Pagi hari yang melelahkan bagi Ara. Setelah dua hari berturut – turut tenaganya terkuras untuk melaksankan sebuah acara. Dirinya masih bermalas – malasan dikasur. Enggan untuk bangun. Diliriknya jam yang berada di nakasnya.
“Masih jam setengah lima ternyata.”
Ara melanjutkan tidurnya. Baru saja dia memejamkan mata, terdengar suara ketukan pintu kamarnya.
“Ra, bangun. Sudah subuh.” Ucap Ibunya.
“Iya bu.” Jawab Ara yang masih rebahan di kasurnya.
Ara masih ingin melanjutkan tidur. Tapi, apalah daya, sang Ibu akan segera mengeraskan suara jika Ara tak kunjung keluar dari kamarnya. Dengan langkah malas dia leluar kamar dengan membawa handuk.
“Mbak wiwid belum bangun buk?” tanyanya.
“Belum, mbakmu lagi menstruasi. Biar saja dia tidur dulu.”
“Giliran Ara yang bangun siang pas mens, Ibu ngomel – ngomel.”
“Gimana Ibu ga ngomel kalau kamu bangun siang. Bagunmu saja jam sebelas. Anak gadis ga boleh bangun siang – siang. Mbakmu kan sebentar lagi juga bangun, kan dia mesti berangkat kerja. Nah kamu, tidur sampai jam sebelas baru bangun. Gimana Ibu ga ngomel.”
Ara hanya cemberut, tak berani lagi dia menjawab omelan Ibunya. Dia langsung menuju kamar mandi.
Setelah selesai sholat, Ara langsung duduk di meja makan sambil bermain hape.
“Ibuk masak apa?” tanyanya.
“Masak soto ayam kesukaanmu.”
“Wah asiiiiik. Masih lama buk matangnya?”
“Sebentar lagi, dua puluh menit lagi matang.”
“Dua puluh menit lagi ya ga sebentar itu buk.”
“Ya kan dari pada sejam lagi?”
“Ah ibuk.”
Ara melanjutkan bermain hape. Kemudian dia teringat akan telepon Luffi yang diangkat oleh Nesa kemarin. Dia pun mengirim chat pada Nesa.
“Nes. Sudah bangun?”
Read.
“Iya, kenapa?”
“Aku telpon ya?”
“Oke.”
Tut. Tut.
“Halo.”
“Halo Ra, gimana?”
“Ada yang mau aku tanyain nih.” Ucap Ara sambil berjalan menuju kamarnya. Tak lupa dia menutup pintu kamarnya agar tak terdengar dia sedang teleponan.
“Tentang apa? Apa tentang telepon kemarin ya?”
“Kok kamu tahu sih Nes. Hehe.”
“Siapa dia Ra?”
“Temen aja kok Nes. Kemarin dia bilang apa saja?”
“Ga banyak kok. Cuma aku kira dia itu Diki tahu. Aku pikir nomernya sudah kamu hapus. Makanya ga ada namanya di kontakmu.”
“Engga hahaha. Nomernya masih kok. Biar lebih gampang buat ga ngangkat kalo dia telpon lagi. Haha.”
“Bener juga ya. Dia kemarin aku omelin Ra. Hahaha.”
“Gimana, gimana ceritanya?”
“Jawab dulu dong, dia siapa kamu?”
“Cuma temen.”
“Yakin? Ga bohong?”
“Emang kenapa?”
“Dia ngakunya pacar kamu loh ke aku kemarin.”
“Hah? Pacar?”
“Iya.”
“Cuma temen kok. Tapi emang lagi deket sih.”
“Lagi pedekate toh.”
“Hehe begitulah Nes.”
“Jadi karena di hapemu ga ada namanya, maka aku tanyalah dia siapa kan. Terus dia jawab pacarmu, ku kira Diki dong. Aku ngomel – ngomel lah ke dia. Sudah nyakitin kok masih nelpon, banyak banget lagi aku ngomelnya. Eh dia terus jawab. Aku bukan Diki. Langsung kicep aku Ra. Ahahha.”
“Wah pantesan dia kemarin nanya Diki itu siapa.”
“Oh ya? Hahaha maaf nih Ra. Habisnya kan aku ikutan sakit hati gegara Diki. Bisa – bisanya dia begitu.”
“Terus dia ga bilang apa – apa lagi?”
“Engga, inti dari telepon itu cuma aku ngomelin dia. Hehehe.”
“Oh gitu, kok kamu ga bangunin aku waktu dia telepon?”
“Kamu tidurnya pules banget. Ga tega aku bangunin. Toh dianya juga ga mau, dia bilang biar kamu istirahat saja.”
“Oooooh.”
“Ciye yang pedekate ciyeee.” Ledek Nesa.
“Kamu jangan bocor ya. Kalau Dita sampe denger hal ini. Sekampus bakal tahu.”
“Beres. Oh iya, nanti kamu ke kampus?”
“Gatau deh. Badan capek banget rasanya.”
“Aku kayanya bakal ke kampus sih nanti. Masih banyak yang mesti diberesin. Sambil sekalian nyicil buat laporan kegiatan.”
“Yaudah kamu saja ya, aku tidur saja hari ini. Hehehe.”
“Hahaha iya, kamu istirahat deh. Nanti aku mampir ke rumahmu, mau dibawain apa?”
“Siomay aja deh, sama jus alpukat sekalian.”
“Yeeee lengkap banget. Yaudah istirahat sana. Aku mau mandi dulu.”
“Oke. Makasih Nes.”
“Sama – sama.”
Tut.
Telepon ditutup. Ara segera berganti mengirim pesan pada Luffi.
“Hai.”
Masih belum di baca. Ara meletakkan hape disampingnya. Dia mencoba untuk tidur lagi. Namun, baru memejamkan mata tiba – tiba
“Raaaaa. Mbak pinjam bajumu dong.” Ucap kakaknya sambil menepuk – nepuk pipi Ara.
“Ish. Minjem mulu.”
“Aku ga punya baju warna Biru nih. Nanti ada acara di kantor. Dress code nya warna biru.”
“Duit banyak buat apa? Beli dong.” Ledek Ara.
“Iya nanti beli. Sekarang pinjem dulu.”
“Yaudah ambil sana. Aku mau tidur. Ngantuk banget, masih capek.”
“Oke.”
“Jangan diberantakin ya. Kalau sudah pintu kamarnya jangan lupa ditutup.”
“Iya, bawel banget.”
Hape Ara berdering. Dia mengambil dan mengangkat telepon itu.
“Hallo.” Ucap Ara.
“Assalamualaikum dulu dong sayang.”
“Eh, waalaikumsalam.” Ucap Ara kaget, dia tak menyangka yang menelpon adalah Luffi.
“Gimana? Tidurnya nyenyak semalem?”
“Iya, lumayanlah. Tapi masih kerasa capek.”
“Keputusanku betul untuk ga ngubungin kamu semalem. Seengganya kamu bisa tidur dengan nyenyak.”
“Hehe pengertian banget sih.”
“Iya dong. Calon suami yang baik kan harus pengertian.”
“Suami siapa? Hahaha.”
“Suamimulah.”
“Emangnya aku mau?”
“Ga mungkin ga mau.”
“Hahaha. Lihat nanti sajalah.”
“Pacaran saja belum sudah ngomongin suami.”
“Kan kamu yang ngomong tadi.”
"Acara kemarin gimana?"
"Ga gimana - gimana kok. Alhamdulillah semuanya lancar."
"Syukurlah kalau semuanya lancar. Kamu hari ini ke kampus lagi?"
"Engga. Aku mau di rumah saja. Masih capek rasanya."
"Yaudah kamu lanjut istirahat saja. Nanti siangan aku hubungi lagi."
"Oke."
“Ehmmm. Gimana kalau kita pacaran Ra?”
“Pacaran?” Ara menghentikan kalimatnya. Dia tersadar bahwa kakaknya masih ada di dalam kamarnya.
Mbak wiwid yang masih memilih baju berhenti, dia mencoba mencuri dengar pembicaraan adiknya ditelepon.
“Kalau sudah cepet keluar mbak.” Ucap Ara yang menyadari kakaknya sedang mendengarkannya.
“Iya iya, bawel.” Ucap mbak wiwid sambil menutup lemari Ara. Dia membawa baju yang akan dia pinjam dan segera menutup pintu kamar Ara. Dia mendekat ke Ibunya yang sedang memasak.
“Buk, Ara punya pacar baru ya?”
“Gatau. Kenapa?”
“Itu lagi teleponan dikamar.”
“Oh ya?”
“Iya buk.”
“Anak mana pacarnya?”
“Mana wiwid tahu buk. Wiwid disuruh cepet keluar sama dia tadi.”
“Biarin deh. Masih muda, palingan juga cuma main – main saja. Kamu tuh yang sudah waktunya nikah. Mana calonnya? Sini kenalin ke ibuk.”
“Nah kok malah jadi wiwid yang kena. Wiwid mau ganti baju aja deh.”
Ibu Ara melanjutkan masaknya. Dia sedang merajang bawang daun untuk dimasukkan kedalam kuah soto. Menyiapkan sambal, kecap dan bawang goreng di meja makan. Soto sudah matang, perlengkapannya pun sudah disiapkan. Kemudian dia memanggil kedua anaknya untuk segera sarapan.
“Araaaaa, wiwiiiiid, ayo cepat keluar. Sarapan dulu.” Panggilnya.
Mbak wiwid segera keluar kamar. Begitupun Ara, dia juga keluar kamar.
“Ada yang punya pacar baru nih buk.” Ucap kakaknya.
Ara hanya melengos kesal, karena pembicaraannya didengarkan oleh kakaknya.
“Ada yang suka nguping orang teleponan nih buk.” Balasnya.
“Sudah – sudah. Ayo sarapan. Mau nguping kek, pacaran kek, nanti aja bahasnya sekarang makan. Nanti bantuin ibu belanja ya Ra. Ayah kamu nanti pulang dari perjlanan dinasnya.”
“Iya buk.”
Mereka sarapan bersama, menikmati lezatnya soto ayam. Ara dan kakaknya saling lirik. Tapi tak berani bersuara. Mereka takut ibunya kan marah jika ngobrol saat makan.