Bab 1. Rasa Benci
Bunyi sepatu pantofel mahal menapak di lantai keramik di lorong yang sedikit penuh dengan mahasiswa pascasarjana yang tengah sibuk dengan urusannya masing-masing. Beberapa dari mereka kemudian buru-buru masuk ke saat melihat pria bersepatu pantofel mahal itu saat melintas.
Aldrich berjalan seperti manekin hidup. Dingin, angkuh namun tampan. Di atas hidung mungil yang tak begitu mancung tapi memiliki garis yang tegas, terpatri sebuah kacamata. Bibirnya penuh dan berwarna pink menjadi fantasi tersendiri bagi banyak mahasiswa wanita yang mencoba mendekat padanya.
Saat Aldrich melintas, maka jalan akan terbuka untuknya. Semua mahasiswa akan menyingkir dan hanya bisa mengurut d**a karena tak mungkin mendekat apa lagi menyentuh. Dia seperti puncak gunung Everest yang butuh korban nyawa untuk meraih puncak. Tak jarang harus merenggang nyawa di lerengnya karena kehabisan oksigen.
Begitu pula dengannya. Banyak wanita yang kehabisan oksigen saat berhadapan dengan dosen yang satu itu. Bukan hanya ketampanan sekaligus pesonanya yang membuat seseorang tercekat, tapi juga ketegasannya sebagai dosen.
Entah berapa banyak mahasiswa yang kerap gagal memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen yang satu itu. Tak ada kompromi dan ia memang dikenal cukup sulit di dekati. Beberapa mahasiswa yang merasa tak akan mampu memenuhi kriteria penilaian dari Aldrich akan memilih mundur.
Suatu kehormatan dan keistimewaan bagi seorang mahasiswa bisa lulus dari ujian yang diberikan oleh dosen yang merupakan ketua dari bidang studi sejarah Eropa abad pertengahan. Tak hanya itu, Aldrich adalah peraih gelar akademik dari dua bidang berbeda yaitu sejarah dan hukum. Selain seni dan sejarah, rasanya begitu mudah ia meraih gelar sarjana sampai doktor sampai tinggal menunggu pengukuhannya sebagai seorang profesor.
Sekarang lantai berubah dari keramik menjadi lantai kayu dengan ruang kuliah yang elegan berbentuk panggung teater. Beberapa mahasiswa sibuk masuk dan duduk di tempatnya kala dosen mereka masuk ke dalam kelas.
Seorang mahasiswi yang masuk belakangan, lewat begitu saja di belakangnya dan naik ke atas beberapa tangga untuk mengambil posisi duduk dua baris paling belakang. Aldrich yang menyadari hanya melirik dengan ujung mata dan ekspresi ketus. Begitu pula dengan si mahasiswi yang terpaksa mengambil kelas dari dosen yang paling ia benci.
“Pompeii adalah sebuah kota Romawi kuno didirikan sekitar abad ke-6 SM oleh orang-orang Osci atau Oscan dekat kota Napoli di Campania, Italia. Pompeii hancur oleh letusan gunung Vesuvius pada 79 M. Luruhan abu dan debu Vesuvius menimbun kota Pompeii selama ribuan tahun sampai ditemukan oleh pada 1748 oleh penjelajah.” Aldrich berhenti sejenak lalu menampilkan sebuah proyeksi yang ditampilkan pada layar khusus di depan kelas.
“Kota ini hilang selama 1.600 tahun. Kota pelabuhan ini merupakan puncak kejayaan Kekaisaran Romawi,” sambungnya lagi sambil menyapu seluruh kelas dengan pandangannya yang dingin. Semua mahasiswa ada yang mencatat dan selebihnya merekam mata kuliah tersebut lewat ponsel maupun alat perekam sehingga mereka bisa mencatat nanti.
“Plinius Muda adalah saksi mata yang menyaksikan fenomena alam terdahsyat itu. Ia lalu mengirimkan surat kepada sejarawan Tacitus dengan menceritakan kota Pompeii yang mulanya disinari terik matahari dalam sekejap menjadi gelap gulita karena serbuan awan gelap aliran piroklastik yang sangat panas dan keesokan harinya, kota Pompeii telah terkubur jutaan ton abu vulkanik.”
“Abu vulkanik selama ribuan tahun itu selain mengubur ribuan orang juga sebuah kereta jaman Romawi kuno ...” Aldrich mengganti slide presentasinya.
“Kereta empat roda terbuat dari besi, perunggu, dan timah ditemukan di dekat istal sebuah vila kuno di Civita Giuliana, sekitar 2.297 kaki di utara tembok Pompeii kuno. Kereta ini adalah kereta seremonial, seperti Pilentum yang digunakan bukan untuk penggunaan sehari-hari atau untuk transportasi pertanian, tetapi untuk mengiringi pesta, parade dan prosesi komunitas!”
“Kereta ini memiliki nilai fantastis dan luput dari pencurian barang langka. Ada yang bisa menjawab ukiran apa yang terdapat di kereta tersebut?” Aldrich tersebut mulai mengajukan pertanyaan. Gambar diperjelas agar para mahasiswa bisa menyebutkan jawaban dari pertanyaan yang dimaksud.
“Sepertinya itu ukiran posisi intim!” tebak seorang mahasiswa tanpa mengacungkan tangannya. Aldrich mendelik tak suka.
“Jika ingin menjawab, harusnya kamu mengajukan diri!” tegur Aldrich ketus. Mahasiswa itu terdiam dan pandangan sekarang beralih pada semua orang di ruangan itu.
“Nona Harristian! Apakah kamu bisa menjelaskan ukiran apa yang aku maksudkan?” panggil Aldrich menatap tajam dan sinis seperti biasa.
Chloe yang dipanggil bernapas lebih berat dan mencoba melihat pada ukiran yang sudah tak begitu berbentuk sempurna karena telah terkubur ratusan tahun.
“Itu seperti hewan mitologi Romawi satyr lalu di sebelahnya ... entahlah mungkin dewa cupid ....” Aldrich langsung tak puas dan mendengus kesal. Ia memperjelas sekali lagi dan bertanya.
“Pasang penglihatanmu dengan baik dan perhatikan gambar di tengah. Jangan lihat yang lain!” hardik Aldrich mulai marah lagi. Kelas langsung sunyi senyap. Sang calon profesor itu memang benar-benar pria yang tak bisa kompromi. Sekarang ia mulai kesal karena salah satu mahasiswi yang ia anggap lambat.
“Aku tidak bisa melihat, lagi pula kereta itu sudah terkubur selama ribuan tahun. Pasti ornamennya sudah berubah bentuk!” sahut Chloe tak mau kalah.
Aldrich mulai mengamuk dengan memukul meja di depannya. Ia menggeram dan mengepalkan tangannya.
“Apa kamu tidak membaca petunjuk dariku yang aku sebarkan di forum sebelum kelas ini berlangsung? Aku sudah memerintahkan untuk membaca bab tentang Pompeii! Tapi begitu aku bertanya paling mudah kamu tidak bisa menjawab!” bentak Aldrich makin kejam. Beberapa mahasiswa mulai memejamkan matanya.
Chloe padahal baru pindah ke NYU dua minggu lalu. Sebelumnya ia belajar di universitas lain. Dan sekarang ia sudah mencari masalah dengan menantang dosen paling berdarah dingin di kampus itu.
“Aku bukan tidak bisa menjawab tapi aku tidak bisa melihat!” bantah Chloe makin sengit.
“Nona Harristian, kamu datang ke kelasku untuk belajar. Bukan untuk bercanda!”
“Aku tidak bercanda, Pak!” sahutnya makin tinggi. Aldrich sudah tak bisa menoleransi lagi. Gadis itu memang membuatnya naik darah.
“Kamu berani menjawabku! Sekarang sebut tiga ukiran pada kereta itu!” tunjuk Aldrich makin marah. Chloe ikut melihat ke sekelilingnya dan menggeram kesal.
“Satyr dan Dewa Cupid. Hanya itu yang aku tahu!”
Aldrich mendengus kesal lagi atas jawaban tanpa usaha seperti itu.
“Lalu kamu sebut apa dewi laut yang menjadi salah satu selir Poseidon?” hardiknya memberikan petunjuk. Chloe lalu mengernyit, apa maksudnya?
Aldrich memukul mejanya lagi. Ia benar-benar marah dan tak bisa menoleransi mahasiswa yang datang tanpa persiapan yang matang.
“Nona Harristian! Ke ruanganku sekarang! kelas selesai!”.