"Liam?! Wah, ayo! Ikut sarapan dengan Tante dan Divya. Kamu rajin banget udah bangun udah rapi pagi-pagi."
Waktu sarapan yang lain dari hari sebelumnya. Suara Greta sudah kembali menggema di seluruh ruang makan tersebut. Ia menggiring Liam serta menarik kursi untuk pria yang jauh lebih muda darinya.
"Terima kasih, Tan," ucap Liam.
"Santai saja. Padahal Divya malah belum siap jam segini. Kamu tunggu dulu, biar Tante yang panggil, ya."
Senyumnya selalu mengembang.
Menunjukkan rasa bahagia pada putra Madhava. Pria yang akan menjadi menantunya tidak lama lagi.
Liam mengangguk, ia kembali memerhatikan sekeliling. Takjub dengan kemegahan rumah calon istrinya.
Sampai di lantai dua, Greta hendak mengetuk pintu kamar anaknya. Namun, pintu sudah terbuka dengan lebar. Hal itu membuat Greta kian senang. Dirinya tidak perlu repot berteriak untuk menyerukan nama sang anak.
"Mama? Ngapain kemari?" tanya Divya. Gadis cantik dengan balutan jeans belel dan turtleneck rajut warna maroon. Lekukan tubuhnya tergambar dengan jelas. Bahkan buah dadanya tampak sangat sintal.
"Wow! Anak mama cantik banget! Dengar! Mama kemari untuk bangunin kamu tadi niatnya, tapi kamu udah rapi saja." Greta mendekati Divya, berbicara dengan nada sepelan mungkin agar tidak terdengar sampai lantai bawah.
"Ayo! Kita turun, papamu sudah berangkat sejak pagi. Ada kerjaan penting katanya. Lalu, di bawah ada Liam—"
"Ma!" Divya sudah menyela ucapan sang ibu. Dia tidak suka mendengar seseorang menyebut nama itu. Kebencian Divya sudah mengakar. Meskipun tidak ada sebab pasti.
Jelas ketidaksukaannya hadir saat mendengar bahwa sang ayah menjodohkan dengan pria itu. Kendati Liam tidaklah buruk secara fisik, tetapi Divya sangat merasa tidak cocok dengan laki-laki yang demikian.
"Dengar dulu, Divya. Papamu nggak ada! Bersikaplah baik padanya. Ini akan jauh lebih memudahkanmu. Kamu tidak akan kena marah papa lagi. Liam anak yang baik."
"Benarkah? Dari mana mama begitu yakin?"
"Nggak ada orang tua yang pengen ngejodohin anaknya dengan penjahat, Divya. Jika papa sudah memilih berarti itu yang terbaik!" tekan Greta.
"Mama sadar nggak? Lima hari lagi Divya bakal sibuk skripsi. Mama mau Divya nggak lulus karena kudu debat masalah ini?"
"Divya, mama mohon sama kamu! Turun dan sarapan bareng kita! Nggak ada bantahan! Mama mohon!" Nada bicara yang penuh dengan penekanan. Meski, Greta menyertakan permohonan. Namun, itu sangat memaksa.
Divya memicing menatap sang ibu. Tanpa kata dia pun meninggalkan Greta dan menuruni anak tangga.
Begitu tiba di ruang makan, ternyata Ghazi pun duduk di sana. Menantikan dua majikan yang belum bergabung.
"Hai! Akhirnya kamu turun. Lihatlah! Kamu menawan, Divya," puji Liam. Lagi-lagi dia mendekati Divya dan dengan entengnya merengkuh pinggang Divya kemudian hendak mencium pipi gadis itu.
"Kurang ajar! Siapa suruh Lo deketin gue! Sumpah! Nih, cowok gila kali, ya!"
"Maaf, Divya reflek!"
"Reflek karena udah kebiasaan lo, setan!" marah Divya. Dia sudah malas duduk di kursinya. Nafsu makannya sudah hilang. Padahal tadi, Divya sudah berniat baik untuk membantu sang ibu. Mengabulkan permintaannya guna bersikap baik.
Namun, ia dilecehkan secara terang-terangan.
"Apa perlu saya mengusirnya, Nona?"
"Hei! Jangan, Ghazi. Dia tamu Divya dan saya. Maaf, Ghazi sebaiknya kamu tunggu saja di luar, ya. Kita akan makan sambil sedikit berbincang," usir Greta yang sudah kembali bergabung.
Bukankah sebelumnya, Greta juga yang mengundang Ghazi untuk bergabung? Kini pria itu juga diusir oleh wanita yang sama.
"Baik, Nyonya." Sampai-sampai, Ghazi belum mendengar jawaban dari Divya.
"Mama makan sendiri aja! Div telat!" seru Divya. Ia menyusul Ghazi. Meninggalkan ruang makan.
"Div! Divya! Divya!" teriakan Greta sama sekali tidak diindahkan oleh sang empu nama. Gadis itu tetap terus melangkah menjauh dari ruangan itu.
"Liam! Liam, kejar Divya!" Greta kelabakan. Dia sungguh tidak tahu duduk masalahnya. Sekarang justru meminta biang masalah mengejar Divya.
Liam mengangguk dan mulai mengejar Divya.
"Tuhan, punya anak satu saja susah sekali menurut," gerutu Greta.
Sampai di halaman, sudah tidak ada lagi Divya di sana. Mobil merah sudah membawanya menjauh dari rumah.
Divya duduk di bangku samping kemudi seperti sebelumnya.
"Langsung ke kampus. Gue udah chat Ivy," tandas Divya tanpa melihat Ghazi di sampingnya.
"Baik." Jawaban yang diberikan Ghazi pun cukup singkat. Dia tahu bagaimana perasaan sang bos pagi ini.
"Anda butuh sesuatu, Nona?"
"Cukup tutup mulut lo," jawab Divya. Dia tidak ingin berdebat, Divya hanya ingin ketenangan.
Sampai di kampus, ternyata Ivy pun sudah tiba. Menggunakan ojek online yang jauh lebih cepat.
"Divya!" Gadis itu memasang wajah prihatin. Seolah tahu apa yang dilewati sahabatnya pagi ini. Meskipun nyatanya tidak, tetapi Divya tidak pernah meninggalkan atau tidak menjemputnya. Ini adalah kali pertama Divya bersikap demikian.
Divya yang baru turun dari mobil lekas berlari dan memeluk tubuh sahabatnya tersebut. Dia menangis dalam pelukan Ivy.
"Tenang, girl. Tenang, kamu aman," ungkap Ivy. Ia membelai lembut rambut panjang Divya.
Setelah itu, memberi jarak pada pelukannya untuk mengusap wajah Divya. Tidak ada kecerian di muka itu. Ivy tidak pernah melihat Divya sehancur itu.
"Kita duduk di bangku itu," ajak Ivy.
Mereka melangkah mendekati kursi kayu bercat putih, lalu duduk dan Divya terlihat sedikit tenang. Ghazi juga sudah selesai dengan parkirnya. Kini pria itu berdiri di belakang Divya layaknya patung. Menghalau sinar matahari yang berusaha menggapai tubuh gadis cantik nun seksi tersebut.
"Laki-laki sialan itu beneran dateng, Iv. Dia bahkan udah kurang ajar sama gue! Dia juga biang masalah sejak semalam! Bokap gue yang nggak pernah nampar gue! Semalam dia lakuin hal itu karena si b******k ini!"
"Sampai segitunya?" Ivy hampir tidak percaya, permasalahan yang dianggap sebagai gertakan ternyata seserius itu.
Divya mengangguk membenarkan. "Gue gila, Iv. Gue gila! Bantu gue lepas dari semua ini. Apa yang musti gue lakuin?! A! Gue pengen mati aja!"
"His! Nggak harus mati juga, Divya. Coba bicarain dulu sama bokapmu. Sekali lagi dengan kepala dingin. Aku yakin, bokapmu bakal dengerin anaknya dan pasti dia nyesel udah berlaku kasar sama kamu."
"Kalau nggak berhasil? Gue udah kek di penjara tahu nggak? Gue merasa idup gue udah nggak guna!"
Tiba-tiba siluet bayangan melewati Divya. Ghazi berpindah. Dia berdiri di depan gadis itu untuk mencegah Liam yang mulai mendekati bosnya.
Divya dan Ivy menatap Liam secara bersamaan.
"Lo liat, kan? Dia tuh syco!" geram Divya. Gadis itu bangkit berdiri tepat di balik punggung, Ghazi. Begitupun dengan Ivy yang setia berdiri di samping Divya.
"Mau apa Anda kemari? Ini kampus jangan membuat keributan!" hardik Ghazi. Tenang, tetapi tegas.
"Bukankah justru kamu yang buat keributan? Aku cuma mau ketemu bakal tunanganku. Kalau kamu nggak ngalangin, nggak bakal ada keributan!"
"Nona Divya adalah tanggung jawab saya saat di luar. Jika Anda ingin bertemu atau berbicara padanya. Tunggu persetujuan dari beliau," balas Ghazi. Dia menoleh pada Divya dari balik punggungnya.
"Nggak sudi gue bicara ama dia! Usir dia, Ghaz!" sergah Divya.
"Dengar bukan? Sebaiknya Anda pergi."
"Div, ayolah! Aku minta maaf untuk tadi pagi. Aku janji tidak akan mengulangnya lagi," iba Liam.
"Bulshit! Laki-laki syco kek muka lo, nggak bakal tobat, setan!" geram Divya.
Liam hendak mendekat tetapi Ghazi lebih tangkas mencegahnya. "Sebaiknya Anda pergi!" usir Ghazi.
"Siapa kamu, huh?! Berani sama aku?! Sini! Cuma pengawal doang sok-sokan!" Liam mulai melayangkan satu pukulan pada Ghazi. Namun, berhasil ditangkis oleh pria itu.
Kini, kedua tangan Liam terkunci dibalik punggungnya sendiri. "Anda mencari keributan di kampus. Bukankah Anda pria terpelajar? Pergilah!"
Ghazi mendorong tubuh Liam. Laki-laki berambut cokelat itu menjauh. Namun, sorot matanya terpaku pada Divya. Sementara gadis itu tak acuh padanya. Dia justru membuang muka tanpa mau menatap Liam.
"Sebaiknya Anda mulai masuk ke kelas. Sudah lewat sepuluh menit dari jam kelas," tutur Ghazi mengalihkan perhatian.
Ivy membawa pergi Divya. Untuk kali pertama ucapan Ghazi dituruti oleh Divya.