
“Iya tante. Ara nih, bikin kesel aja.”
Di pasar.
“Hans kamu ikut ke dalam ya?” Ucap Ibu Ara.
“Yah tante, nanti bajuku kotor. Kan nanti mau jemput Ibu Ratu.”
“Yaudah deh, ayo Ra.”
“Lah yang ngangkat nanti Ara dong?”
“Engga, nanti kita sewa tukang panggul saja. Sekalian bagi – bagi rejeki nanti sama mereka.”
“Oke.”
“Eh kak, jangan ngelamun. Nanti kesurupan setan pasar. Hahaha.” Ucap Ara sambil berlalu pergi.
Beberapa barang belanjaan sudah ditangan. Ibu Ara mampir ke warung langgangan.
“Bu nasi campurnya masih ada?”
“Ada bu, lima bungkus seperti biasa?”
“Tambahin bu. Dua puluh lima bungkus.”
“Wah banyak banget bu, ada saudaranya?”
“Engga kok bu. Mau makan siang bareng – bareng di depan sama Pak Joko dan yang lain.”
“Oooh, mau pakai lauk apa Bu?”
“Empal.”
“Semuanya?”
“Iya samain saja Bu.”
“Siap Bu Bos.”
“Sejak kapan Ibu jadi bos? Hahaha.” Ledek Ara.
“Barusan mbak. Hehe.” Jawab sang penjual nasi.
Dua puluh lima bungkus nasi sudah dikantongi. Ibu Ara segera memanggil Pak Joko yang sedang duduk di depan toko.
“Pak kesini. Ini dibawa ke depan juga ya pak.”
“Siap bu.” Jawab Pak Joko. Seorang kuli panggul pasar besar di kota itu. Lelaki dengan usia lebih dari lima puluh tahun. Dia masih giat bekerja, walau kulitnya sudah keriput. Dia menggantungkan hidupnya pada tiap tetes keringat dan beratnya barang yang harus dipikulnya.
“Pak, tolong temannya yang lain dipanggil kemari. Kita makan sama – sama yuk.” Ucap Ibu Ara.
“Baik bu, saya akan panggil mereka.” Pak Joko berlalu.
“Ra, panggil Hans kesini. Sekalian beli es degan di depan sana ya.”
“Uangnya mana?” ucap Ara sambil menengadahkan tangannya.
“Iya, ini loh uangnya. Kembaliannya jangan dikantongin loh. Buat dikasih ke Pak Joko itu.”
“Iya bu. Nanti aku minta ke Ayah saja kalau sudah pulang.”
“Minta yang banyak Ra. Bagi dua ya?” goda Ibunya.
“Halah, jatah Ibu kan lebih banyak. Gamau.” Ucapnya sambil menuju tempat Hans memarkir bentor.
“Kak dipanggil Ibu. Disuruh kesana.” Ara menunjuk halaman toko yang sedang tutup.
“Kamu mau kemana?”
“Beli es.”
“Es apa?”
“Es pistol.”
“Hah?”
“Yeeee kudet es pistol ga tahu.”
“Emang apaan?”
“Mau tahu? Ayo ikut.”
“Yaudah ayo.” Alih – alih ke tantenya. Hans malah mengikuti Ara membeli es. Ara berhenti di gerobak penjual es.
“Bang, beli esnya.”
“Berapa neng?”
“Dua puluh lima.”
“Dua apa lima neng?”
“DUA PULUH LIMA BANG. DU-A PU-LUH LI-MA.” Ucap Ara kesal. Hans terkekeh mendengarnya.
“Banyak banget neng, buat apa?”
“BUAT MANDI. YA DIMINUMLAH BANG. ISH BAWEL DEH. CEPET BUNGKUS SAJA, GA USAH NANYA – NANYA LAGI. ATAU AKU GA JADI BELI.” Ancam Ara. Dia sudah hafal kelakuan para bakulers di pasar. Lebih baik mengakhiri percakapan daripada makin kesel.
“Eh Ra. Katamu es pistol? Kok es degan?”
“Noh baca tulisannya.” Ara menunjuk tulisan di gerobak penjual es.
“ES THE GUN.” Hans membacanya dan langsung tertawa terbahak – bahak.
“Neng, cowoknya kesurupan?”
“Eh jangan sembarangan ya bang ya. Jangan mentang – mentang jualan es, terus ngatain dia itu cowokku. Ga mau aku bang punya cowok nyebelin, aneh bin ajaib kayak dia.” Omel Ara tidak terima dibilang dia pacarnya Hans.
“Eh kalau ga mau sama dia. Sama saya saja neng.” Goda abang – abang es.
“Bang inget umur. Inget anak. Inget istri. Inget malaikat izrail bisa dateng kapan saja.” Ara semakin nyerocos.
“Eh kok bawa – bawa malaikat izrail sih neng.”
“Biar abang inget. Hidup cuma sekali, sok – sok an godain gadis. Digaplok wajan sama istrinya nyaho.”
“Bang, jangan mau pacaran sama dia. Suka ngomel, galak pula.” Ucap abang penjual es pada Hans. Pecahlah sudah tawa Hans mendengar itu. Ara cemberut dan melengos.
“Bang, yang bayar dia ya. Sekalian yang itu biar dia yang angkut.” Ucap Ara sambil pergi meninggalkan Hans yang masih tertawa.
“RAAAAA UANGNYA MANA?” Teriaknya.
“UANGMULAH. SAPA SURUH NYEBELIN.” Ara balas teriak. Ditinggalkannya Hans dengan sekeresek es degan.
“Mana Hans?”
“Tuh disana bawa es.”
“Kembaliannya mana?”
“Nih, rejekinya Pak Joko. Duitnya utuh.”
“Loh kok bisa?”
“Kak Hans yang bayar. Hahaha.”
“Alhamdulillah, bisa berbagi lebih banyak.”
“Iya bu, lain kali suruh saja dia ikut belanja sekalian dibayarin. Hahaha.”
Hans langsung memberikan sekeresek es degan pada tantenya.
“Ini tan, berat banget tan.” Ucapnya sambil memijit lengannya.
“Lain kali kalau belanja jangan ajak Ara, nyusahin tan.” Lanjutnya.
“Nah bener tuh bu. Ajak kak Hans saja biar sekalian dibayarin. Hahahaha.”
“Makasih ya Hans. Kapan – kapan lagi ya. Hehe.” Goda Ibu Ara.
“Iya aja deh biar cepet.” Jawabnya.
Pak Joko datang bersama beberapa temannya. Teman seperjuangan menjadi kuli panggul di pasar besar. Ibu Ara selalu memilih belanja di pasar besar, daripada ke pasar modern. Bukan hanya untuk berhemat, tapi juga untuk berbagi manfaat. Karena disetiap rejeki yang diterima. Ada pula hak mereka disana. Maka seberapa kecilpun, tetap harus dibagikan. Ibu Ara membagikan sebungkus nasi dan sebungkus es degan pada mereka masing – masing. Disetiap penerimaan itu, selalu terselip doa – doa yang dilantunkan mereka. Tangan – tangan tua itu menjadi harap setiap istri mereka. Pundak – pundak mereka menjadi tumpuan para anaknya. Dan setiap langkah kaki menjadi panutan setiap cucunya. Tubuh tua itu memikul banyak beban. Namun, tak ada sesal baginya. Tak terasa berat langkahnya. Ringan saja rasa syukur selalu terucap dari mulutnya.
“Ra, Hans, ingatlah. Setiap rejeki yang kamu terima ada hak mereka.”
“Iya bu.”
“Iya tan.”
“Kalian masih muda, masih panjang perjalanan kalian. Pada ahirnya doa – doa merekalah akan ikut menjadi penolongmu di hadapan Rabb mu. Dalam setiap doa mereka ada namamu disana. Maka namamu akan terukir dicatatan langit. Hal – hal yang menurut kalian kecil, bisa menjadi besar bagi mereka. Uang lima ribumu, yang hanya cukup kau belikan cilok. Bisa menjadi sebungkus nasi untuk mengganjal laparnya perut bagi mereka. Semoga kalian bisa menjadi penerus kebaikan ini. Karena, walau hanya sekali seminggu, mereka menunggu. Menunggu sebungkus nasi yang bisa dia bawa pulang pada keluarganya. Menunggu sebungkus nasi yang bisa membantu mengenyangkan perutnya. Menunggu sebungkus nasi yang bisa membuatnya bangga, pulang dengan nasi berlauk ayam. Seremeh itu bahagia mereka. Tapi kalian tidak boleh merehkan rasa mereka. Kalian harus menghargai setiap jerih payah siapapun.”
Keduanya hanya mengangguk.
“Pak Joko, ini nasinya masih banyak. Boleh titip dibagikan sama teman yang lain?” ucap Ibu Ara.
“Baik bu, boleh. Terima kasih banyak bu. Tapi....” kalimatnya terhenti. Menggantung, ada ragu untuk mengutarakan isi hatinya.
“Tapi apa pak?”
“Ga jadi deh bu.” Ucapnya sambil membungkus sisa empal miliknya. Lalu memasukkannya kedalam saku celananya. Ibu Ara menangkap sesuatu dari raut wajahnya.
“Bilang saja pak, gapapa. Nasinya kurang ya kalau dibagikan?”
“Enggak kok bu. Ini cukup, hanya ada tiga orang lagi yang masih memanggul sayur tadi. Lebihnya Ibu bawa saja.”
“Kalau Pak Joko tidak keberatan. Bapak dan teman – teman yang lain, boleh ambil lagi. Bawa pulang buat anak – anak makan di rumah.”
“Ya Allah bu, terima kasih. Ya Allah terima kasih sudah mempertemukanku dengan orang yang baik. Terima kasih atas rejekimu hari ini Ya Rabb. Semoga Ibu dan keluarga dilancarkan usahanya, sehat selalu dan dipanjangkan umurnya. Serta kelak masuk surga.”
“Aamiin Ya Rabbal alamin. Terima kasih doanya Pak Joko.”
“Saya yang terima kasih bu. Kalau bukan karena Ibu. Mana mampu saya makan empal seenak ini. Anak – anak pasti senang bisa makan empal. Biasanya hanya bisa menikmati daging waktu hari raya Qurban. Itupun diirisnya tipis – tipis bu, biar semua kebagian.”
“Semua atas izin Allah pak. Saya hanya menyampaikan titipannya.”
“Sekali lagi, terima kasih bu.”
“Sama – sama pak. Kami pamit dulu. Bapak – bapak, kami pamit dulu. Monggo disekecaaken ngge. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Terima kasih bu.” Ucap mereka.
Mereka bertiga pun pulang. Barang belanjaan hampir memenuhi bentor yang mereka naiki. Ibunya melirik ara yang sesekali menyeka air matanya.
“Kamu kenapa?”
“Gapapa bu.”
“Bener?”
“Iya bu, ga nyangka saja. Hanya makan empal mereka bisa begitu bersyukur. Jauh sekali rasa syukurku dibanding mereka. Ringan sekali mulut mereka mengucap syukur. Sedangkan aku, terkadang masih tak menyentuh makanan ibu.”
“Jadikan hari ini pelajaran bagimu. Jangan lupa bersyukur.”
Ara membenamkan wajahnya dipelukan sang Ibu. Hans pun merasa hatinya mencelos, melihat para kuli panggul bisa begitu bahagia hanya karena sebungkus nasi. Bahkan mulutnya tak henti mengucap syukur, hanya karena perutnya terisi. Sedangkan hati, terkadang masih merasa kurang. Masih merasa tak cukup. Masih terasa belum mencapai apapun. Padahal baju di lemari masih banyak yang tak terpakai. Nasi di piring masih banyak tersisa. Bahkan air di bak mandi sering terbuang. Sungguh, hati penuh syukur adalah obat. Obat dari segala resah. Resah karena tak punya kuota, padahal masih bisa makan dengan nyaman. Resah karena tak punya mobil, padahal motor masih bisa dipakai. Syukuri apa yang ada. Karena dengan syukur akan terhindar dari kufur.