Bab 11. Pangeran Tampan

1095 Kata
Aldrich begitu memesona semua mata saat ia memberikan kuliah umum di atas panggung. Layaknya Steve Jobs bidang sejarah, Aldrich semakin membuat banyak orang kagum. Dari mahasiswa, para dosen sampai Walikota bahkan istrinya yang tak ingin berkedip menatap wajah imut namun tetap seksi dan berkarisma milik Aldrich Caesar. Aura seksinya tak bisa ditepis begitu saja. Ia memancar bagai bola lampu LED yang cukup kuat menyinari seluruh hall pertemuan tersebut. “Potongan patung yang di duga adalah pasangan Venus de Milo kabarnya ditemukan di situs itu. Kenapa jadi penting? Karena ini akan mengungkap siapa sebenarnya dewi ini? Apakah dia memang seorang Dewi yang memancarkan cinta atau ...” mata Aldrich melirik pada istri walikota yang terus memandangnya. “Gairah!” sambung Aldrich dan membuang pandangannya cepat pada audiens. Aldrich kemudian menunjukkan beberapa bukti dari situs yang pernah direstorasi dan digali oleh tim yang ia bentuk. Semua memancarkan kekaguman sepanjang dua jam sesi kuliah umum tersebut. Beberapa pertanyaan kemudian diajukan oleh para mahasiswa yang berbondong-bondong mengantre pada jalur yang telah disediakan oleh panitia. Dari pertanyaan serius sampai yang konyol. “Doktor Caesar, aku ingin bertanya pada Anda tentang gosip bahwa Dewa Ares mengkhianati Dewi Venus dengan berselingkuh darinya, apa itu benar?” tanya seorang mahasiswi sambil mengulum senyuman setelah memperkenalkan namanya. Seluruh audiens tergelak mendengar pertanyaan seperti itu dan Aldrich hanya menanggapi dengan senyuman dingin dan tampan. “Hmm ... tergantung dari situasinya. Jika yang kamu maksudkan adalah dewa-dewa mitologi Yunani dan Romawi maka aku bisa mengatakan bahwa tak ada satu pun dewa yang setia. Kesetiaan pada cinta adalah milik manusia,” jawab Aldrich dengan sedikit senyuman. “Tapi jika yang kamu maksudkan adalah pengusaha bernama Ares King, ya ... dia memang punya banyak pacar!” sontak semua orang tertawa lebih keras termasuk mahasiswi yang tadi sempat bertanya. “Apa kamu mengenalnya, Doktor? Tuan Ares King?” tanya mahasiswi itu lagi. “Tentu saja, dia sahabatku. Aku bisa kenalkan jika Anda mau!” tawar Aldrich dan malah disambut suitan oleh beberapa orang mahasiswa. Pertanyaan selanjutnya kembali membahas teori kejayaan Roma dengan jauh lebih serius. Dan Aldrich menjawab semua pertanyaan itu dengan sangat baik dan jelas. Sampai waktunya habis dan semua orang kecewa karena penjelasan Aldrich dalam kuliah umum itu begitu menarik. “Aku sangat menikmati paparan kuliahmu, Doktor Caesar!” puji Walikota menyalami Aldrich. Aldrich tersenyum dan sedikit membungkuk sopan. “Terima kasih atas pujianmu, Walikota. Aku juga sangat senang bisa berada di sini,” balas Aldrich tersenyum. Istri Walikota juga sangat senang dan ikut menyalami Aldrich sambil mengingatkan bahwa mereka memiliki janji makan malam beberapa jam lagi di museum milik kampus. “Tentu saja. Aku tidak akan lupa. Aku hanya akan mengobrol dengan beberapa dekan saja sambil menunggu makan malam.” Istri Walikota pun mengangguk dan masih memperhatikan Aldrich yang dibisiki sesuatu oleh Connor. “Ada beberapa mahasiswi yang meminta tanda tanganmu, Doktor!” bisik Connor pada Aldrich dan diberi anggukan olehnya. “Aku akan ke sana!” Aldrich lalu berbalik dengan sopan pada Walikota dan meminta ijin. “Aku harus menemui beberapa mahasiswa yang ingin berkonsultasi, permisi!” Aldrich lantas berbalik dan berjalan ke arah kumpulan mahasiswi yang sudah berbaris di depan sebuah meja. Sesungguhnya tak ada sesi tanda tangan, tapi seperti seorang selebriti, Aldrich melayani semua mahasiswi bahkan dosen yang sudah membeli buku-buku yang ia tulis. Aldrich menandatangani satu persatu buku yang disodorkan oleh para ‘penggemarnya’ di atas sebuah meja lalu menuliskan sedikit pesan untuk mereka. “Terima kasih, Doktor Caesar. Aku sangat senang membaca buku-bukumu. Mata kuliah sejarah Roma begitu menyenangkan!” puji salah satu mahasiswi yang memekik riang karena bukunya diberikan tanda tangan oleh Aldrich. Aldrich tersenyum dan mengangguk. Mahasiswi itu makin memekik riang saat Aldrich memberikan emoji hati yang ia gambarkan di sebelah tanda tangan namanya. “Keberhasilan seorang guru adalah saat siswanya menyukai apa yang ia ajarkan. Semoga kamu menjadi seorang ahli sejarah yang sukses dan bisa merawat peninggalan masa lalu dengan baik. Manusia yang baik adalah yang tidak pernah melupakan masa lalunya. Semoga harimu menyenangkan, Nona!” ucap Aldrich memberikan wejangan pada mahasiswi tersebut. Mahasiswi itu mengangguk dengan antusias dan mengambil bukunya kembali. Di belakang Aldrich, Connor Archer tersenyum sedikit menggelengkan kepalanya mendengar kata-kata bijak Aldrich. Ia pintar memotivasi orang lain tapi juga sangat licik menjatuhkan orang lain contohnya seperti Chloe Harristian. Usai kuliah umum, tanda tangan dan sedikit mengobrol dengan beberapa orang, Aldrich pun di ajak untuk masuk ke museum kampus. Ia bisa melihat koleksi kampus dan memberikan sedikit usulan demi perawatan barang-barang tersebut. Aldrich pun kemudian diundang makan malam seperti janji sebelumnya. Ia dibawa masuk ke sebuah ruangan yang sudah dipersiapkan untuk makan malam dengan beberapa dekan, dosen, rektor dan jajarannya termasuk Walikota dan istrinya. Makan malam pun berlangsung dengan hangat. Beberapa kali terdengar sedikit celetukan ringan dari tamu yang duduk bersama Aldrich. Connor Archer yang ikut duduk di sebelah Aldrich lalu menerima sambungan sebuah pesan dari Ibunda Aldrich yaitu Malikha Caesar. Connor pun menyampaikan pesan itu pada Aldrich yang membuatnya harus sedikit mengundurkan diri sesaat dari makan malam itu. “Mohon maaf, aku harus ke kamar kecil sebentar!” pinta Aldrich dengan sopan untuk keluar dari meja makan. Namun Aldrich tetap meminta Connor berada di meja menggantikannya meladeni obrolan. “Ouais Maman, comment vas-tu?” (Apa kabarmu, Mommy?) sapa Aldrich menghubungi ibunya di kamar mandi pria yang cukup luas dan sangat bersih. “Aku dan Daddy-mu baru pulang dari Alsace, dan aku mampir ke apartemenmu tapi tidak ada orang. Apa kamu masih di kampus?” tanya Malikha dengan lembut. “Tidak, Mom. Aku sedang di New Jersey. Aku sedang mengisi kuliah umum di Princeton, jadi mungkin akan pulang sedikit malam. Aku berencana mampir ke Golden Dragon sebelum pulang,” jawab Aldrich sambil memperbaiki dirinya di cermin lalu berbalik lagi berjalan ke arah dinding yang memiliki mozaik yang indah sebagai pajangan. “Wah, apa kamu sudah makan malam, Sayang?” “Aku sedang makan malam di Princeton, Mommy. Jangan khawatir.” “Tentu saja. Kalau begitu aku akan pulang saja. “Maaf, Mommy!” “Tak apa, Nak! Lakukan pekerjaanmu dengan baik, je t'aime!” “Je t'aime aussi!” (aku juga mencintaimu) Aldrich pun menutup panggilan dari ibunya dan menghela napas. Ia mungkin sudah dewasa tapi perlakuan Malikha padanya sama seperti saat ia masih empat tahun dan mulai bermusuhan dengan Chloe. “Tunggu dulu, kenapa aku jadi memikirkan dia! Ah, s**t!” umpat Aldrich berbalik dan memilih untuk berbalik ke salah satu wastafel untuk mencuci tangan dan wajahnya. Setelah menunduk dan memercikkan sedikit air ke wajah, Aldrich berdiri dan merogoh sapu tangan dari balik jasnya untuk mengelap wajah. Namun matanya spontan membesar melihat sosok di belakangnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN