Pemotretan berjalan selama kurang lebih tiga jam dengan beberapa perubahan setting dan background tempat dan juga berkali-kali ganti kostum. Tentu saja waktu yang sekian lama sudah diselingi dengan istirahat, diskusi serta makan minum.
Nina yang tampaknya juga memiliki kesan baik dengan Dara, kali ini mendapatkan banyak kesempatan untuk menunjukkan kepiawaiannya dalam mengolah kamera. Dengan totalitas serta mengeluarkan segenap kemampuan, Ia bekerja dengan fokus dan bertekad akan mengukir namanya baik dalam portofolio-nya sendiri maupun sebagai seorang fotografer dengan nama tercantum menyertai lembar foto hasil karyanya ini.
Berkat Dara yang luwes, ramah dan tidak rewel; akhirnya semua sesi dapat diselesaikan dengan lancar. Semuanya puas dengan hasil yang dapat diraih dengan mulus tanpa disertai banyak drama melelahkan.
Bukan hal yang mengherankan jika seorang artis yang merasa terkenal akan meminta dan bertingkah macam-macam dalam sesi seperti ini, namun ternyata Dara tidak seperti itu. Dia bertindak profesional dan menaruh respek terhadap semua yang telah repot terlibat dalam pemotretan itu.
Mereka menutup kegiatan dengan janji akan menyerahkan foto yang terpilih kepada agency setelah terlebih dahulu melalui pertimbangan Dara. Artinya, hasil foto yang akan diserahkan kepada agency sebagai klien Dion akan diseleksi dulu bersama-sama dengan Dara. Hal itu adalah di luar kebiasaan, karena pada umumnya seorang model hanya berhak melakukan pemotretan saja tanpa menuntut untuk dilibatkan dalam menyeleksi.
But off the record, semua keistimewaan ini hanya diberikan kepada Dara sebagai seorang model istimewa. Begitu juga Nina, Ia bahkan berjanji untuk mengedit sendiri foto-foto yang diambil dalam pemotretan tadi.
Nina adalah editor handal senjata rahasia Dion. Gadis itu ternyata sangat berbakat dalam memproses hasil pemotretan sesuai dengan selera Dion dan klien. Itulah sebabnya sang fotografer juga menaruh apresiasi baik untuk Nina, walau dalam hubungan pribadi seperti sekehendak dan maunya sendiri saja.
“Jadwal hari ini padat, Mas?” Dara berbisik saat sudah meninggalkan studio. Mereka tengah berdua saja dalam ruang kerja Dion.
“Enggak juga. Kerjaanku selesai, beberapa pekerjaan sudah diwakilkan asisten. Kenapa?”
“Kita makan siang, yuk.”
“He-he, aku malah yang mau ajak kamu makan siang.”
“Oke, baiklah. Berarti aku ditraktir ... hi-hi...”
“Siap, Non,” jawab santai Dion sambil memberi hormat layaknya tentara.
Mereka berdua tertawa dan mengobrol kesana kemari sambil menunggu Dion selesai memeriksa beberapa dokumen.
Kemudia, tiba-tiba Dara nyeletuk,
“Mas, Dion. Seumpama aku minta difoto secara vulgar gimana? Mas Dion mau?”
“Hah? Buat apa juga?”
“Buat koleksi pribadiku. Konon, hal tersebut lagi trend sekarang. Banyak artis yang melakukannya. Alasannya, mereka ingin memiliki dokumentasi di saat masih cantik dan selagi memiliki tubuh langsing serta indah.”
“Ha-ha-ha ... I Know. Memang begitu adanya. Tapi, kamu?”
“Emang aku kenapa?”
“Kamu berani? Nggak nyesal nanti?”
“Maksud Mas Dion?”
“Begini. Bagaimana seandainya foto-foto yang kamu ambil dalam adegan vulgar menjadi bocor dan tersebar keluar? Bukankah itu akan menjadi sebuah aib bagimu?”
“Hmm ... ada bebrapa kasak-kusuk yang memberitakan bahwa Mas Dion mampu dan bisa menjaga rahasia itu dengan baik.”
“Oh, kamu sudah dengar itu juga? dengar dari mana?”
“Iya ... pokoknya, ada, dehh ... hi-hi...”
“Oke. Jujur saja ada beberapa wanita yang pernah kuambil foto artistik mereka dalam keadaan vulgar. But, mereka semua sudah paham akan semua resiko.”
“Resiko yang bagaimana?”
“Ada perjanjiannya, Non. Intinya pihak aku, atau katakanlah kami, karena pasti akan melibatkan seorang editor, berjanji untuk tidak akan pernah mempublikasikan foto-foto itu.”
“Nah, maksudku juga begitu.”
“Tapi, ada banyak hal yang bisa saja terjadi dan menyebabkan hal itu menjadi bocor serta diketahui publik. Tentu saja itu diluar tanggungjawab kami jika memang bukan kami yang melakukannya.”
“Paham, Mas ... dan aku sudah mantap.”
“Hmmm ... benar begitu?”
“Iya.”
“lalu, kapan rencanamu?”
“Hari ini.”
“Hari ini?”
“Iya, kapan lagi Mama nggak ada bersamaku? Hari ini, Mas. selagi aku punya sedikit kebebasan.”
Dion akhirnya mengerti. Gagasan tersebut mampir dalam benak Dara sebagai wujud pemberontakan gadis itu kepada sang Mama. Dara tidak pernah sedikitpun menyukai kehidupannya sebagai artis, namun sang Mama telah begitu memaksa bahkan cenderung mengeksploitasinya. Akibatnya, gadis itu seperti menjadi frustasi dan selalu ingin memberontak pada keadaan yang selama ini menghimpitnya.
Akhirnya, “Baiklah. Tapi kamu harus berjanji.”
“Apa?” Dara mengerutkan kening mendengar syarat dari Dion.
“Satu, kamu nggak boleh memperlihatkan hasil foto tersebut pada siapapun juga.”
“Oke, baik. Aku sanggup.”
“Yang kedua, kita lakukan ini secara rahasia tanpa ada seorangpun yang mengetahui. Seandainya terjadi sesuatu terkait foto-foto tersebut, aku cuci tangan.”
“Setuju. Karena aku hanya sebuah menginginkan koleksi pribadi. Dan jujur, hanya Mas Dion yang bisa aku percaya untuk melakukan semua itu. Karena orang lain tak akan pernah kuijinkan melakukan sampai sejauh itu.”
“Oke, deal.”
“Deal.”
Dion takkan pernah tahu bahwa dilubuk hati yang paling dalam gadis itu, sebuah sesi pemotretan vulgar tanpa busana adalah hanya merupakan simbol dari penyerahannya pada Dion.
Dara telah merasa dan semakin dipikirkan semuanya menjadi masuk akal ... bahwa Mamanya yang begitu ambisius itu, pada suatu saat nanti pasti akan sampai pada sebuah titik untuk mengorbankan anaknya sebagai bayaran atas cita-cita sang Ibu.
Dalam beberapa kesempatan, Dara sudah menebak niat sang Mama yang seakan sangat tega menyodorkan dirinya kepada para produser maupun pemilik PH. Hanya saja, sampai detik ini Ia masih dapat bertahan untuk tidak jatuh dalam perangkap tersebut.
Kini, setelah Ia menemukan seseorang yang mebuatnya nyaman, Dara telah bertekad untuk menyerahkan dirinya pada orang yang selama ini baik padanya tanpa ada niat memanfaatkan.
Dion telah Ia pilih, karena rasa simapti sekaligus sayang dan juga rasa nyaman yang selalu Ia rasakan saat bersama laki-laki itu. Dan, hari ini adalah waktu yang tepat untuk mewujudkan hal tersebut. Mamanya pergi, Ia hanya sendiri dan memiliki waktu berdua dengan Dion. Perbedaan usia diantara mereka tak pernah Ia permasalahkan. Justru dengan usia yang jauh dewasa, Ia yakin Dion akan bertindak dengan benar dan lembut saat bersamanya.
“Kamu sudah punya pandangan venue pemotretan?”
“Indoor aja, Mas. Mungkin sebuah kamar hotel yang eksklusive cukup bagus untuk itu.”
“Hmmm...,” Dion berpikir sejenak.
Lalu melanjutkan, “Boleh usul? Daripada di hotel yang mungkin terlihat cukup private, tapi sebenarnya enggak juga. Bisa jadi bahan gunjingan kalau ada yang lihat.”
“Oh ... terus?”
“Lebih aman dan private di apartemenku aja. Gimana?”
“Baik. Aku nurut saja. Yang penting hanya ada kita berdua.”
“Perfect. Apartement kadang-kadang dipakai untuk pemotretan. Disana juga banyak peralatan pendukung pemotretan seperti lighting dan lainnya.”
“Oke, Mas. Aku setuju. Kita berangkat bareng, or?”
“Kamu bawa driver?”
“Iya.”
“Suruh dia pulang.”
“Oke, nanti aku suruh kembali ke rumahnya aja. Untuk alibi dan jaga-jaga kalau Mama nanti curiga aku nggak pulang.”
“Ha-ha-ha ... pinter .. dasar, anak bengal.” Dion tertawa sambil melontarkan sebuah kata yang hanya dijawab dengan juluran lidah dan meringis lucu.
Dara menelpon sopirnya dan sejenak memberikan perintah-perintah dengan halus sebagai siasatnya. Sang driver yang sudah tua dan selama ini merasa kasihan melihat gadis yang seakan tak berdaya dalam cengkeraman Mamanya itu, akhirnya setuju untuk diajak berkomplot.
...