Bab 1
Gaun mini dengan warna merah menyala yang membentuk seluruh lekukan tubuh penggunanya menjadi pusat perhatian malam ini. gadis itu mengangkat tangan tinggi-tinggi. Menggelengkan kepala mengikuti irama dentuman di lantai dansa. Musik disko memekakkan telinga, suara teriakan karena terhibur memenuhi ruangan.
Kepulan asap rokok, aroma minuman keras menyeruak menjadi hal yang wajar di sana. laki-laki dan wanita berbaur menjadi satu. Malam adalah waktu bagi mereka. Malam adalah pesta untuk mereka.
“Hu! Mainkan sampai pagi!” teriaknya, tidak peduli jika seseorang menganggapnya gila.
Beberapa pengunjung lainnya pun membenarkan dan menyetujuinya. Mereka benar-benar berpesta. Terkadang hingga pagi menjelang. Semakin malam akan semakin ramai. Semakin malam semakin asyik.
“Kamu sendirian, cantik?”
Tubuh gadis bergaun merah itu sudah berada dalam rengkuhan tangan seorang pria dengan cambang tipis di rahangnya. Ia mendekatkan wajahnya hendak meraih bibir gadis yang berhasil ada dalam pelukannya saat ini. Gadis dua puluh tahun itu mendorong wajah pria yang selalu menganggunya setiap hari.
Senyum setan laki-laki itu jelas menyiratkan bahwa dia berharap besar pada wanita yang dia dekap sekarang.
“Tidak akan pernah. Gue selalu datang dengan dia.”
Ia harus setengah berteriak agar suaranya terdengar. Tangannya menunjuk ke arah sang sahabat yang duduk memantau dirinya. Sebotol air putih ditangan menemaninya.
“Jangan pernah bermimpi untuk dekatin gue. Malam ini atau bahkan malam-malam lainnya,” racaunya, seraya mendorong bahu laki-laki itu menjauh darinya.
“Kamu yakin? Bagaimana jika setelah pertemuan ini kamu yang akan datang mengejarku?”
Ia mengacungkan jari tengahnya pada laki-laki itu. “Bangunlah! Lu tidur terlalu lama Brother. Bahkan dalam mimpi pun lu nggak akan pernah bisa tidur dengan gue.”
Terkesan sombong, tetapi begitulah, Divya. Menyombongkan diri pada orang angkuh sah-sah saja bukan? Selagi dia tidak mengganggu orang lain, maka ia juga tidak ingin diganggu.
Pria bercambang dengan rambut keriting itu menjauh dan tersenyum aneh. Tidak mau menerima kekalahan. Akan tetapi, juga tidak mau mengambil risiko dikeramaian seperti ini. Matanya beralih pada teman yang berdiri tidak jauh darinya. Anggukan kepala dari rekannya itu mampu membuat kekecewaan atas penolakan yang baru saja dia terima seakan menguar begitu saja.
Gadis berambut panjang itu meninggalkan lantai dansa. Ia butuh istirahat, duduk dan minum sedikit air untuk menarik sedikit kesadarannya. Kendati, dia tahu betul bahwa tindakannya pergi ke tempat ini salah. Hanya saja, ia tidak ingin melakukan kesalahan yang lebih buruk lagi.
“Dia datang lagi?”
Seorang teman yang masih tampak waras dan sama sekali tidak terpengaruh minuman beralkohol itu membantu sahabatnya menuangkan segelas air putih dingin. Kemudian menyodorkannya ke Divya. Gadis itu menerimanya dengan senang hati.
“Setiap hari. Gue heran apakah dia nggak bosen? Nggak ada perempuan lain selain gue-gitu?” jawabnya penuh selidik, setelah meneguk habis air putih itu. Meletakkan gelas dengan asal.
“Lain kali makanya jangan pakai baju terbuka gini. d**a udah kek mo tumpah tahu, nggak?” seru temannya.
“Iya, bawel. Lu emang ibu suri terbaik. Jangan sampe lu ikutan minum. Kagak ada yang nyetir mobil,” kikihnya.
Sudah layaknya orang gila. Matanya setengah terpejam, tetapi ia berusaha untuk membukanya lebar-lebar kelopak mata itu. Ia tidak ingin melewatkan malam ini begitu saja. Bahkan jika diminta untuk memilih antara tidur dan mabuk, ia akan dengan gampang menjawab mabuk lebih mengesankan.
“Nggak mungkin aku mau. Minuman pait apa enaknya? Enak juga air kelapa,” jawabnya asal.
“Tapi, Ivy. Sesekali, emang lu kudu cobain ini. Lu nggak stress apa tiap hari disuguhin tugas. Tiap hari belajar mulu?”
“Stress, tapi aku lebih stress liat kamu mabok tapi ngerepotin aku. Yang bener ajalah, seenggaknya kamu bisa jalan sendiri sampe parkiran.”
Bukan sekali dua kali Ivy menyeret tubuh sahabatnya keluar dari kelab. Mengantarkan Divya ke rumahnya. Sudah seperti tukang taksi langganan. Sayangnya, ia tidak digaji.
“Div, kita balik aja, yuk!”
Ivy mencoba membujuk Divya, dengan harapan wanita itu mau mengiyakan ajakan itu. sayangnya itu belum pernah terjadi.
“Masih jam dua juga. Santai aja kali, kagak ada yang nyariin lu kan?”
Ivy menggeleng pelan. Dia hanya perantau, tidak ada sanak keluarga yang dekat dengannya. Divya adalah satu-satunya teman yang dia miliki.
Semakin malam, Divya makin tidak terkendali. Ia sudah tidak mampu membawa tubuhnya sendiri. Ia membantu Divya untuk bangun. Gadis itu sudah tidak mampu untuk berucap, ia hanya menurut saja saat tubuhnya dibawa ke mana pun. Bahkan jika hal buruk menimpanya, wanita bertubuh seksi itu tidak akan tahu dan tidak akan menyadarinya.
**
Tepat pukul setengah empat dini hari, Ivy sudah berada di depan pintu rumah rekannya. Ia menekan bel rumah mewah nun besar itu. menantikan beberapa menit kemudian muncullah sosok yang tidak pernah, Ivy duga.
“Kamu lagi! Bener-bener kamu, ya! Bawa pengaruh buruk buat anak saya!” hardiknya.
Laki-laki berusia lima puluh lima tahun dengan rambut yang seluruhnya hampir memutih itu menerima tubuh anaknya.
“Jangan dekati anak saya lagi! Jika masih kamu lakukan aku akan laporkan kamu ke polisi!” ancamnya, dengan raut wajah yang serius.
Ivy terdiam, bahkan seharusnya dia yang menjauh dari Divya. Wanita itulah yang mengenalkan ia dengan dunia malam.
“Tunggu, Om!” cegah, Ivy.
“Apa lagi?! Tidak puas kamu rusak anakku huh?!” sarkasnya. Matanya melotot seolah hendak keluar.
“Kunci mobilnya di saya,” jawab Ivy. Ia tersenyum kikuk.
Ivy menggaruk kepalanya, merasa aneh dengan pernyataan itu, kemudian memutuskan untuk meninggalkan rumah temannya.
Begitu tiba di dalam rumah, Hendery mengempaskan tubuh Divya di sofa begitu saja. Gadis dua puluh tahun itu merintih kesakitan.
“Divya! Kamu sudah dewasa, sebentar lagi kamu lulus dan tidak mungkin hidupmu hanya seperti ini saja setiap hari!”
“Euhm?” leguh, Divya. Tidak ada sejarahnya orang mabuk di ajak bicara.
“Lebih baik kamu menikah muda ketimbang terjerumus dalam dunia malam seperti ini!”
Divya membisu, dia sudah tidak sadarkan diri. Buaian alkohol menyelamatnya dirinya dari omelan sang ayah.
Sayangnya itu tidak berlangsung selamanya. Pagi ini, begitu wanita itu terbangun. Masih dengan wajah bantalnya dan rasa malas yang merenggut semangat paginya. Hendery sudah menunggunya di ambang pintu kamarnya.
Tubuh yang semula hanya terkulai lemah di sofa. Semalam telah dipindahkan oleh Hendery ke kamarnya. Semarah apa pun dirinya, tetap saja dia menyayangi Divya.
“Pagi, Pah. Kenapa di sana?” sapa Divya saat matanya sudah bisa dengan normal menatap keberadaan sang kepala rumah tangga.
“Sampai kapan mau seperti ini, Divya?!” suara yang tidak ada lembut-lembutnya di telinga, Divya.
“Divya hanya menikmati masa muda, Div, Pah. Emang salah?” Ia menarik kakinya dan membiarkannya terjuntai menyentuh lantai.
“Papa sudah tua, kamu harapan keluarga satu-satunya. Papa sudah mengambil keputusan.”
Dahi Divya mengerut, ia menggapai tengkuknya yang terasa pegal seraya mencermati ucapan Hendery.
“Keputusan apa, Pah?” Dengan santai dia bertanya. Divya hafal betul ancaman pria itu adalah mengurangi uang bulanannya. Kalau tidak mengambil salah satu fasilitas Divya.
“Kamu papa jodohkan dengan anak teman, papa. Sekaligus—”
“Apa?! Jan becanda, deh, Pah. Sejak kapan, Papa ngedukung Divya nikah muda?” seru Divya. Masih menganggap bahwa keputusan yang di ambil oleh Hendery hanya sebuah gertakan semata.
“Sejak kamu mulai bergaul dengan wanita keriting itu! hidupmu sudah tidak terkendali.”
“Bukan dia, tapi Div yang justru—”
Ucapan Divya langsung di hentikan oleh Hendery. Pria itu tidak menyukai perdebatan panjang.
“Satu lagi. Kamu akan terus diawasi oleh pengawal pilihan, Papa!”
Telak! Divya tidak bisa lagi membantah karena laki-laki itu seudah meninggalkan ruangan Divya.
“Ck!”
Divya hanya mampu berdecak kesal. Besar harapannya bahwa ini hanya sebuah ancaman seperti hari-hari sebelumnya.