BAB 7 - Murah Hati

1000 Kata
Pagi datang, matahari belum sepenuhnya naik dari ufuk timur meskipun cuaca sudah begitu terang dan gerah. Dion memasuki rumah setelah meletakkan begitu saja sepeda motor di depan garasi. Sampai di ruang tengah, Ia melihat Nina tengah menata sedemikian rupa macam-macam lensa kamera berbagai ukuran di atas meja makan.   “Pagi, Nien.”   “Pagi, Mas. Wah, baru selesai pengambilan foto sesi malam?” santai, cuek dan tak peduli, gadis itu membalas sapaan Dion.   “Hu-um. Repot juga nggak ada kamu. Aku harus melakukan semuanya sendiri.” Yang disindir hanya menjawab dengan wajah polos tanpa dosa.   “He-he, tanpa aku juga semuanya baik-baik saja. Mas Dion kan udah ahli di bidang itu,” balas Nina tak mau kalah.   “Ohh, itu pasti. Hanya merasa kurang lengap aja kalau nggak ada kamu.” Entah apa maksudnya Dion mengungkapkan kata-kata itu. Semuanya meluncur begitu saja secara otomatis. Gadis berambut sebahu yang hanya di kuncir ke atas itu juga tak perduli dengan apa yang diucapkan Boss-nya. Ia sudah terlalu kebal dengan segala macam omong kosong seenak perut dari Dion.   “Hmm ...  yang pasti, ada yang lebih bikin susah lagi kalau nggak ikutan sesi pemotretan tadi malam.”   “Oh ya? Apa ituuu??...” Dion mencondongkan tubuh diatas meja makan yang menjadi penghalang antara dirinya dan Nina. Wajahnya dimajukan dengan ekspresi yang sungguh menyebalkan.   “Kamera, Mas. Repot banget kalau sesi pemotretan tapi lupa bawa kamera ... hmmmm...”   “Oh my God .... Betul sekali. Kamu jadi mengingatkan apa yang kulupakan tadi malam... Hah-ha-ha....” ketawanya di buat-buat dengan muka yang bertambah menyebalkan.   “Nggak masalah juga, kalee ...  kan udah ahli, tanpa kamera juga udah auto nyimpen di memori. Hi-hi...,” Kembali gadis yang sebenarnya cantik tapi lebih mirip potongannya seperti laki-laki itu menjawab dengan lidah tak kalah tajam.   “Ahaa ... betul. Kamu betul sekali. Benar-benar jenius. Ehh ... mengapa aku dengar ada nada cemburu di sini?”   “Ha-ha-ha ... cemburu dari Hongkong....”   “Jauh, Neng. Kejauhan kalo dari Hongkong.”   “Hmmm ...” Nina tak mau melayani omongan Dion yang Ia tahu pasti akan semakin melantur karena tak pernah mau kalah dengannya.   Gadis itu segera asyik kembali dengan memeriksa satu persatu lensa dan body kamera milik Dion yang di persiapkan untuk traveling fotografi hari ini.   “Mau di bawa semuanya, Mas?” tanya Nina sambil menunjuk semua perlengkapan yang berada di atas meja.   “Hmm ... Mungkin beberapa lensa fix ini saja dan lensa tele, plus dua body. Tapi...” sejenak Dion berpikir.  Lalu, “Udah, deh ... bawa saja semuanya satu set lengkap dengan dua body kamera. Kamu bawa juga, ya.. pemandangan di sana bagus.” Kemudian, tanpa permisi lagi laki-laki itu ngeloyor pergi memasuki kamarnya. Lagi-lagi dengan tanpa menutup pintu kamar. Nina hanya menggelengkan kepalanya dengan ekspresi wajah yang sulit di tebak. Sejak keberangkatan Dion ke rumah Mona semalam, Ia tahu pasti jika Boss-nya tidak akan pulang sampai pagi. ‘Hmm ... kuat sekali mereka makan. Butuh waktu semalaman penuh bagi mereka berdua untuk menghabiskan makanan tadi malam’ demikian batin Nina dengan senyum kecut. Ini bukan yang pertama Ia tahu tentang skandal-skandal sang Maestro fotografi kesayangan publik figur tanah air. Dan Mona juga bukan wanita satu-satunya dalam petualangan Dion terkait hubungan gelapnya dengan artis maupun orang terkenal. Waktu yang sudah hampir menginjak enam bulan sejak dirinya menjadi asisten Dion, telah cukup memberi pengetahuan akan sisi liar dari mentornya itu. Tak cukup dengan artis lajang, Sang fotografer juga pernah Ia pergoki sedang menjalin hubungan dengan wanita cantik istri seorang pejabat publik. Dion seorang petualang wanita sejati. Dalam hubungan kerjasama yang singkat ini saja, boleh dikata ada belasan perempuan yang telah diajak ataupun mengajak Dion bermain-main di atas ranjang. Nina tahu jika Dion memiliki hati yang baik, mungkin boleh di katakan sangat baik. Semua penilaian subyektifnya itu adalah karena Ia adalah salah satu orang yang memiliki akses tanpa batas pada pria itu. Laki-laki itu seorang yang dermawan karena tak pernah segan memberikan segala miliknya pada orang di sekitar. Bukan hanya hadiah-hadiah kepada crew dan karyawan, namun bahkan barang-barang miliknya juga bisa Ia berikan tanpa rasa sayang atau niat menyombongkan diri. Contohnya pada Nina. Pernah suatu ketika Ia mengomentari sebuah lensa yang baginya sangat super dan tentu saja berbanderol harga puluhan juta. “Wuiih, yang ini canggih, Mas. Besok aku mau beli satu kalau udah punya uang.” Demikian suatu ketika Nina berkomentar saat membersihkan lensa zoom dengan body warna hitam-putih panjang ukuran 18-300mm.   “Kamu suka?”   “He-he, pengin punya aja. Bisa buat hunting foto outdoor, Mas.”   “Ya udah, ambil.”   “Hah? Maksud Mas Dion?”   “Katanya kamu suka. Ambil aja. Lensa itu sekarang jadi milik kamu,” jawab Dion dengan santai tanpa beban.   Nina melongo. Ia tak menyangka jika barang yang sangat istimewa itu dengan demikian mudah di berikan begitu saja.   “Enggak, ah. Btw, makasih, mas. Tadi Cuma komen aja. Siapa tahu besok-besok ada rejeki untuk membeli itu.”   “Yaelah, kamu nggak asyik banget, sih. Tadi bilang pengin. Sekarang udah di berikan malah nggak mau. Ayok, ambil. Pokoknya iu harus kamu ambil. Kalau enggak, itu namanya penolakan. Dan bagi Dion We Pe, sebuah penolakan berarti penghinaan besar.” Sombong, tengil dan masa bodoh. Itulah Dion Wahyu Perkasa, seorang fotografer yang terkenal di seantero negeri. Tak mau memperpanjang urusan, akhirnya Nina menerima pemberian tersebut meski dengan berat hati dan sangat menyesali kecerobohannya. Mulai saat itulah Ia berjanji untuk tidak akan mengomentari apapun barang milik Dion. Ia takut nantinya malah di kira memanfaatkan. Penilaian baiknya pada Dion bukanlah karena Ia pernah di beri sesuatu, melainkan karena perbuatan-perbuatan Dion yang lain. Misal saja menjadi donatur tetep panti asuhan, menyumbang bencana dan lainnya lagi. Itulah Dion yang Ia kenal. Laki-laki dengan sifat kompleks yang pada dasarnya berhati baik. Hanya sangat disayangkan, Ia kini terlibat terlalu dalam dengan dunia gemerlap yang sering lupa akan adab baik.   “Kita berangkat jam berapa, Mas?” teriak Nina sambil menoleh pada Dion yang tengah memilih beberapa pakaian yang akan dibawanya.   “Nunggu di samperin. Mungkin sekitar satu atau dua jam lagi. Perjalanan juga cukup jauh.”   “Emang mau kemana?” Nina kembali bertanya sambil melangkah memasuki kamar Dion dan membantunya memilah beberapa pakaian yang diinginkannya.   “Ke suatu tempat yang bernama Desa munduk.”   “Hmm ...  belum pernah dengar.” “Katakan saja, itu sebuah daerah gunung. Perkebunan kopi dan cengkih. Kamu nggak rugi kalau udah melihat view di sana. Makanya bawa kamera dan lensa terbagus kamu untuk hunting landscape sepuasnya.”   “Oh, begitu. Baiklah, siapa tahu aku punya banyak waktu untuk mengambil beberapa gambar. Sesi fotonya kan juga private, nggak ribet-ribet amat.”   “Nah ...  itu kamu cerdas,” seriangai itu kembali muncul dari wajah yang tak terlalu ganteng.  Menyebalkan!   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN