BAB 12 - Dara Jelita

1194 Kata
Studio foto yang merangkap kantor pusat operasional Dion Foto’s Studio telah menampakkan kesibukan rutin seperti biasa. Di meja front office tampak dua orang gadis cantik yang bertugas sebagai penerima tamu dan customer service, lalu diruang tengah juga terlihat beberapa orang yang sedang memelototi komputer masing-masing untuk melakukan proses editing. Beberapa karyawan bagian maintenance dan peralatan juga tampak tengah berkutat dengan tugas mereka. Kantor itu cukup luas dan terletak di Kemang, bilangan yang sangat strategis serta bergengsi daerah jakarta selatan. Dengan penataan yang artistik, suasana kantor memang dibuat begitu nyaman dan berkelas, karena selalu dipergunakan untuk menerima tamu dan sekaligus sebagai venue foto studio bagi klien papan atas. Ruang-ruang studio indoor terletak di bagian belakang. Terdapat sedikitnya empat studio foto indoor yang memiliki setting berbeda, dan juga satu studio semi outdoor yang dilengkapi beberapa taman dan kolam renang di bagian luar gedung pada halaman belakang.   Nina tengah asyik mempersiapkan setting untuk pengambilan foto pagi ini. Dengan dibantu beberapa crew, Ia tampak mematut-matut background sambil beberapa kali mengukur intensitas cahaya yang jatuh pada obyek foto nanti. Sebagai asisten pribadi Dion, Ia adalah orang yang paling bertanggungjawab untuk kesuksesan kerja sang Boss. Meskipun banyak asisten fotografer lain yang berseliweran dalam gedung, hanya Nina sajalah asisten yang selalu bersama Dion dalam sebuah sesi foto. Sementara yang lain juga merupakan asisten fotografer, tapi sudah punya tugas masing-masing sesuai job mereka.   “Hai, Nin. Pagi...,” Dion muncul di studio dengan tiba-tiba. “Selamat pagi juga, Mas.” “Udah siap? Semua oke?” “Siap, Boss. Everything is ready to rock and roll.” “Good job. Kita tunggu Dara sebentar, Dia udah telepon kalau sedang dalam perjalanan.” jawab Dion kembali dengan santai. “Baik, Mas.” “Oh ya, kamu nanti ambil beberapa take foto seperti yang saya katakan kemarin. Coba beberapa kreasi berbeda.” “Siap, Mas.” “Emm ... hal lain, kamu nanti juga ikut ambil gambar bersama saya seperti biasa. Bracketing, ya..” “Oke, siap.” Nina mengangguk paham. Inilah yang dia suka saat bekerjasama dengan Dion. Laki-laki itu selalu mau memberikan kesempatan baginya untuk bisa berkembang. Hal itulah yang selama ini membuat Nina nyaman bekerja dengannya. Dion profesional, bukan hanya karena keahlian membidikkan kamera saja, namun juga dalam hubungannya dengan mitra lain. Sebagai contohnya, ya ini. Walaupun secara pribadi dia merupakan seseorang yang lebih banyak menyebalkan, tapi saat bekerja adalah sosok yang baik. Ia bisa menjadi atasan yang sabar dan jelas saat memberi arahan. Apalagi sebagai mentor, Dion tidak pelit memberikan ilmu dan sangat-sangat menyenangkan sebagai sosok guru profesional. The best, itulah yang selalu tersemat dalam hati Nina bila mengartikan sosok Dion. Daftar kebaikan panjang itulah yang sampai saat ini membuat respek Nina tetap besar bagi sang Maestro, walaupun sisi lain darinya sangat menyebalkan dan membuatnya kadang merasa muak.   Saat Dion memotret, biasanya Ia menganjurkan Nina untuk ikut mengambil gambar juga di sela-sela kesibukan Dion. Bracketing, berarti perintah bagi Nina agar membuat komposisi pencahayaan yang berbeda dengan kamera Dion. Dengan bekerjasama seperti itu, mereka akan banyak diuntungkan. Selain karena Dion jadi memiliki back-up foto yang lebih, biasanya hal-hal menggembirakan juga muncul dalam komposisi pencahayaan yang diatur berbeda. Bahkan, bisa saja hasil foto yang merupakan sebuah upaya bracketing akan menampilkan sebuah hasil lebih sempurna di banding komposisi dasar.   Masih dalam keasyikan mengamati ruangan studio, tiba-tiba ponsel Dion berbunyi. Wulan Puspita, Ibu Dion menelepon.  Dion    : “Pagi, Ma..” Wulan  : “Pagi Dion. Kamu pulang kapan dari Bali?” Dion     : “Udah dua hari yang lalu, Ma.” Wulan  : “Eh, ladalah. Kamu udah pulang dua hari tapi nggak mampir ke rumah Ibu?” Dion     : “Ada kesibukan di studio, Buk. Kan harus ngolah foto-foto hasil pemotretan kemarin.” Wulan  : “Tapi mbok ya kamu itu pulang sebentar. Mentang-mentang udah punya apartemen sendiri terus jarang pulang. Bapak dan adikmu sering nanyain kamu.” Dion     : “Iya, Bu. Nanti kalau udah kelar kerjaan, Dion pulang. Sungkem aja buat ayah dan salam untuk Icha.” Wulan  : “Iya, nanti Ibu sampaikan”.   Pembicaraan telepon diakhiri dengan janji sang anak untuk secepatnya pulang menengok rumah orangtuanya. Wulan Puspita hanyalah seorang Ibu rumahtangga yang mendampingi suami selama merintis karier di Ibu kota. Bambang Setya Aji, ayah Dion adalah pejabat karier dalam sebuah kementerian. Dalam masa kerja yang sudah lebih dari 30 tahun, sekarang ini beliau sedang berada di puncak karier sebagai Deputi dirjen dalam jajaran tersebut. Dengan demikian, tak heran lagi jika anak sulung mereka juga berhasil merintis profesi sebagai fotografi handal yang bisa memiliki aset demikian strategis di Jakarta.   Sebenarnya, dulu mereka cukup berkeberatan saat Dion tidak mau diajak untuk bekerja sebagai seorang abdi negara. Namun, karena pembelaan sang kakek yang notabene sangat berperan dalam membesarkan Dion, akhirnya Bapak dan Ibunya mengalah dan harus merelakan si anak sulung ‘hanya’ menjadi seorang tukang foto seperti sang kakek. Namun dengan pengaruh serta kemampuan yang dimiliki, sekuat tenaga mereka mendukung Dion yang akhirnya menjadi seseorang yang diperhitungkan.   “Hallo ... selamat siang,” sapaan suara merdu berbarengan dengan kemunculan sosok tinggi semampai yang begitu cantik dan semerbak mewangi ke dalam ruang studio utama Dion. “Hallooo ... Selamat siang, cantik,” senyum Dion terkembang saat Ia menoleh dan mendapati seraut wajah blaster Indo-Jerman yang sangat cantik. Dara, memasuki ruangan dengan diiringi make-up artis Dion foto’s studio. “Kok sendiri?” tanya Dion sambil memeluk sang gadis dan mengecup pipi kanan-kirinya. “Iya, Mama kan jadi pulang ke Manado. Ada kerabat yang sedang menikahkan anak.” “Oh, iya. Terus, kamu jadi nggak bisa ikut karena jadwalpemotretan ini, kan?” “Hu-um. Makanya Mama marah-marah waktu itu. Hi-hi-hi. Bagiku sih kebetulan kalau nggak ikut.” “Hmmm ... kenapa?” “Bisa bebas menghabiskan waktu tanpa dibuntuti Mama. Hi-hi-hi...” “Huh, dasar. Anak bengal ... ha-ha-ha...”   Dara Jelita, begitu nama bekennya saat ini. Sebenarnya Ia adalah pribadi yang tidak sombong. Ia sendiri selalu menganggap bahwa semua ketenaran dan yang bisa dimiliki kini tidak berarti apa-apa bagi dirinya. Hanya karena sang Mama yang juga merangkap manager memiliki sifat yang sangat ambisius, akhirnya si anak gadis menjadi korban ambisi orangtuanya. Dia merintis karier sebagai figuran sinetron saat berusia belasan tahun, dan perlahan beranjak naik dengan dukungan keras sang Mama. Namun dalam beberapa kesempatan, Dara sering curhat pada Dion jika sebenarnya Ia kurang menikmati berada dalam dunia itu, “Capek, Mas. Dara merasa seperti nggak punya kebebasan seperti gadis lain. Semua harus diatur. Teman atau siapapun yang bisa dekat denganku juga harus dipilih. Bahkan senyum dan ketawa juga ada aturannya. Bosen, karena semuanya palsu.” Demikian beberapa waktu lalu dia mencurahkan unek-uneknya pada Dion. Mereka memang terpaut usia yang cukup jauh, sekitar 10 tahun. Tapi bagi Dara, Dion adalah satu-satunya orang yang dapat Ia percaya dalam pergaulannya di dunia industri hiburan ini. Dion belum lama mengenal Dara. Hanya saat beberapa kali mereka melakukan pengambilan foto iklan dan konsumsi majalah. Namun sepertinya, dua orang tersebut menjadi cocok satu sama lain. Dion lebih menganggap Dara sebagai adik perempuan dan merasa kasihan karena hidupnya yang terbelenggu dalam jadwal ketat sang Mama. Semua itu telah menjadikan kebahagiaan masa remaja hilang. Tanpa teman, apalagi sahabat; Dara akhirnya menjadi seorang gadis tertutup yang hidup layaknya robot yang selalu dikontrol oleh orangtuanya. Dan ternyata, Dara juga bisa merasa nyaman dan aman bersama Dion yang sering memberinya banyak nasihat. Selanjutnya, mereka berdua sering berhubungan melalui chating dan telepon. Hanya saling menyapa dan bercanda layaknya dua orang kakak dan adik. Namun, akhir-akhir ini semuanya menjadi terasa berbeda. Dalam benak Dion, Ia melihat jika Dara memendam sesuatu yang lain dalam dirinya, hanya Ia tak pernah mengerti apa yang sebenarnya ada di dalam benak gadis itu. Ia melihat dan merasakan perubahan dari gelagat dan tingkah Dara saat bersama dirinya, namun belum mampu memahami pasti tentang apa yang sebenarnya telah terjadi dalam pikiran ataupun perasaan sang gadis. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN