BAB 1 - Dion Sang Maestro
PROLOG
Klik-klik-klik
Suara kamera sang fotografer beberapa kali terdengar seiring eksekusi bermacam angel sang model yang tengah bergaya sensual dengan provokatif.
Mereka berada di tengah sebuah sungai kecil berair jernih dengan bebatuan besar hasil guguran gunung berapi yang entah kapan telah berada disitu sejak beribu tahun lalu.
Venue kali ini memang sengaja mengambil background khas daerah pegunungan. Pemandangan hijau sejuk menjadi latar belakang aksi model cantik yang merupakan seorang artis senior terkenal. Beberapa crew nampak mengitari sang artis sambil membawa reflektor dan peralatan lain.
Wanita itu berusia pertengahan 30 tahun yang masih tampak cantik dengan tubuh padat sempurna terbalut kain tipis yang menonjolkan cahaya kulit lembut mulusnya.
Mona Andrea, penyanyi papan atas yang sangat populer pada beberapa tahun lalu di masa keemasannya. Beberapa lagu hits dan populer telah melambungkan namanya sekaligus memantapkan posisi sebagai salah satu kesayangan bangsa.
Kini dia sudah memiliki segalanya. Popularitas, penghormatan dan juga harta benda yang tak terhitung dengan dimilikinya beberapa perusahaan di bidang entertainment.
Jika mau dihitung, mungkin termasuk juga di dalamnya seorang kekasih sekaligus pelindung yang merupakan pejabat BUMN. Tentu saja dukungan dana dari sang Papi sangat cukup untuk mencukupi segala keperluan gaya hidup mewahnya.
Hal itu sudah bukan lagi menjadi sebuah rahasia besar, karena di kalangan para selebritis hampir semuanya sudah mengetahuinya.
Beberapa kali fotografer muda berambut ikal dengan tubuh kekar itu memberikan aba-aba serta arahan gaya.
Dengan luwes, kenes dan senyum manis, sang model mengikuti semua arahan sehingga pengambilan gambar menjadi lebih mudah dan tak memakan waktu lama.
Mereka berdua memang sudah terbiasa bekerjasama. Dion adalah fotografer andalan Mona dalam setiap kali sessi pemotretan apapun, termasuk jika Ia ingin membuat sesi pemotretan pribadi.
Dan semua orang juga mahfum akan hubungan unik dua orang tersebut. Mona sudah lama tergila-gila pada Dion, sementara sang fotografer selalu konsisten dengan sikap tak acuh antara menanggapi dan tidak.
Bisa dikatakan, mereka berdua memiliki hubungan simbiosis mutualisme.
Mona yang selalu mendamba untuk mengambil hati Dion, saling terhubung dengan lelaki itu yang juga membutuhkan dirinya agar tetap eksis di kalangan selebrita.
***
Mereka sengaja menjadwalkan pemotretan pada pagi hari bertepatan dengan golden hour, yaitu saat cahaya matahari masih bersinar lembut dan menghasilkan pencahayaan alami yang sempurna dalam sebuah proses fotografi.
Satu dua kali, fotografer profesional itu memberi komando pada dua orang crew yang memegang reflektor agar bisa tepat membantu pengisian fill cahaya pada obyek foto.
Sementara itu tepat dibelakang juru foto, sesosok gadis bertubuh jangkung yang selalu mengikuti gerak langkah sang fotografer seolah tak pernah mau jauh darinya.
Gadis yang mengenakan rompi dengan banyak saku itu adalah Nina, assisten fotografer terkenal Dion Wahyu Perkasa.
Dion Wepe, begitu kalangan selebritas dan dunia fotografi menyebut namanya. Pria jantan walau tak terlalu tampan, namun memiliki sebuah pesona dan kharisma kuat yang selalu membuat dirinya terlihat begitu berwibawa serta tak dapat di tolak oleh siapapun.
Dion terus bekerja dengan serius, karena sikap profesionalnya yang telah dikenal banyak orang memang selalu memancing decak kagum akan hasil karya yang dijamin perfect.
Saat bekerja seperti itulah orang akan melihat sisi dirinya yang asli. Selalu penuh dedikasi dan bertanggungjawab pada profesi.
Sementara dalam kehidupan lain, Ia malah dikenal sebagai laki-laki super cuek yang bisa seenak sendiri dalam bertindak dan mengatakan sesuatu tanpa memikirkan perasaan orang lain.
Nina, mahasiswi pasca sarjana magang yang telah menekuni dunia fotografi sejak kecil itu, dengan setia terus mendampingi sang fotografer. Sesekali Ia memberi sedikit masukan dan mengambil banyak pelajaran dari setiap aksi dan petuah singkat Dion Wepe.
Gadis tomboi sejak dalam kandungan tersebut memang sangat open minded. Jika tidak demikian, mana mungkin dia akan betah mendampingi sang maestro foto terkenal sejagad yang punya sikap super nyentrik dan angin-anginan.
Saking tak pernah mau perduli dengan urusan orang lain, gadis itu juga seakan menutup mata dengan tingkah Dion yang tak pernah menganggap dirinya ada.
Bagi Nina, apapun yang dilakukan sang boss itu bukanlah urusannya. Meskipun kadang Ia risih saat beberapa kali memergoki lelaki sedang berasyik masyuk dengan para model genit yang berusaha mencari perhatian Dion.
Yang paling penting bagi dia adalah mendapatkan ilmu dan seluk beluk fotografi dari sang kampiun. Meskipun kerap kali makan hati, baginya itu bukanlah sebuah masalah besar.
Karena apapun tantangannya, obsesi utuk menjadi yang terbaik dalam bidang fotografi adalah sebuah keinginan terpendamnya sedari kecil.
Dan satu hal yang paling penting, adalah bahwa Ia harus menyelesaikan riset tentang dunia fotografi profesional sebagai bahan tesis diakhir kuliah. Karena maksud dan tujuannya bergabung dalam tim Dion adalah untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya sekaligus memperdalam ilmu fotografi.
Dion Wepe adalah sebuah jaminan kualitas bagi sebuah hasil karya foto. Ilmunya tentang aksi membidik di balik lensa sudah demikian mumpuni.
Tak hanya sebagai pengarah gaya terbaik untuk model hidup, namun Ia juga piawai untuk setiap momen dan ide apapun dari foto landscape sampai pada bidikan-bidikan live event olahraga maupun kehidupan sosial.
Mungkin karena memiliki minat yang sama besarnya dalam bidang tersebut itulah, yang menjadikan Dion dan Nina terlihat cocok dan cukup lama bertahan dalam kerjasama panjang.
Sementara asisten sebelumnya banyak yang berguguran mengundurkan diri atau malah di berhentikan oleh sang master fotografi tersebut.
Bisa jadi latar belakang keluarga mereka yang mirip telah memberi andil cukup besar untuk hal itu. Baik Dion maupun Nina, mereka sama-sama berasal dari latar belakang keluarga yang menekuni fotografi.
Dion mendapatkan pengenalan intens tentang kamera sejak Ia balita. Hal tersebut bisa terjadi karena kakeknya adalah seorang pemilik studio foto sejak jaman pasca kemerdekaan.
Sementara Nina menjadi anak kesayangan sang papa yang keranjingan apapun menyangkut urusan ‘shooting’.
Salah satunya dalam kemampuan membidikkan kamera, selain juga membidik di balik laras senapan.
“Baiklah, sesi foto pagi ini selesai. Thanks to all crew, atas semua kerjasama yang baik,” Dion mengakhiri pengambilan gambar pagi itu dengan ekspresi puas.
Segera, semua kru yang terlibat membenahi peralatan yang menjadi tanggung jawab masing-masing. Tak ketinggalan Nina, Ia juga mengambil kamera yang di pegang Dion dan menyimpan semua perangkat pribadi sang Boss ke dalam tas khusus.
Setelah melepaskan memory card yang baru saja di pakai, Ia juga membersihkan lensa-lensa camera Dion sebelum memasukkan ke dalam kit bag.
Semua yang menyangkut peralatan pribadi Dion adalah tanggungjawab Nina. Bahkan bukan hanya kamera dan perlengkapan fotografi, namun terkadang sampai pada ponsel, dompet, kartu ATM dan lain-lain juga diserahkan laki-laki itu padanya.
Alhasil, jadilah Nina seorang pengekor sejati yang selalu mengikuti kemanapun Dion pergi pada saat momen bekerja seperti ini.
Bagi gadis tomboi itu, semuanya bukanlah masalah besar. Ia suka dan merasa nyaman saja bersama maestro cuek tersebut. Karena justru di saat santai itu, Nina malah banyak mendapatkan teori maupun ide yang original dari Dion.
Kekaguman sang asisten pada Boss-nya memang tak salah alamat. Siapapun mengakui bahwa Dion adalah seorang fotografer yang selalu berpikir out of the box serta beberapa langkah lebih maju dibanding yang lain dalam hal ide dan naluri.
Itulah mengapa sebabnya Nina benar-benar menaruh respek tinggi pada Dion. Tentu saja ada satu hal yang Ia kecualikan, yaitu sifat play boy dari sang master.
“Dion, kita sarapan, yuk. Aku udah lapar,” gaya manja sang model memberi sedikit kehangatan dalam tenda pinggir sungai yang menjadi pos darurat sesi pemotretan.
“Oke, yuk. Aku juga udah lapar. Nina, kamu ikut,” jawab Dion tegas dan cuek.
“Oh iya, Nina ikut mobil aku aja sama Dion. yang lain biar menyusul nanti,” senyum manis wanita cantik itu benar-benar meruntuhkan iman lelaki.
“Siap, Mbak. Sebentar, saya bereskan sedikit peralatan ini.”
Dalam Alphard yang meluncur mulus menuju pinggiran Ubud, Nina duduk di sebelah sopir sementara Dion dan Mona saling berdempetan mesra di bagian tengah.
Hmm.. dari sudut mata Nina, terlihat sepertinya Sang artis demikian agresif menempelkan tubuh pada badan kekar mentornya itu.
Akhirnya setelah berjalan selama beberapa menit, mereka berhenti di parkir rumah makan ‘Bebek tengah sawah’.
Sebuah mobil yang mengekor di belakang mereka juga berhenti, kendaraan itu berisi Manager bersama asisten pribadi Mona dan juga make-up artisnya.
“Yuk, masuk. Biar yang lain pada nyusul cari tempat sendiri,” Mona memberi komando dengan lambaian tangannya.
Mereka berenam memasuki rumah makan tersebut dan mengambil sebuah tempat khusus yang menghadap pemandangan sawah di belakang.
Sekali lagi Nina yang kini duduk bersebelahan dengan Reny si make-up artis, harus disuguhi dengan pemandangan seronok menyangkut perlakuan Mona pada Dion yang begitu mesra.
“Ehm, mumpung semuanya ngumpul, aku mau ngomong dikit, nih..,” Mona memulai pembicaraan setelah minuman pesanan mereka terhidang.
“Oke, ada berita baru?” Dian, manajer sekaligus sahabat Mona bertanya.
“Hmm.. hanya sebuah rencana. sesi pemotretan kan sudah selesai. Aku punya ide untuk sekedar memberi hadiah bagi diriku sendiri. Aku pengin untuk beberapa hari ke depan membuat dokumentasi foto pribadi.”
“Maksudnya?” Dian bertanya kembali.
“Maksudku, Aku mau ambil cuti barang satu dua hari. Selagi masih berada di Bali, pas ada Dion juga disini. Karena itulah aku mau sekedar mencari beberapa view yang bagus untuk pemotretan pribadi.”
“Sekarang ini?”
“Iya, mulai hari ini. Kan masih pagi juga.”
***