BAB 11 - Cantik Apa Adanya

1050 Kata
“Ayo makan, Nak.” Intan menghampiri anaknya yang baru keluar kamar untuk mengajaknya ke meja makan. Dengan penuh perhatian, sang Ibu menggandeng Nina untuk duduk. Sambil mengelus rambut hitam lebat si gadis, Intan memandangi wajah yang selama beberapa hari ini tak dilihatnya. ‘Ia sangat cantik, namun entah kenapa selalu saja bertingkah dan berdandan layaknya laki-laki yang kumal jika sedang kuliah atau magang di tempat kerjanya sekarang,’  Demikian kata hati Intan saat menatap buah hatinya. “Ayah sama Ibu makan juga?” “Enggak lah, Ayah udah makan tadi. Nggak baik untuk orangtua kalau makan terlalu malam begini. Denok aja yang makan, nanti ayah temani ngobrol.” Chandra berkata demikian sambil mendekat pada Ibu dan anak itu ke meja makan. Nasi hangat dan gulai panas terlihat mengepulkan asap di meja makan. Benar-benar membangunkan cacing lapar di dalam perut Nina. “Hmmm ... Ibu tahu aja kesukaan Nina.” “Iya, dong. Gulai sapi seperti ini tak akan gampang kamu cari di Bali.” “He-he-he, Iya. Harus pergi agak jauh ke rumah makan khusus kalau mau makan daging sapi.” “Gimana pemotretan kemarin, Nok?” sang ayah sudah tidak sabar menunggu cerita seru berikutnya dari si kesayangan. “Wahh, pokoknya asyik, Yah. Ayah belum pernah ke suatu tempat yang bernama Desa Munduk Buleleng, kan? Tempatnya di Singaraja, di sana...” Nina makan dengan enak sambil ditemani kedua orangtuanya sambil bercerita tak putus-putusnya. Gadis itu memang sangat menyukai kamera dan dunia foto, bahkan bisa dikatakan tergila-gila.  Sejak kecil, Ia telah biasa bermain kamera sang ayah dan diajarkan juga tentang tehnik dasar seperti pencahayaan, apperture atau bukaan lensa, exposure, shutter speed/ kecepatan rana  dan lain sebagainya. Karena itulah, dalam usia sepuluh tahun saja Ia sudah paham bagaimana tehnik pencahayaan pada kondisi tertentu. Melihat bakat sang anak yang begitu besar, tentu saja Chandra wisnu sangat senang. Ia yang telah menjadi fotografer gagal akhirnya memberikan support pada si anak gadis untuk memperdalam ilmu di bidang fotografi. Itulah sebabnya Ia tidak berkeberatan sama sekali waktu Nina meminta izin untuk kuliah pada jurusan tehnik foto. Chandra memang type orang yang berpikiran terbuka. Baginya bukanlah suatu masalah besar jika anak-anaknya tak ada satupun yang ikut menggeluti usaha sebagai penerusnya. Baginya, kebahagiaan sang anak adalah yang utama. Ia ingin anak-anaknya mengambil jalan hidup sesuai dengan bakat dan kemauan mereka, bukan pada keputusan orangtua. “Huh, yang namanya Mona Andrea itu kok makin lama makin genit aja ya, Yah...” dengan bersungut-sungut, Nina mulai menceritakan tentang artis papan atas itu. “Ah, mungkin bukan genit. Dia kan memang tipe-tipe manja gitu.” Ayahnya membela celaan sang anak pada penyanyi kesukaannya. “Lahh ... Ayah kok nggak terima penyanyi kesayangannya dikatain genit?” “Bagi ayah sih enggak genit, malah nggemesin.” “Ya kali kalau masih muda. Dia kan udah tua, Yah.” Nina ngotot, nggak terima jika sang Ayah membela orang yang selama beberapa hari ini menjadikan dadanya kerap kali sesak. “Ya belum tua, lah. Emang berapa umurnya? Paling selisih berapa tahun dari kamu.” “Sepuluh tahun, Yah. Dia udah kepala tiga. Maaf, beda jauh dengan Nina.” “Tiga lima kan masih muda, Nin. Cantik, lagi...”Chandra Wisnu semakin menggoda Nina saat tahu kalau anak gadisnya semakinmerasa sebal. “Hmmm ... jadi, Nina kalah cantik.” kali ini nada suara Nina berubah. Seolah Ia sedang melamun sambil melepaskan omongannya itu. Intan, Ibu Nina melirik suaminya dengan galak. Matanya agak sedikit dipelototkan saat melihat Chandra meringis usil. “Ya pasti cantik anak Ibu.” “Tentu saja begitu menurut Ibu. Orangtua mana mana yang ngatain anaknya jelek?” Nina menjawab dengan sedikit cemberut. “Lah, kamu memang cantik. Siapa bilang enggak? Hanya saja, pakaian kamu yang seperti biasanya itu membuat kecantikanmu nggak terlihat.” “Nah, iya. Ayah juga mau nanya itu. Apakah menjadi seorang fotografer...” “Asisten, Yah,” Nina memotong kata-ata ayahnya. “Oke. Apakah menjadi seorang asisten fotografer nggak boleh tampil cantik? Kenapa kamu selalu memakai baju yang itu-itu saja? Baju kamu banyak, kan? Kenapa selalu memilih jeans lusuh, kemeja flanel dan rompi lama ayah? Terus, topi atau apa itu yang selalu nutupi rambut kamu yang bagus?” Bak mitraliur, Chandra Wisnu melemparkan unek-unek yang selama ini ia simpan. “Iya, Nin. Kenapa? Padahal jujur saja, kecantikan kamu nggak kalah dengan bintang ternama yang kamu foto.” “Hi-hi-hi ... sengaja.” “Hah ... apa kamu bilang? Sengaja?” Chandra dan Intan hampir berteriak kaget secara bersamaan mendengar jawaban Nina yang ‘Nyleneh’ itu. “Ha-ha-ha ... enak aja kalau pakai pakaian itu, Yah-Bu. Nina nyaman, kok,” jawab Nina menetralisir. “Terus yang kamu bilang sengaja itu?” “Ya sengaja aja. Nina nggak mau ada yang merasa tersaingi kalau tampil cantik. Dan..." “Dan...??” Ayah dan Ibunya menunggu jawaban sambil menatap penuh harap setelah kembali bersamaan melontarkan pertanyaan tersebut. “Dan ... enggak ada yang kurang ajar atau genit sama Nina. Coba kalau Nina tampil cantik bak putri, pasti banyak yang godain dan coba-coba untuk berani melecehkan. Tim kami kan kebanyakan cowok, Yah-Bu...” “Ohhh ... jadi begitu.” “Hu-um. Nina juga nggak pernah menceritakan latar belakang keluarga kita. Biar aja mereka menebak kalau Nina memang butuh kerjaan, kepepet dan mau disuruh-suruh kerja apapun. Kan nanti jadi kelihatan, mana yang benar-benar baik dan tidak.” “Hmm ... jadi, kalau teman-teman kerja kamu tahu jika keluargamu.. katakanlah, cukup berada. Mereka jadi berubah sikap?” “Bukan begitu, Yah. Nina hanya nggak mau mereka menjadi segan kalau tahu yang sebenarnya.” Mereka bertiga diam dan tenggelam dalam pikiran serta analisa masing-masing. Sebenarnya, perkataan Nina tadi memang tak mengada-ada. Nina bukanlah gadis biasa-biasa saja. Jika orang melihatnya saat bekerja dalam tim, maka mereka akan melihat seorang gadis tomboi yang biasa-biasa saja, bahkan terkesan lusuh. Seragam kebesaran Nina adalah celana jeans, baju flanel atau kaos gombrong dan rompi kebesaran milik sang ayah, serta tak ketinggalan sebuah topi rimba atau penutup rambut lain yang selalu menghias kepala. Melihat penampilan seorang gadis yang seperti itu memang tak ada istimewanya. Dalam sebuah kelompok, dia hanyalah merupaan satu elemen yang sama dengan lainnya alias tak menonjol. Walaupun bila diamati lebih jauh, orang pasti akan cepat menyimpulkan bahwa Nina bukanlah cukup sebagai biasa-biasa saja. Kecerdasan, keluwesan dan begitu cekatannya Ia dalam bekerja, adalah salah satu faktor yang dapat dengan mudah terlihat dalam diri Nina jika orang mau mencermatinya. Namun, jika masalah fisik yang dicari, Nina benar-benar pandai menyembunyikan kelebihan penampilan. Sehari-hari, Ia bebas make-up sama sekali. Dan juga, pakaian gombrong dan lusuh yang menjadi ciri khasnya telah begitu sukses menyembunyikan bentuk tubuh sempurna di dalamnya. Itulah mengapa Nina maupun orangtuanya yang  tanpa mereka sendiri sadar, selama ini merasa nyaman dan aman-aman saja bergaul dengan kalangan yang sering dinilai miring oleh awan karena gaya hidup dan kabar tak sedap yang sering menghinggapi. Nina terbebas dari godaan lelaki hidung belang, karena sering dianggap layaknya laki-laki saja di dalam kelompoknya. Sementara, Ayah dan Ibunya juga tanpa menyadari hal itu sebenarnya telah merasa baik-baik juga setiap kali melepas kepergian anak gadis mereka dengan dandanan yang tak menarik sama sekali. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN