Bab 7

1276 Kata
"Gaes, sepertinya aku nggak bisa ikut rundingan kalian, deh. Teman kostku butuh bantuan," lirih Ivy kala menatap ponselnya. Di mana baru saja pesan singkat dia terima. "Yah! Padahal gue pengen lo jadi saksi, Ivy. Siapa, sih? Nggak tahu waktu banget!" keluh Divya yang tidak mengizinkan sahabat karibnya pergi. "Bukan nggak tahu waktu, tapi emang ini udah jam aku balik, kan? Udah nggak perlu saksi, lagian nggak mungkin Abang ganteng berkhianat, kok," ucap Ivy. Tak! "Auh! Div! Kenapa, sih jadi galak banget." "Sorry, lo kalau ngomong suka nggak ada filter!" "Oke, aku balik dah. Baek-baek klean berdua! Awas kalau sampai ada drama kejar-kejaran lagi," ancam Ivy. Melayangkan tatapan serius pada Divya. Akan tetapi, gadis bermata cokelat itu hanya menimpalinya dengan sorot mata yang tidak kalah galak. Sepeninggalan Ivy, Ghazi dan Divya mulai berbicara serius. Pria itu sudah mendapatkan satu lembar kertas dari salah satu penjual makanan di sana. Robekan tepat bagian tengah akan jadi saksi kesepakatan antara sang bodyguard dan Nona muda. "Oke! Mulai dari gue! Ladies first, always!" ucap Divya. Ghazi mempersilakan dengan gerakan tangannya. Ia hanya menurut dan berharap kesepakatan ini tidak akan memberatkan dirinya. Divya merobek menjadi dua bagian kertas putih bersih tersebut. Membuat kerangka kasar untuk sebuah perjanjian sakral antara mereka. "Pertama, gue mau lo nggak terlalu ngatur waktu gue." "Kedua—" "Contoh!" sela Ghazi. Dia harus memperjelas masalah waktu diatas. "Ya— mudah saja, seperti jam gue pula—" "Tidak bisa!" Divya melotot garang pada Ghazi. Baru memulainya saja sudah tidak ada kecocokan antara mereka. "Tidak bisa gimana?! Gue baru mulai, Ghaz! Lo nggak—" Ghazi mengangkat tangannya. Menghentikan ucapan serta emosi Divya. Gadis itu Mendengus kasar. Lagi-lagi tangannya terkepal untuk menahan diri agar tidak memberontak. Kesepakatan dibuat agar mereka bisa saling percaya dan tidak selalu bertengkar. "Oke!" ucapnya seraya mengembuskan napas perlahan. "Lanjutkan!" perintah Divya kemudian. "Waktumu sudah terjadwal dalam kontrakku dengan Tuan Hendery. Tidak bisa diganggu gugat, Divya." "Lantas apa sekarang? Waktu adalah hal paling penting buat, gue! Gila aja gue nurut gitu aja! Ini idup gue, kenapa jadi ada dalam kontrak bodohmu!" marah Divya. "Kontrakku ada untuk memperbaiki waktumu, Divya. Sementara kontrak kita terjalin untuk memudahkan segalanya antara kau dan aku," tandas Ghazi. "Memudahkan! Gue kira ini untuk kemudahan gue sendiri! Nggak ada lo!" "Berarti kesepakatan kita batal! Sebaiknya kita pulang." Ghazi menatap jarum jam pukul tujuh malam. Dua jam lagi mereka harus tiba di rumah. "Oke-oke! Lo menang! b******k! Laki-laki gila!" "Mau melanjutkan atau tetap mengumpat?" tanya Ghazi enteng. "Lo yang buat! Tapi gue berhak menolak apa yang menurut gue nggak adil buat gue!" Ghazi menggedikkan bahu, menggelengkan kepala pelan dan mulai mengambil alih pena. Ghazi menulis poin demi poin yang ada dalam kepalanya. Memudahkan Divya juga Ghazi dalam beroperasi. Pertama, Divya dilarang menolak semua pertanyaan yang diajukan oleh Ghazi jika menyangkut tentang keamanannya. Kedua, Divya dilarang memberontak tindakan Ghazi selama hal itu untuk kepentingan Divya. Contoh, mengetahui masalah yang tengah dihadapi saat ini. Tidak jauh beda dari poin pertama. Ketiga, setelah jam lima, Ghazi sudah seharusnya lepas tangan pada Divya dan diharuskan untuk wanita itu menurut. Jika membutuhkan bantuan harap berucap dengan sopan. Ghazi mengulurkan kertas itu pada Divya. Membiarkan wanita berambut panjang itu membacanya dengan cermat. Bagi Ghazi kesepakatan itu tidak perlu panjang asalkan memudahkan pekerjaannya. "Nggak! Poin pertama dan kedua tuh udah ranah pribadi gue, setan!" "Lalu apa maumu? Ini untuk kemudahanku dan keamananmu, Divya. Bukankah tulisanku jelas dan mudah dibaca?" Divya bungkam, memang dan hal itu tidaklah salah. Divya menyerah dan akhirnya mulai terlihat sedikit tenang. "Tambahkan untuk poin empat! Lo harus mau gue suruh apa pun!" tukas Divya penuh sarat arti. "Dalam hal?" "Apa pun! Kuping lo budeg?! Gue bilang apa pun! Kalau gue minta lo nyebur ke kali, lo kudu mau!" Ghazi menatap netra Divya. Gadis itu membalasnya tanpa mengelak. Seolah pria itu mencari jawaban atas rencana licik, Divya. "Deal!" kata Ghazi kemudian. "Lo yang kudu salin surat perjanjian itu dan besok gue bakal tanda tangan, hitam diatas putih!" "Baik. Kita pulang, Tuan Hendery pasti sudah tiba di rumah." Laki-laki itu, bangkit dan melipat kertas tersebut. Memasukkannya ke dalam saku bajunya dan mulai mendekati mobil. Divya membuntuti di balik punggung besar Ghazi. Kini pria itu membuka pintu bagian belakang. Namun, Divya melipat kedua tangan di depan d**a. "Gue nggak mau duduk belakang! Inget itu!" Kembali, Ghazi menggedikkan bahu dan mulai membuka pintu depan. Tanpa mau bertanya apa alasan Divya tidak ingin duduk di bangku belakang. Ghazi mulai menjalankan mobilnya. Membelah jalanan petang itu. Menuju tempat tujuan terakhir. Begitu tiba di rumah. Hendery dan Greta menyambutnya. Untuk kali pertama, Divya mendekati mereka berdua dan memberikan kecupan kasih sayang pada pipi orang tuanya. "Tumben anak mama. Ghazi sepertinya berhasil membawa kembali putri Mama." "Bukan dia! Dia nggak becus kerja! Udah, ah! Jadi bahas dia, sih! Nyebelin banget! Eneg, tahu tiap jam liat mukanya!" geram Divya. "Ghazi, tuh baik, lho. Ya udah, ayo! Liam udah nungguin di ruang tengah!" Greta menggiring Divya menuju ruang tengah. "What?! Siapa?! Mama bilang siapa?" Divya terkejut bukan main. Baru saja dia bernapas lega, berdamai dengan keadaan di mana Ghazi tiba-tiba masuk dalam kehidupannya. Sekarang masalah sudah kian bertambah pelik. "Iya, Div. Liam Madhava yang papa bilang kapan lalu itu. Dia pulang lebih cepat. Katanya udah nggak sabar ketemu sama kamu," jelas Hendery. Divya mematung. Raganya tidak dapat beranjak, jiwanya seolah melayang-layang tidak tentu arah. Sementara Ghazi yang baru saja masuk hanya dapat menatap mereka dan langsung merangsek menuju ke kamarnya. Melewati Hendery, tidak lupa ia memberikan salam hormat. Saat melintas di ruang tengah, tentu saja Ghazi melihat sosok Liam. Namun, pria itu tidak mau tahu urusan apa pun pada hal yang bukan menjadi ranahnya. "Divya, ayo! Malah bengong, sih," kata Greta. Wanita berusia lima puluh tahun itu menyeret tangan Divya dengan pelan tetapi penuh dengan tekanan. Hingga langkah mereka tiba di ruang tengah. Liam yang semula sibuk dengan ikan dalam aquarium seketika menoleh kala mendapati beberapa derap langkah kaki terdengar. "Hai! Kau pasti Divya, kan? Senang bisa melihatmu secepat ini," sapa Liam. Ia mengulurkan tangan pada Divya. Kedua orang tua Divya tersenyum ramah. Dia senang akhirnya mereka bisa bertemu. Akan tetapi, tidak dengan Divya yang masih syok berat. Dia tidak mampu mencerna semua ucapan yang dilontarkan siapapun. "Divya, kok dianggurin, sih?" Greta menarik tangan Divya guna membalas jabat tangan dari Liam. Saat kesadarannya kembali, Divya lekas menarik tangannya dari genggaman Liam. Pria bermata sipit dan permukaan kulit yang mulus. Seakan tidak ada lubang pori di sana. "Siapa lo? Lancang banget pegang-pegang!" bentak Divya. "Divya! Kamu apa-apaan?!" tekan Hendery. Dia memeluk pinggang putrinya dan berbisik tepat di telinga anak gadisnya. "Papa yang apa-apaan! Divya udah bilang nggak setuju sama ide bodoh papa!" Plak! Tamparan keras itu meluncur tiba-tiba. Pipi Divya mati rasa. Seketika gambaran lima jari menggores pipi Divya. Bahkan tanpa diminta air mata Divya jatuh. Gadis dua puluh tahun itu kembali menegakkan pandang pada sang ayah. "Divya nggak akan lupa sama apa yang udah papa lakuin sama, Div malam ini. Kalau Papa mau, papa nikahin sendiri laki-laki itu!" Setelah mengatakan hal itu, Divya langsung meninggalkan ruang tengah. Menaiki tangga menuju kamarnya dengan berlari. Selama ini, tidak pernah Hendery memukulnya seperti itu. Kini, pria itu juga dilanda penyesalan. Namun, Divya sudah membuat sang ayah malu. "Maafkan Divya, Liam." Greta memecah ketegangan. "Tidak masalah, Tan. Sebaiknya memang aku tidak datang secara mendadak. Ada waktu lain untukku mendekati Divya. Sekarang sebaiknya aku pulang. Om, tidak apa-apa. Jangan menyakiti Divya seperti itu. Tidak ada orang yang mau dijodohkan. Tapi, kurasa lambat laun, Divya akan menerimaku," tutur Liam, bijak. "Maafkan, Divya, Liam." Kini Hendery pun meminta maaf. "Tidak apa, Om. Liam pulang dulu. Selamat malam, terima kasih sudah menyambut Liam." Setelah kepergian Liam, Hendery mencoba untuk menemui anaknya. Akan tetapi—
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN