BAB 15 - Beauty In Frame

1047 Kata
Frame demi frame dengan berbagai tema telah diambil dalam sessi foto koleksi pribadi Dara tersebut. Dion yang memang memiliki rasa simpati mendalam terhadap artis pendatang baru yang masih lugu itu, sengaja membuat adegan-adegan yang bisa ‘bercerita’; bukan hanya sekedar foto-foto bergambar tanpa makna. Dari tema kegiatan dapur, bermain, makan dan bahkan melamun di teras balkon apartemen telah diabadikan dengan tehnik pengambilan gambar yang begitu bagus dari sang master foto. Dan bila nantinya disatukan dalam keseluruhan kisah, rangkaian foto tersebut tetap berada dalam sebuah tema besar tentang seorang gadis kesepian yang tinggal sendiri dalam apartemen.   “Home alone, hi-hi ... bagus juga tema yang diusulkan Mas Dion,” begitu komentar Dara saat melihat beberapa adegan foto dalam LCD monitor kamera. “Hmm ... pada intinya, sebuah foto akan terlihat bagus jika Ia dapat menceritakan kisahnya dalam gambar.” “Seperti ini?” Dara memperlihatkan fotonya yang tengah berpose menerawang jauh memandangi pencakar langit di sekitar mereka dari teras apartemen. “Hu-um. Contohnya seperti itu. Kamu sedang sendirian berada di rumah, kesepian dan tak tahu harus bagaimana menghabiskan waktu.” “Tanpa teman, saudara atau malah kekasih ... he-he...” “Iya, seperti itu. Penghayatan dalam mindset kamu harus seperti itu.” “Seperti yang kurang kerjaan gitu, ya...” “Ha-ha ... Iya, betul sekali.”   Mereka berdua tertawa dan kembali berdiskusi bagaimana baiknya mengambil adegan terakhir yang diinginkan Dara nanti. Lalu keduanya sepakat, Dara akan bergaya selayaknya gadis yang akan bersiap tidur. Dari mandi, membersihkan wajah sampai pada adegan berganti pakaian dalam kamar, semua akan didokumentasi dan seakan dilakukan secara candid oleh Dion.   Sesi terakhir dimulai. Mereka berdua memasuki kamar utama yang merupakan ruang tidur Dion. Saat mereka masuk, di sana nampak sebuah persiapan telah dilakukan secara baik oleh fotografer tersebut. Beberapa peralatan lighting portabel yang mudah dipindah telah berada di kamar. Semua dipersiapkan Dion dengan perhitungan lighting ratio yang mengimbangi ambient light dalam kamar tersebut. Karena walaupun apa yang mereka lakukan adalah ‘hanya’ sebuah dokumentasi koleksi pribadi, namun hasil yang sempurna adalah sebuah hal mutlak bagi seorang fotografer handal. Maka dari itulah semua persiapan lighting tambahan telah dilakukan agar tak menganggu hasil yang bisa saja menampilkan sebuah bayang-bayang cahaya gelap tak diinginkan. Detil harus sempurna dan inci demi inci permukaan kulit yang akan diambil gambarnya dalam keadaan tanpa busana harus tampak perfect. Adegan demi adegan foto di kamar berlangsung dengan baik. Layaknya seorang remaja yang sedang beranjak dewasa, Dara benar-benar mampu melukiskan gambar dalam frame yang begitu alami dan wajar. Tak ada yang dibuat-buat dengan apa yang Ia lakukan saat melepas satu demi satu lembaran kain yang menutupi tubuhnya. Wajah memerah malu dan senyum tersipu ketika Dion berkomentar atau mengarahkan gaya bagi gadis itu, semua terjadi secara alami dan apa adanya.   Sebenarnya, apa yang dilakukan Dara adalah bukan sebuah hal yang mudah. Hanya demi sebuah pemberontakan agar merasa terbebas dari d******i sang Mama, itulah alasan utama Dara melakukan hal tersebut. Dara hanya berpikir secara emosional saja. Ia ingin melakukan sesuatu perbuatan heboh dan bisa berakibat menggemparkan serta mempermalukan Mamanya, lalu hal itu akan Ia sembunyikan sebagai sebuah rahasia. Bila terjadi peristiwa ke depan menyangkut pemaksaan sang Mama terhadap dirinya, Ia akan menggunakan itu sebagai senjatanya. Dengan demikian, sudah tentu hal tersebut menjadi sebuah kemenangan baginya. Sang Mama yang sejak dahulu selalu mendikte setiap tindakan serta mempersiapkan dengan matang si anak gadis untuk menjadi seorang terkenal walau dengan cara apapun, pasti akan begitu terpukul jika mengetahui hal tersebut. Dan itu hanya punya satu arti; Dara telah mampu mengalahkan ego sang Mama. Oleh karena alasan itulah, Ia nekad melakukan semuanya. Dan sekarang, setiap inci dari tubuh indah  remajanya terpampang dengan jelas tanpa tertutup di depan seorang lelaki. Tentu saja dia bukan lelaki sembarangan. Dara mau melakukannya karena Dion telah terasa begitu merebut hati remajanya yang belum pernah tersentuh perhatian tulus dari lawan jenis. Ia rela dan pasrah akan apa yang akan terjadi selanjutnya nanti.   Bagi Dion sendiri, melakukan pengambilan gambar terhadap seorang wanita cantik dalam keadaan bagaimanapun adalah sebuah hal yang biasa. Bahkan tak sedikit diantara mereka yang tanpa sungkan merelakan seluruh tubuhnya untuk jatuh dalam sentuhan dan pelukan lelaki itu. Namun, ternyata kali ini sungguh berbeda. Dari balik lensa pada jendela bidiknya, Ia menangkap wujud tubuh remaja yang belum terbentuk sempurna layaknya wanita dewasa. Dari permukaan kulit maupun lekuk liku lembut itu benar-benar menampilkan keindahan bunga yang baru mulai mekar. Baik putik, kelopak maupun kuntumnya itu sendiri demikian terlihat murni dan asli, sehingga beberapa kali membuat dirinya menelan ludah.   “Begini?” beberapa kali Dara meminta pertimbangan posisi tangan maupun kaki saat seluruh tubuhnya telah terbuka. “Hmm ... sebaiknya seperti ini,” mau tak mau Dion mendekat dan membetulkan jatuhnya tangan atau titik berat tubuh Dara. Dan tentu saja Dion harus mengerahkan semua pikiran sehatnya untuk menahan diri agar tak menyentuh terlalu lama atau bahkan terus menyentuhnya. ‘Come on, Dion. Dia masih anak-anak,’ begitu hati kecil Dion berkata. ‘Ck, usia dua puluh tahun adalah dewasa. bukan anak-anak lagi,’ jawab suara hati lain yang lebih berpihak pada setan penggoda. Dan kedua kubu putih dan hitam itu terus berperang untuk memperebutkan antara akal sehat dengan tak waras yang kini menggayut dalam pikiran fotografer tersebut. Sampai akhirnya, lingerie ungu muda dikenakan Dara dalam sesi terakhir sekaligus penutup pengambilan gambar malam itu. Dengan rambut hitam tebal yang di ikat ke belakang kepala, beberapa kali Dara berpose malu-malu menggoda yang semakin membuat keringat dingin sang fotografer keluar dari leher dan keningnya. Dara memang cantik, kulitnya yang putih bagai pualam memperlihatkan gen turun-temurun dari moyangnya yang berasal dari daerah yang terkenal dengan amoy cantiknya.   “Done. Akhirnya...” Dion menutup pengambilan gambar sambil mengacungkan ibu jari sebagai pertanda salut dan puas. “Makasih, Mas ... Akhirnya aku bisa punya koleksi foto yang belum pernah ku miliki.” “Bener, belum pernah punya?” “Iya, belum. Beneran, kok.” “Sekalipun selfie pakai kamera handphone?” Dion mempertegas pertanyaannya. “Bener, Mas. Apalagi pakai ponsel. Bahaya banget. Ingat, setiap jejak digital kita selalu ada yang bisa nyimpan.” “Yup. Betul kata kamu. Hati-hati menggunakan kamera ponsel. Kurang hati-hati sedikit, foto-foto kamu akan otomatis tersimpan pada sebuah database raksasa milik penyedia aplikasi. Dan, itu akan mudah di akses oleh orang yang paham IT.” “Aku juga sudah mencermati hal itu dari pengalaman beberapa publik figur yang foto-foto pribadinya bocor ke publik.” “Yess. Sekali lagi, kamu betul. Karena itu, bijaklah menggunakan ponsel. Karena dengan menggunakan tegnologi modern sekarang, otomatis privacy kita sudah tak lagi milik pribadi. Bisa dibilang, hidup kita sudah setengah tergadai pada gadget.” “Hiihh ... ngeri juga, ya.. Oh, iya.. Dara boleh lihat foto-foto tadi, Mas?” “Sekarang?” “Iya, kalau boleh.” “Sebentar, nanti aku pindah laptop aja dulu. Biar kita bisa lihat bareng sambil koreksi dan menilai gambar per-gambar.” “Oke, siap.” ...  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN