BAB 10 - Welcome Home

1027 Kata
Welcome to Jakarta ... Dion dan Nina tiba di DWP studio’s pada keesokan hari setelah sesi foto di Desa Munduk Buleleng. Setelah semalam yang penuh dengan private party gila-gilaan di cottage, Dion kembali melakukan ekplorasi foto dengan Mona sebagai model tunggal di pantai Lovina yang tak begitu jauh disitu. Pantai pasir putih, laut biru dan lumba-lumba yang setia mengikuti perahu kecil mereka begitu indah untuk diabadikan dalam gambar-gambar yang mempesona. Setelah matahari naik lebih tinggi dan memancarkan sinar yang terlalu keras bagi mata lensa, mereka mengakhiri sesi foto di tempat tersebut. Selanjutnya, bagai maraton mereka berempat langsung kembali ke Denpasar dan packing untuk melakukan penerbangan menuju Jakarta pada malam harinya. Di Bandara Soetta mereka berpisah. Mona dan Upiek pulang dijemput oleh sopir pribadinya dan Dion beserta Nina menggunakan taksi menuju markas besar tempat kerja Dion. Rendra, Manager Dion sudah menunggu dengan wajah masam. “Haloo ... seger banget yang habis liburan,” sapanya dengan nada menyindir. “Hallo juga, Bro. Ha-ha-ha, iya nih. Lumayan seger sehabis lihat yang seger-seger.” “Kamu tuh, ya ... enak aja batalin sesi pemotretan hari ini. Aku yang kena komplain sementara kamu malah enak-enak pacaran,” cerocos Rendra sang manager yang juga merupakan sahabat Dion sewaktu kuliah. “Tenang, Bro ... semua harus tenang. Jangan emosi, semua bisa dibicarakan sambil ngopi. Bukan begitu, Nina?” Dion menjawab santai sambil menoleh ke arah Nina yang segera tanggap jika Boss-nya minta dibuatkan kopi. “Oke, berapa cangkir? Dua? Mas Rendra?” “Hmm ... boleh. Bikin tiga, sekalian sama kamu,” jawab Rendra sambil bersungut. “Yups, super sekali. Mari kita ngopi dan bicara tentang masa depan ... ha-ha-ha ... Nina juga gabung sini, kamu wakili aku jawab interogasi Rendra.” “Huh, dasar, fotografer dan asisten, setali tiga uang. Klop, semua ngawur, nggak ada semboyan saling mengingatkan.” Rendra masih belum puas dengan unek-uneknya. Semua itu akibat dirinya yang seharian ini diteror dan diomeli manager Dara yang merasa di zalimi akibat pembatalan sesi pemotretan. “Santai, Broo ... Dara udah telpon aku langsung. Dia nggak keberatan untuk penjadwalan ulang dua hari lagi.” “Iya, Dara santai. Tapi managernya yang enggak. Mamaknya itu galaknya minta ampun...” “Ahh, kamu cuma baper aja. Eh, atau mungkin Ibu sekaligus manager Dara itu sengaja cari story sama kamu? Oh .. I know. Kayaknya dia suka sama kamu, deh...,” Dion menggoda Manager sekaligus sahabatnya itu. “Alamak, yang bener aja kamu.” “Eh, bener. Bisa aja dia suka. Aku pernah liat dia curi-curi pandang ke kamu juga. Tau nggak? Dia kan janda .. cantik, lagi.” Dion tetap keukeuh dengan tuduhannya. “Nggak lucu. Gimana ceritanya aku mau sama dia.” “Ya lucu juga, Ndra.. nanti kalau udah jadian, Dara pasti nggak keberatan panggil kamu dengan sebutan Papa ... Ha-ha-ha...” Tiga cangkir kopi sudah tersedia. Segera aromanya yang harum menutup pertikaian antar dua sahabat. Mereka saling bercerita dan melaporkan progres dalam beberapa hari selama ditinggal Dion dan Nina. Pembicaraan seterusnya cepat menjadi cair dan menghasilkan beberapa kesepakatan. Karena hari sudah larut, Nina segera pamit setelah sebelumnya menelepon taksi yang akan mengantarkannya pulang. “Dua hari lagi, Nin. Jangan lupa sesi foto dengan Dara. Kamu akan aku kasih kesempatan mengambil beberapa frame sesuai dengan selera dan kreasimu.” “Siap, Mas. Thanks untuk kesempatan yang diberikan.” Nina mengucap terima kasih karena kesempatan yang begitu langka itu. Memberikan kesempatan bagi dia serta kebebasan berkreasi dengan pencahayaan sesuai seleranya, adalah sebuah hal yang sangat besar. Hal itu berarti satu hal, yaitu namanya akan tercantum sebagai fotografer dalam hasil karya tersebut. Jika terpilih sebagai salah satu foto yang dipasang dalam majalah, nama dialah yang akan tercantum. Sebuah hal yang besar baginya. Dan tentu saja, itu karena sifat kedermawanan seorang Dion We Pe. “Oke, Mas. Saya pamit. Mas Rendra ... sampai ketemu dua hari lagi. Selamat malam semuanya.” Nina pamit pulang, sementara Dion dan Rendra yang sesama bujangan akan menginap di studio. --- Pintu depan rumah terbuka lebar sesaat setelah taksi berhenti di depan rumah. “Hallo, kesayangan Ayah ... Kok malam-malam gini, pulangnya?” senyum gembira Chandra Wisnu terbuka lebar melihat putri kesayangannya pulang dalam keadaan lusuh dan berkeringat. “Iya, loh ... Ayah dan Ibu udah nunggu-nunggu dari tadi,” sambung Intan, Ibu Nina. “Tadi mampir ke studio dulu, Yah-Bu ... sekalian berbenah peralatan yang habis dibawa. “Ya udah, ayo masuk. Kamu mandi terus makan dulu sebelum tidur.” “Iya, Bu.” Mereka bertiga masuk ke dalam rumah, Nina langsung menuju kamar untuk membersihkan dirinya dari semua keringat dan kotoran yang menempel akibat kegiatan hari ini. “Tuh, Ayah ... anak perempuan satu-satunya kalau jadi kesayangan bapaknya ya gitu. Bawaannya pergi aja, nggak pernah di rumah.” “Ha-ha-ha ... biar saja, Bu. Denok ayah biar jadi anak pemberani dan banyak pengalaman.” “Huh, Ayah ... Anak perempuan bukannya diajar memasak buat bantu Ibu malah dulu diajari nembak dan hunting foto.” “Ya gimana lagi, Bu. Ayah juga butuh teman untuk menyalurkan hobby. Kebetulan saja si Denok yang menuruni semua kesukaan Ayah, jadinya ya oke aja. Sementara si Andi yang laki-laki malah lebih suka main dokter-dokteran.” Dengan santai Pak Chandra menjawab gerutuan Bu Intan. “Hussh ... Ayah. Andi kan dokter beneran...” si Ibu menegur mesra saat mendengar anak lelaki kesayangannya diejek oleh sang suami. “Ha-ha-ha.....” Chandra Wisnu hanya tertawa terbahak. Semenjak mereka hanya sering berdua saja di rumah, Chandra Wisnu Bagaskara dan Intan Prameswari-Ayah dan Ibu Nina memang tampak semakin akur layaknya dua orang teman baik. Andi, putera pertama mereka telah berhasil menyunting wanita idaman tak berselang lama setelah menyelesaikan PTT sebagai seorang dokter. Kini mereka sudah dikaruniai seorang anak. Sementara Nina, si bontot kesayangan ayah juga lebih sering tak berada di rumah karena tugas-tugas daan cita-citanya menjadi Fotografer profesional. Sebenarnya sang Ibu merasa agak berkeberatan, karena tak pantas baginya jika seorang anak gadis menjalani hidup dengan gaya seperti itu. Berbeda jauh, sang Ayah malah sangat men-support cita-cita Nina untuk menjadi yang terbaik di bidang fotografi. Itu semua tak lepas dari hobby Chandra Wisnu yang sangat menggandrungi urusan bidik-membidik sejak masih muda. Hanya saja karena pada jaman mudanya dulu menjadi seorang ‘tukang foto’ dianggap sebagai profesi rendahan, maka cita-citanya menjadi fotografer harus kandas di tangan orangtua. Dan kini, di hari tua Ia harus cukup puas menjadi seorang pengusaha non aktif. Semua usahanya telah diserahkan pada orang-orang kepercayaan, dan Ia lebih sering berada di rumah menemani istri yang membuka usaha catering. Mereka berdua duduk di ruang tengah yang berdekatan dengan meja makan untuk menunggu sang putri kesayangan selesai mandi. Sebenarnya mereka akan beristirahat, tetapi  rasa lelah dan kantuk jadi hilang saat menerima kabar jika Nina akan pulang. Dan mereka menunggu untuk mendengar banyak cerita petualangan dari Nina seperti yang selama ini selalu Ia lakukan saat pulang. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN