BAB 8 - Menuju Lokasi Pemotretan

1070 Kata
Mereka berempat ditambah seorang driver meluncur tenang di dalam sebuah mobil mewah yang dipopulerkan oleh para selebrities. Memang sangat nyaman duduk didalamnya dimana pada bagian tengah mereka bisa saling berhadapan dengan dua pasang kursi yang bisa di stel sedemikian rupa. Yang menjadikan tak nyaman adalah pemandangan di dalamnya. Dion berdampingan dengan Mona menghadap ke arah depan, sementara Nina dan Upik berada dalam posisi membelakangi driver. Bukan karena Nina melihat pemandangan sosok Mona secara pribadi, namun karena sikapnya selama perjalanan yang belum lama berlangsung ini. Mona tampil begitu segar dan cantik. Dengan celana pendek bermerk terkenal dan tentu saja kaos tanpa lengan mahal juga, Ia sangat cantik dan mirip layaknya seorang remaja. Secara obyektif sebagai seorang perempuan dan juga dengan mata fotografer amatirnya, Nina benar-benar mengakui kecantikan dan pesona Mona Andrea. Bukan saja karena perawatan tubuh kelas satu yang membuatnya bisa tampil cantik seperti itu, tapi artis tersebut memang sudah terlahir cantik sejak masih bayi. Tapi, yang menjadikan dirinya menilai secara subyektif, adalah tingkah sang wanita yang melebihi kegenitan seorang remaja putri jatuh cinta. Sepanjang jalan, tangannya tak pernah mau lepas dari lengan Dion sementara kepala terus disandarkan dengan manja berhias senyum bahagia pada bahu sang fotografer. Sudah begitu ... semua tawa manja dan rengekan bernada nakal itulah yang memuakkan Nina. Rengekan dan godaan yang mengisyarakat sebuah petualangan kamar remang-remang dalam panas bara api asmara mereka tadi malam... “Dion ... kamu capek, sayang? semalam kurang tidur, ya?” demikian antara lain rengekannya yang hanya ditanggapi Dion dengan pura-pura bodoh. “Sini tidur nyender ke aku. Kamu harus simpan tenaga buat nanti. Mungkin nanti malam ada pemotretan malam lagi ... hi-hi-hi...” kegenitan yang sarat akan isyarat nakal itu begitu menyesakkan d**a Nina yang entah kenapa jadi merasa tak suka saja dengan tontonan vulgar tak beretika tersebut.   Merasa semakin gerah, Nina membungkukkan badan dan membuka kit bag kamera pribadinya. Gadis itu mengambil kamera, dan berpamitan, “Maaf, saya pindah duduk di depan. Siapa tahu ada beberapa obyek menarik yang bisa di foto.” “Loohh ...  kok pindah depan. Sini, sayang. Di sini kan ada obyek menarik yang bisa difoto juga ... hik-hik-hik...” Mona menyahuti pamit Nina. “He-he ... mau foto pemandangan, Mbak,” Nina kembali menjawab sambil melemparkan pandang keluar jendela mobil. Saat Nina akan bangkit dari tempat duduk dan melompat ke kursi sebelah driver, “Eits, sebentar. Foto dulu, dong. Hi-hi-hi ...” Terpaksa Nina kembali duduk. Ia hanya mengangguk sambil matanya menatap Dion untuk meminta persetujuan. Saat Dion Ia lihat hanya mengangkat bahu dengan nada ‘bodo amat’, Nina kembali membuka tas kameranya dan mengambil satu lensa untuk mengganti yang telah terpasang. Iya, tentu saja lensa panjang yang akan Ia pergunakan memotret pemandangan di luar tak akan bisa dipergunakan untuk mengambil gambar dengan baik dalam jarak sedekat itu. Beberapa jepretan Ia ambil, hanya untuk memenuhi rengekan sang artis genit itu. Dengan gaya manja, Mona membuat beberapa pose mesra bersama Dion yang duduk disampingnya. Setelah puas mendapatkan keinginannya, Ia baru memberi ijin pada Nina untuk pindah ke kursi depan. Dan tentu saja, Nina menjadi asyik bermain dengan kameranya begitu mereka memasuki jalut yang berkelok naik khas pegunungan menuju arah Bedugul. Mereka memang memutuskan untuk mengambil jalur melewati itu dan akan menuju jalan langsung ke arah Singaraja setelah sampai di danau terkenal tersebut. Di tengah kawasan itulah, mereka akan sampai pada sebuah daerah dataran tinggi yang bernama Desa Munduk Buleleng. Tibalah mereka kini memasuki wilayah Danau Bedugul yang tersohor. Karena hari belum terlalu siang, diputuskan untuk sebentar mampir dan membuat beberapa scene foto diri Mona dengan latar belakan danau indah tersebut. Meskipun ramai dengan banyak pengunjung, Dion benar-benar mampu mennunjukkan profesionalitasnya yang mumpuni  dengan berhasil mengambil gambar Mona yang tampil cantik dalam latar belakang danau dan keramaian disitu. Puas mengeksplore beberapa sudut tempat tersebut, mereka makan di warung yang banyak terdapat disitu. Berlagak menjadi pengunjung biasa dan sebagai orang biasa, ternyata apa yang disarankan oleh Nina dan Dion mampu mengabadikan beberapa pose seorang artis terkenal dalam bingkai foto indah yang demikian natural.   Tema foto kali ini adalah naturalism, dimana obyek fotonya adalah orang biasa yang tengah berpetualang menyusuri bagian-bagian indah negeri elok Nusantara. Puas berada disitu, mereka memutuskan pergi untuk mengejar spot foto utama berupa pemandangan latar belakang susset di desa Munduk Buleleng. Reservasi tempat sudah disiapkan, sebuah cottage indah lengkap dengan infinity pool yang menghadap perbukitan kopi dibawahnya. Selesai makan, merekapun melanjutkan perjalanan karena harus mengejar waktu sehingga dapat melakukan pengambilan gambar pada sore hari dalam soft lighting yang tentu saja sangat diperlukan sebagai efek natural. Nina tetap memilih untuk duduk di depan, sementara Upiek menjadi obat nyamuk di kabin tengah mobil itu. Ia harus mau dan mampu bertahan disuguhi pemandangan kemesraan antara Boss wanitanya dan sang fotografer. “Piek, Udah dipastikan lagi reservasi kita?” “Udah, Mbak. Malah tadi pihak cottage yang menghubungi, tanya tentang estimasi waktu kita sampai disana.” “Oh, terus?” “Pokoknya aku bilang kalau sebelum sore kita udah nyampai.” “Hu-um. Berarti mereka sudah siap?” “Iya, Mbak. Satu cottage dengan dua kamar tidur. Satu suite dan satunya lagi superior.” “Baiklah, kita langsung ke sana kan, Pak?” tanya Mona pada driver mobil rental tersebut. “Iya, Buk. Sekitar tigapuluh menit lagi kita sampai.” “Baiklah kalau begitu. Terimakasih infonya, Pak.” “Sama-sama, Bu...” Mungkin karena lelah dan juga perut telah terisi makanan hangat di daerah pegunungan yang dingin tadi, mereka semua menjadi agak mengantuk. Suasana mobil menjadi tenang, hanya tampak sang driver berkonsentrasi penuh pada jalan di depannya dengan ditemani Nina yang masih tetap terjaga. Gadis yang sebenarnya cantik itu tampak diam tenggelam dalam dunianya sendiri. Pemandangan di kanan-kiri hanya sesekali Ia nikmati. Ia asyik dan tenggelam dalam pikiran serta lamunannya. Nina, si gadis tomboy yang begitu suka dengan penampilan itu-itu saja. Jeans belel, baju flanel atau kaus tanpa krah, penutup kepala, dan tentu saja rompi dengan banyak saku khas seorang fotografer, rompi bekas milik sang ayah yang tak dipakai lagi. Banyak orang tak tahu atau malah mengabaikan dirinya dalam dunia gemerlap seputar Dion. Betapa tidak? Di sekitar Nina begitu banyak artis, selebriti dan model yang cantik-cantik dengan segala pakaian indah bermerk dan perawatan tubuh berbiaya jutaan rupiah... Sementara dia? Gadis berbaju rombeng tanpa make-up dan dandanan istimewa selain topi rimba atau jumper kesukaan yang setia menempel pada dirinya. Dia bukan apa-apa, dia bukan siapa-siapa ... Dia hanya sebutir pasir yang tenggelam dalam gemerlap permata ditumpukannya. Dan bagi Nina, semua itu tak akan pernah menjadikan dirinya mundur. Cita-cita dan keinginannya untuk menjadi fotografer terkenal bahkan melebihi sang Maestro, telah membuat Ia mampu menyembunyikan dirinya sebagai sebuah permata yang belum digosok. Apapun yang akan terjadi, kegilaannya dalam hal bidik-membidik yang tak diketahui banyak orang, pasti akan mengalahan segala kesulitan dalam bentuk apapun. Menjadi seorang fotografer handal, adalah merupakan obsesinya sejak kecil. Dan Ia yakin akan mampu menjadi salah satu yang terbaik dalam bidang ini. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN