BAB 14 - Private Photo With Dara

1051 Kata
Setelah menyelesaikan beberapa urusan dan mampir ke cafe dekat tempat itu, mereka langsung berangkat menuju tempat tinggal Dion dengan menumpang Taksi. Sementara, sopir pribadinya telah lebih dahulu disuruh pulang ke rumahnya dengan menggunakan mobil Dara. Gadis itu hanya meminta agar driver yang telah bertahun-tahun mengantarkannya ke sana sini itu menunggu Ia telepon besok untuk menjemputnya di suatu tempat.   Apartemen Dion berada tak begitu jauh dengan studio foto miliknya, sehingga hanya memakan waktu beberapa menit saja untuk sampai ke tempat yang masih berada dalam satu wilayah tersebut. “Wahh ... tempat tinggal Mas Dion ternyata lebih bagus dibandingkan hotel yang aku maksud tadi.” “He-he ... Emang sengaja di setting seperti ini. Selain agar nyaman ditinggali, tempat ini kadang-kadang juga dipakai untuk pengambilan foto.” “Pasti cewek ya, Mas?” “Nggak tentu, lah ... cowok juga ada yang melakukan pengambilan foto di sini.” “Hmmm .... sudah berapa cewek yang dibawa kemari?” tanya Dara dengan nada merajuk. “Ha-ha-ha ... nggak kehitung lagi, Dara. Dan untuk mengingatnya satu-satu juga udah lupa.” “Ihh ... ternyata Mas Dion plaboy.” “Loh, ini lagi ngomongin apa? Bukannya tentang pemotretan?” “Tadi katanya cewek...,” rajuk Dara lagi. “Iya, tapi untuk pemotretan. Rame-rame bareng tim.” “Ohh ... kalau Cuma pemotretan berdua? Sering juga?” “Kalau itu, kayaknya baru kali ini. Pemotretan yang aku lakukan tanpa asisten itu, artinya bersifat private. Sangat jarang jarang jarang sekali terjadi.” “Emang Iya?” “Iya, betul. Apalagi pemotretan vulgar, tak mungkin mau kulakukan sendiri jika tanpa alasan kuat. Aku harus punya saksi dan alibi juga, dong.” “Terus, kenapa Mas Dion mau melakukan untuk Dara?” “Itu karena ada alasannya.” “Ohh, apa?” Dara penasaran ingin tahu alasan Dion mau melakukannya hal tersebut untuknya. “Karena, aku nggak mau ada seorangpun yang tahu tentang hal ini. Bahkan juga akan  kurahasiakan dari seorang asisten kepercayaan.” “Maksudnya, Mbak Nina?” “Iya. Bahkan untuk Nina sendiri, satu-satunya orang yang bisa aku percaya. Dia juga tak akan ku beritahu tentang hal ini.” “Kenapa?” “Yah, katakanlah agar hal ini lebih dapat dirahasikan antara kita saja. Jadi, seumpama foto-foto tersebut tersebar sampai pihak ketiga, maka tersangkanya hanya antara aku atau kamu yang membocorkannya.” “Oh, begitu ... paham, Mas. Makasih juga karena Mas Dion sudah mau menjaga rahasia ini.” “Sama-sama, Non. Baiklah, mungkin ada baiknya kalau kita sekarang istirahat dulu. Kamu bisa tidur-tiduran atau apapun terserah kamu. Setelah mandi dan lain-lain sore nanti, kita bisa mulai pemotretan. Biar kamu fresh juga. Sekarang kamu udah terlihat capek.” “Hi-hi ... iya, Mas. Aku ngantuk.” “Ya udah, kamu bisa pakai kamar yang sebelah kiri itu.” “Baiklah, sampai ketemu lagi nanti sore.” Dara melangkah menuju kamar yang ditunjukkan sambil sekalian membawa tas berisi pakaian yang sudah dipersiapkan untuk ‘berpetualang’ pada hari ini. Dion juga memasuki kamar di sebelahnya dan mencoba untuk beristirahat. Ia tahu, malam ini akan menjadi panjang dengan sesi pengambilan foto yang begitu spesial. Ia ingin mempersiapkan diri juga, termasuk persiapan fisik agar bugar nanti.   ---   “Hai...” Wajah Dara yang terlihat segar sehabis tidur menyapa Dion yang tengah mengutak-atik pencahayaan di ruang santai. “Hai, Non. Gimana? Bisa istirahat?” “Bisa, Mas ... hi-hi-hi. Rasanya belum pernah aku bisa tidur siang sebegitu nyenyak. Jadi laper, hi-hi-hi...” “Mau dibuatin minum? Mungkin juga ada beberapa kudapan yang bisa dihangatkan di microwave nanti.” “He-he, boleh. Atau biar Dara aja yang buatkan minuman dan menghangatkan makanan.” “Oke ... that would be better ... he-he. Mari aku tunjukkan dimana tempatnya.” Dion mengantar gadis yang hanya mengenakan celana pendek minimalis dan blouse tipis tanpa lengan itu menuju dapur. Sesampai disana, Ia menunjukkan dimana letak peralatan minum beserta bahan-bahannya. “Nah, silakan kamu mau bikin apa. Aku kopi hitam aja. Coba kita lihat bagaimana taste kopi tubruk hasil bikinan artis ternama.” “Ihh ... ngeledek, nih. Awas nanti kalau kecanduan minta dibuatkan lagi.” “Ha-ha ...  siap, siap. Kalau memang enak, kenapa tidak? Oh. Iya, ada beberapa makanan dingin di kulkas, mungkin kamu bisa menghangatkannya sementara aku menata setting yang akan dipakai nanti.” “Oke, Mas.” Dion meninggalkan tempat tersebut, dan tak lama kemudian sudah kembali lagi sambil membawa kamera. “Oke, Non. Tetap dengan kegiatan kamu. Aku mulai ambil beberapa gambar percobaan. Candid aja, abaikan kamera yang aku pegang.” Karena sudah terbiasa melakukan adegan di depan kamera, tanpa canggung lagi gadis itu tetap menyibukkan diri dalam gaya kegiatan keseharian. Sementara Dion mengabadikan beberapa pose yang baginya sangat menarik. Adegan tersebut adalah layaknya seorang gadis rumahan yang tengah melakukan rutinitas di dalam dapur. Secara spontan, tiba-tiba saja fotografer itu mendapatkan ide pemotretan sore ini. Ia ingin mengambil tema foto tentang seorang gadis kesepian yang tinggal sendiri dalam sebuah apartemen. Tanpa direncanakan, sesi foto pribadi telah dimulai dengan cara yang demikian natural. Bahkan, acara pemotretan juga tetap dimasukkan dalam agenda pada saat mereka melakukan pesan antar untuk makan malam. Sang driver pengantaran delivery order juga tak luput diabadikan saat sang gadis digambarkan tengah menerima pesanan makanan tersebut.   Semua berjalan dengan baik. Dion yang memang seorang profesional mendapatkan seorang artis berbakat dalam setiap adegan foto. Termasuk juga saat Dara dikondisikan seperti layaknya gadis kesepian yang sedang menikmati makan malam sendirian. Ekspresi dan penghayatannya memang benar-benar bagus, sehingga menjadikan hasil foto yang diambil menjadi demikian bagus dan artistik. Tentu saja hal itu bisa menambah koleksi pribadi yang mengesankan. Mereka break dengan mengambil jeda makan malam betulan. Sambil menikmati seafood lezat sebuah restauran ternama, mereka berdiskusi kembali tentang adegan-adegan yang akan mereka ambil nanti. Dara juga melihat hasil foto yang tadi mereka ambil, semuanya membuatnya puas dan merasa senang. “Ehm, jadi aku pengin nanti kamu berpose vulgar tapi tidak murahan.” “Detilnya?” “Sesuai dengan usiamu saja. Kamu kan masih muda, akan lebih bagus kalau nanti berpose dengan malu-malu. Bukan malah pose vulgar menantang.” “Hmm ... Like a virgin?” “Yes, aku nggak suka dengan pose foto gadis penggoda. Nggak cocok untuk karakter kamu.” “Dan aku emang kurang pinter melakukan itu.” “Natural saja. Kamu pasti tak akan bisa terlihat natural jika melakukan gaya itu. Akan lebih mengena dan terkesan seksi jika kamu berakting malu-malu serta takut. Itu sesuai karakter kamu yang kalem.” “Hu-um. Aku jadi paham.” “Nah. Jika seandainya dan umpama kamu merasa malu atau jengah saat memperlihatkan sebuah pose seksi, jangan tutupi perasaan kamu itu.” “Aku kurang paham, Mas.” “Misal kamu merasa malu saat membuka tubuhmu didepanku, ya natural aja. Jangan malah kamu berlagak untuk berani dan berpura-pura sangat profesional dengan berlagak tak merasa malu.” “Ohhh ... naturalis?” “Yes. Aku ingin menangkap perasaan yang ada dalam hatimu melalui lensa. Jika kamu merasa malu, aku juga ingin menangkap itu.” “Hmm ... bisa, bisa..” “Tapi, jangan malu yang dibuat-buat. Lakukan seolah-olah kamu sedang membuka pakaian di depan kekasihmu. Terserah kamu akan merasakan apa, tapi buatlah semua menjadi alami.” “Oke, I see. Jadi, aku harus berpose apa adanya.” “Hu-um. Bahkan jika kamu merasa bersalah atau takut semua ini diketahui Mamamu, ungkapkan saja ekspresinya.” “Baiklah. Thanks arahannya, Mas.” “Sip. Setelah beristirahat, kita mulai lagi.” ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN