Bab9

1051 Kata
Saat keluar dari kelas, jauh dari pandangan Divya, ia melihat dua pria yang tengah berbincang. Gadis ayu bermata cokelat itu sangat mengenal keduanya. Siapa lagi jika bukan Ghazi dan Liam. "Div, gila! Kamu beruntung banget dikelilingi dua cowok keren. Bagi aku satu, tapi aku nggak mau cowok putih itu," seloroh Ivy yang berdiri tepat di samping Divya. Seakan menyadari keberadaan Divya, Ghazi menoleh dan menjauh dari Liam. Pria itu pun membuntuti di belakang Ghazi. Raut wajah Divya mulai kucel. Dia tidak mau sama sekali bertemu dengan laki-laki b******n itu. Ia memutuskan untuk melenggang pergi. "Eh! Div?! Kemana?" teriak Ivy. Wanita berambut keriting itu mengejar sahabatnya. "Gue males banget liat muka setan b******n itu," terang Divya. Ivy tahu siapa yang dimaksud oleh gadis itu. "Tapi dia tetep ngejar, Div. Kurasa Ghazi udah memperingatkan dia juga. Dasar aja laki-laki bebal," timpal Ivy. Sesekali ia menoleh ke belakang untuk mengetahui perkembangan di sana. "Maka dari itu, gue yang kudu ngehindar! Sumpah demi apa pun, gue nggak bakalan mau nikah sama laki-laki b******k kek dia! Lo tahukan, kata-kata reflek dari mulutnya udah ngebuktiin kalau dia tuh emang b******n!" "Sabar, Div. Aku tahu kamu kesal. Tapi kamu ngomong sama aku, lho. Di rem, dikit," ujar Ivy. Membentuk jari telunjuk dan ibu jarinya hendak menyatu, menyisakan sedikit celah. Seketika mendapat pelototan dari Divya. Mereka tiba di coffee shop. Divya mendorong pintu kaca itu dan aroma kopi mulai menyeruak menggelitik lubang hidungnya. Gadis ramping berambut lurus itu duduk di salah satu kursi dengan meja bundar di tengah. Mengangkat tangan untuk memanggil pelayan. Tidak lama setelah itu, seorang pria berseragam hijau armi dengan logo di bagian kiri dadanya mendekat. Memberikan tabel menu pada dua gadis yang memiliki paras menawan. "Anda tidak perlu khawatir, dia sudah pergi sekarang," sela Ghazi yang tiba-tiba berdiri di samping sang waiters. "Bagus, deh. Gue kudu bilang makasih ke lo?" sindir Divya. Ghazi menatapnya sekilas dan menggeleng pelan, "sudah tugas saya." Hanya itu yang disampaikan oleh Ghazi. "Sini, deh! Abang ganteng kudu duduk sebelahku. Aku traktir kopi murah," canda Ivy. Divya memutar bola matanya, jengah. Tidak pernah sekali saja Ivy merasakan kebencian Divya akan kehadiran laki-laki perusak kehidupan orang itu. Setidaknya, itulah yang dirasa oleh Divya. "Jan ngambek, jan cemburu, lah. Kamu kan nggak mau. Ya, dari pada babang ganteng nganggur mending sama aku, kan?" Ivy memainkan alisnya naik turun menggoda Divya. "Terserah! Gue nggak peduli!" ketus Divya. Sudah sejak kehadiran Ghazi memang wajah gadis itu selalu tegang. Tidak seceria sebelumnya. Ivy menyebutkan pesanannya serta milik Divya. Tidak dengan Ghazi karena bahkan pria itu tidak menyahutnya. Sepeninggalan pelayan itu, Ivy kembali menatap wajah sahabatnya. Divya sibuk menscan pemandangan di balik ruangan kaca itu. Aktivitas orang-orang. Lalu lalang para mahasiswa serta tukang kebun bahkan dosen. "Bang ganteng, sore ini kasih izin Divya refreshing, deh! Nggak liat apa muka kucel sahabatku itu?" Ivy memecah keheningan sesaat itu. Divya mengulum senyum tipis. Ivy memang mengenal dirinya dengan sangat baik. Dia tahu kapan Divya berbohong atau mengatakan kejujuran. Juga saat sang sahabat itu membutuhkan hiburan. "Saya akan telepon Tuan Hen. Jika Anda membutuhkan hal itu, Nona." "Dengerkan?! Dia tuh emang kagak asik! Kudet! Sialan, setan, b******k!" umpat Divya. Kesal karena harus melibatkan ayahnya untuk yang kesekian kalinya. Divya rindu dunianya yang dulu. Padahal belum lama dia hiatus dari kelab malam. Namun, rasanya sudah sewindu. Ghazi tidak mengindahkan atau mendengarkan ucapan Divya. Dia tetap mengetik sesuatu pada seseorang di seberang yang tidak lain adalah ayah Divya. Tidak berselang lama, ponsel itu bergetar dan setelah membukanya, Ghazi kemudian menyimpan kembali benda persegi panjang itu. "Apa kata, Bokap gue?" tanya Divya. "Beliau mengatakan semua keputusan ada ditangan saya." Ghazi menarik sebelah sudut bibirnya. Seakan itu adalah kemenangan. Di mana dia mampu mengatur dan memenangkan perdebatan antara dia dan Divya. "Gue atau lo, sih anaknya? Heran! Semua orang mungkin udah pada sakit!" Divya kembali mendengus. "Yaudah, sih. Nggak masalah, yang penting kita bisa keluar kan?" "Kalau dia ngizinin! Kalau nggak?! Pengen kucekik lehernya!" gertak Divya. "Pasti diizinin, kok. Ya, kan Babang ganteng? Request spesial dariku." Lagi-lagi Ivy memainkan alisnya naik turun. Namun, balasan Ghazi hanya menggerakkan bahu. Bukankah itu menyebalkan. Divya yang menantikan jawaban sedari tadi merasa geram. Ia bangkit hendak menyerang Ghazi tetapi, lengannya lekas ditahan oleh Ivy. "Lepas! Biar kucekik pria sialan ini! Nggak guna banget kesepakatan kita kapan lalu! Lo bilang bakalan memudahkan pekerjaan lo kan?! Oh— bagus! Lo bakal kurung gue, biar lo bisa istirahat kan?! Setan!" kesal Divya. Tangan Ivy kian kuat menahan lengan Divya, hingga berhasil membuat gadis itu kembali tenang di kursinya. Pesanan mereka tiba. Meskipun sudah tidak lagi ada keinginan untuk menikmati secangkir kopi. Divya tetap duduk di bangkunya. Memutar-mutar cangkir itu dengan malas. Tatapannya penuh dengan amarah dan kebosanan yang melanda. Ivy melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Udah sore, nih. Jadi gimana, mau balik atau gimana?" Kembali gadis itu yang memulai obrolan. Divya tidak menyahut dengan berbagai cara. Dia sadar bahwa hanya Ghazi yang mampu menjawab pertanyaan Ivy. "Mari kita keluar dari sini," ajak Ghazi. Jarum jam sudah tepat diangka lima lebih tiga puluh menit. Tidak terasa hanya duduk di dalam kafe memakan waktu satu jam. Ketiganya langsung menuju ke parkiran, mobil merah milik Divya siap membawa mereka ke mana pun. Setelah mereka masuk, Ghazi mengemudikan gerobak besi itu membelah jalanan senja ini. Dua gadis itu terdiam menikmati perjalanan yang kembali terasa menyenangkan. Senyum Divya terbit setipis tisu. Dia tahu kalau Ghazi tidak berniat membawanya pulang. "Ke mana, nih jadinya?" desak Ivy. Setelah hampir setengah jam bungkam. "Sebentar lagi akan tiba," jawab Ghazi. Embusan angin sudah mulai menerpa. Udara yang sungguh kencang. Serta aroma air laut yang terbawa secara tidak langsung. "Pantai!" seru Divya dan Ivy secara bersamaan. Kala mata mereka mulai melihat pesisir pasir putih yang membentang dengan pohon-pohon kelapa berjejer-jejer. Keduanya tidak sabar ingin keluar dengan bertelanjang kaki. Saat mobil merah berhenti sepenuhnya, Divya lekas membuka pintu dengan cepat. Melepaskan sneakers yang dikenakan dan melemparkan tas yang masih terbawa olehnya ke sembarang arah. Gadis seksi itu merentangkan tangannya dan berlari ke arah sinar jingga yang kental. Bahkan teriakannya menjadi pusat perhatian orang lain. Ivy pun tidak kalah heboh. Dia melakukan hal yang sama dan mengejar sahabatnya. Sementara Ghazi, memunguti barang mereka berdua. Meletakkannya di dalam mobil dan lekas menyusul mereka berdua. Kendati kesepakatannya adalah jam lima Ghazi usai. Dia akan tetap menjaga sang majikan agar tetap terpantau dan aman.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN