Lost
Malam itu diki membelai rambut ara dengan sedikit gemetar. Ada rindu dan malu. Berbulan – bulan mereka tak bertemu. Diki meniti karir dikemiliteran yang dia tempuh lewat kota lain. Semenjak Diki mengikuti pendidikan militer komunikasi mereka hilang. Senyap. Ara hanya diam, dia tau lelakinya kini bukanlah miliknya lagi. Dia milik negara dan wajib mematuhi apapun perintah negara. Terlebih sudah berbulan – bulan mereka terpisah jarak, hati ara tak lagi sama. Ada yang mengganjal disana. Suatu rasa tak percaya, tapi selalu ditepisnya.
“Maaf. Membuatmu menunggu lama.”
“Tak apa. Lalu bagaimana?.”
“Kemarin aku sangat sibuk, keluarga berkumpul di rumah. Menanyakan banyak hal. Aku sangat lelah. Makanya tak bisa menghubungimu kemarin.”
“Tak apa. Lalu bagaimana?.”
“Bagaimana apanya?.”
“Bukannya kamu harus pergi lagi?.”
“Iya, besok aku sudah akan berangkat lagi. Dinas. Dan mungkin akan susah untuk pulang tiap tahunnya.”
“Kemana?.”
“Papua.”
Deg.
Ara meringis, dia meremas tangannya begitu kuat. Ada yang semakin tak bisa dia rasakan. Ada sesuatu. Ada sesuatu. Batinnya.
“Pergilah. Itu kewajibanmu. Tak apa, carilah yang lain. Yang dekat denganmu disana.” Ada getir yang begitu menyayat hati, tapi seakan sudah biasa. Sudah terbiasa tanpanya. Sudah terbiasa melihat dia dengan yang lain. Sudah. Cukup.
“Maksud kamu apa? Putus?.”
“Apapun yang kamu pikirkan, ikuti saja hatimu. Aku lelah.”
“Aku disana pendidikan loh, bukan main disana tuh.”
“Iya aku tau, beberapa kali aku menelponmu. Yang mengangkat orang lain. Katanya kamu keluar dengan temanmu. Silvi namanya.”
“Itu cuma temen. Itu juga ga kemana – mana, deket rumah bang ryan aja.”
“Baiklah, pergilah.”
“Kita ga putus. Oke.”
“Ya, pergilah. Aku pulang.”
“Aku antar.”
Ara, sedikit menghindar saat tangannya disentuh oleh Diki. Rasa itu sudah semakin terkikis. Lukman, teman medsosnya pernah mengatakan
“Tak begitu banyak lelaki disini yang menjaga hati. Tetapkan hatimu, mantapkan pilihanmu, berhati – hatilah.” Ucapnya di sms suatu sore.
Lukman juga abdi negara. Seseragam dengan Diki. Tapi mereka berbeda tempat dinas. Yang membuat Ara semakin ragu adalah, mereka sama – sama melewati hal yang sama. Tapi Diki tak bisa meluangkan waktu untuknya, sedangkan Lukman bisa dengan santainya berbalas komentar di medsosnya. Ara mantap untuk mengahiri saja hubungannya dengan Diki. Beberapa kali dia memergoki Diki memakai foto perempuan di profil BBMnya, tapi dia berkilah bahwa itu hanya taruhan dan hanya untuk sehari saja. Memang sih sehari setelahnya foto itu digantinya dengan foto buku catatan yang pernah Ara berikan padanya. Tapi hati Ara semakin meragu, taruhan macam apa yang mereka mainkan? Adakah taruhan – taruhan lain nantinya? Atau bahkan hubungan mereka juga dapat dipertaruhkan? Bukankah pasangan harus saling menjaga perasaan? Ara memikirkan hal – hal semacam itu sebelum dia memutuskan untuk mau bertemu Diki dan memantapkan pilihan hatinya.
Mereka memang tidak putus. Tapi hati Ara tak lagi mencinta, tak lagi dia memanja di sms atau pun chat BBM. Dia terbiasa tanpanya, menjalani hari tanpa kabarnya, tidur tanpa ucapan selamat malam darinya. Sudah biasa.
Bulan berganti pun Ara tak pernah memaksa untuk komunikasi intens dengan Diki. Diki telpon ya diangkat, sms ya dibalas, tanpa dia berusaha untuk selalu menjadi yang pertama menanyakan kabar seperti sebelumnya. Karena suatu ketika Ara tahu, bahwa ada wanita lain. Dan dia telah lelah berjuang mempertahankan hubungannya sendirian.
Tring.
BBM dari Lukman.
“Teh, gimana kabarnya?.”
Read.
“Baik bang, maaf lagi sibuk nih. Lanjut nanti ya.”
“Kamu baik – baik aja teh?.”
“Baik.”
“Jangan bohong!.”
Read.
Ara menangis. Tersedu. Tergugu. Dia seketika berpikiran buruk lagi dan lagi. Kenapa orang lain bisa seperhatian itu, sedangkan orang yang dicintainya tidak. Ara terpuruk dalam pikirannya sendiri. Kemudian dia mengetik pesan di BBM nya
To: Diki
“Kita putus saja ya?.”
Read.
Tak ada balasan. Tapi kemudian foto profi Diki berubah lagi. Foto perempuan lain, tapi kali ini berbeda. Diki duduk disamping perempuan itu, dengan senyum bahagia. Selama ini Ara telah membuang waktu begitu banyak dengannya. Semua pikiran – pikiran buruk itu ternyata nyata. Dia merasa lega dan sakit secara bersamaan.
Sore.
Senja sedang berada diperaduannya. Ara melipir ke hilir sungai dekat rumahnya. Disekitarnya ada beberapa pasang orang sedang pacaran. Dia merasa seperti tomat diantara ceri. Sama – sama merah tapi beda rasa. Tiba – tiba dia merasa merinding. Ada yang tidak beres dengan tempat itu. Dia memelankan kunyahannya. Memekakan telinganya. Dan tiba – tiba
“Mbak tolong geser dong.” Ucap seorang wanita berbaju putih panjang sampai menutupi kakinya. Ara melongo, berusaha menguatkan pikirannya sendiri bahwa itu bukan penampakan.
“Mbak tolong geseran dong.” Ucapnya lagi.
Ara masih diam ditempatnya. Masih dengan tatapan ketakutan dan tak percaya.
“Mbak! Aku mau photoshoot. Geseran dong. Malah melongo lagi.”
“Eh iya iya mbak, maaf. Kukira kunti tadi. Eh.” Ucap ara sambil menutup mulutnya. Ara melipir pulang, untung sesembak itu ga denger apa yang dia ucapkan.
Sudah beberapa bulan berlalu. Ara menyibukkan diri dengan segala hal yang dia sukai. Kesibukkan itulah yang pada ahirnya mengikis setiap lukanya. Grup komunitas sss (f*******:) yang Ara ikuti sedang giat – giatnya mengadakan kuis untuk para member. Tapi ara selalu telat dan ga berhasil menjadi pemenang di setiap kuis. Sial betul nasibnya. Sudah jomblo kalah terus pula.
Tuing.
Ara mendapaktan notifikasi di messengernya.
“Hai.”
“Sapa?.”
“Aku “bulu”. Member grup juga.”
“Oh.”
Ara mempraktekan tips mengahiri chat dengan kata “Oh” dan ternyata berhasil. Seseakun yang men chat nya itu hanya me read aja tak membalas lagi. Percakapan itu pun berahir.
Tuing.
Notifikasi chat lagi, Ara sedikit kesal karena ternyata ada pesan masuk lagi. Padahal dia sudah membalas dengan “Oh.”.
“Hai pesek.”
Ternyata yang men chat nya adalah orang yang berbeda. Tapi malah makin ngeselin, belum tau siapa malah langsung ngatain pesek.
“Sapa?.”
“Orang ganteng.”
“Pede amat lu.”
“Emang ganteng kok. Cek aja fotonya.”
“Ogah.”
“Palingan juga nanti penasaran terus buka profil aku. Yakin deh.”
“Ga jelas banget sih.”
“Mau taruhan?.”
“G.”
“H.”
“Apaan sih!”
“Kan aku cuma ngelanjutin aja.”
“Sebel.”
“Jangan sebel nanti nempel.”
“GAJELASBANGETSIH.”
“Spasinya mana, ngetik tuh yang sesui eyd dong biar enak bacanya.”
“Kamu kira lagi pelajaran bahasa indonesia apa?.”
“Engga kok, kan lagi chat an aja ini.”
“Dih.”
“Hih.”
“Edyan. Ga waras. Seteres.”
“Ya karenamu aku edyan, ga waras dan seteres. ♥️”
Read.
“Kok ga dibales?.”
“Lagi senyum – senyum ya?.”
“Aku tau nih, pasti lagi ngecek profilku kan? Ngaku deh!.”
Deg.
Dia siapa sih, batin Ara. Ara memang sedang senyum – senyum sendiri mengingat tadi dia taruhan soal bakal buka profil orang itu apa gak. Dan ternyata dia buka. Awalnya niat nyuekin, eh kok orangnya asik.
“Belum puas ya liatin fbku?.”
“Sapa yang liatin fbmu? Pede amat.”
“Ga ngaku lagi, tadi uda nge like fotoku juga.”
“Eh mana ada aku nge like fotomu ya, aku cuma liat aja.”
“Ahahahahahaha, tuh kan kamu buka profilku. Aku menang taruhan.”
Ara keceplosan mengetik, dia terpojok. Dan memilih off sss dan mematikan notifikasi chat dihapenya.
Beberapa hari kemudian dia membuka lagi fbnya. Mengaktifkan lagi aplikaai chatnya. Dia mulai penasaran, siapa seseakun itu. Siapa dia, dan kenapa begitu nyaman berbalas chat dengannya. Tanpa disadari Ara menunggu. Menunggu chat darinya. Karena saat dia membuka aplikasi chantnya tak ada lagi pesan dari seseakun itu. Dia membuka profilnya lagi, mengamati lagi, memilah foto yang bisa dia lihat dengan jelas wajah seseakun itu. Betapa terkejutnya dia ketika dia membuka salah satu foto itu dan ada tulisan
“Gimana aku ganteng kan? Ciye buka – buka fotoku nyari yang kelihatan wajahnya ya. Ahahahaha, jangan kangen ya Ara. Aku menghilang dulu ♥️.”
Ara melotot melihat tulisan itu. Ada namanya disana. Seseakun ini sengaja menuliskan keterangan difoto untuknya. Seperti sudah tahu, bahwa Ara akan segera mengecek foto – fotonya untuk mencari tahu siapa dia. Rasa penasaran Ara segera tumbuh dengan cepatnya.