Eps. 10. Terpaksa Berkata Bohong

1608 Kata
Hari berlalu seakan begitu cepat. Tak terasa dua pekan kini Danu sudah lewati, tinggal di desa dan rumah sederhana milik Sukma. Namun, sungguh disayangkan hingga saat itu tidak ada tanda bahwa ingatannya akan kembali. Luka di kepalanya memang sudah sembuh, tetapi kadang-kadang rasa sakit masih sering menyerang. Luka bakar di permukaan kulitnya juga sudah sembuh. Akan tetapi, bekas yang ditinggalkan luka itu belum bisa hilang, tampak memerah dan bagi orang lain, mungkin bekas luka itu terlihat menjijikkan. Danu berdiri di depan sebuah cermin kecil yang ada di dalam kamar yang biasa dia tempat. Wajahnya tampak murung, ketika dia melihat bekas luka bakar itu juga memenuhi hampir semua bagian di wajahnya. "Dengan wajah cacat seperti ini, siapa yang bisa mengenaliku? Kalau ingatanku tidak pulih, bagaimana aku bisa mengetahui siapa aku yang sebenarnya?" Sorot mata Danu menyiratkan kegundahan. "Sudah dua minggu aku tinggal di desa ini. Selama itu aku juga tidak pernah melihat dunia luar. Aku tidak tahu apa yang terjadi di sekitarku." Danu bergumam, berbagai keresahan itu kian memenuhi hatinya. Semenjak tinggal bersama Sukma, dia memang tidak pernah pergi kemana pun. Sukma bahkan melarangnya keluar walau hanya sampai di depan pekarangan rumah saja. Bukan tanpa alasan, semua itu sengaja dilakukan Sukma agar tidak ada orang yang curiga dan justru akan berakibat buruk bagi proses kesembuhan Danu sendiri. Tinggal di desa terpencil itu, membuat Danu kesulitan mendapat petunjuk tentang dirinya. Kendati Sukma juga sudah mencoba membantu dan selalu mencari berbagai informasi terkait dirinya dari bermacam-macam sumber, tetapi hasilnya nihil. Di pemberitaan semua media pun, tidak pernah dia mendengar tentang pencarian orang hilang, yang bisa sedikit menunjuk ciri-ciri seperti dirinya. "Bang Danu sedang apa?" Danu terkejut dan lamunannya buyar, ketika Sukma masuk begitu saja ke kamarnya. Pintu kamar saat itu terbuka, sehingga Sukma bebas masuk, tanpa ada rasa canggung. "Hmm ... tidak apa-apa, Sukma." Danu segera memalingkan pandangannya dari depan cermin, lalu menoleh ke arah Sukma yang saat itu tengah tersenyum menatapnya. Mengalihkan semua rasa terkejutnya, Danu kemudian bertanya, "Tumben kamu jam segini belum ke kebun?" Danu ingat, biasanya setiap selesai sarapan pagi, Sukma pasti akan pergi ke kebun miliknya. "Aku baru saja akan berangkat, Bang," jawab Sukma seraya terus tersenyum. "Dari tadi aku perhatikan Abang murung terus. Apa ada yang sedang Abang khawatirkan?" Sukma bertanya lagi. Dia tahu kalau ada sesuatu yang membebani pikiran Danu. Tanpa disadari oleh Danu, ternyata gadis itu sudah sedari tadi terus memperhatikan apa yang sedang dilakukannya di depan cermin. "Sudah dua minggu aku disini, Sukma. Sampai sekarang aku belum bisa mengingat siapa diriku. Aku merasa tidak enak terus-terusan merepotkanmu saja." Danu menunduk dan raut kegetiran terbias dari pancaran matanya. Dia sangat sungkan dan merasa kehadirannya semakin memberatkan Sukma. "Jangan sungkan seperti itu, Bang. Justru semenjak ada kamu disini aku merasa senang dan tidak kesepian lagi. Bang Danu sudah aku anggap seperti kakakku sendiri." Sukma menanggapi dengan santai. Sedikitpun dia tidak merasa terbebani dengan kehadiran Danu tinggal bersamanya. "Tapi bagaimana kalau aku selamanya tidak bisa mengingat siapa aku? Apa kamu masih mau memberiku tumpangan tinggal disini?" Danu menatap lekat gadis di hadapannya. "Apalagi dengan wajahku yang cacat seperti ini, apa kamu tidak jijik melihatku?" Perlahan Danu mengusap wajahnya dan kembali memandangi bayangannya di depan cermin. Sukma menggelengkan kepalanya. "Aku tidak merasa seperti itu, Bang. Walau wajah Abang cacat, tapi aku menemukan kemurnian di hati Abang. Aku yakin, sebenarnya Bang Danu dulunya pasti orang yang baik," ujar Sukma santai, tidak ingin terlalu menanggapi kekhawatiran Danu. Danu tersenyum dan merasa sangat terharu mendengar ucapan tulus gadis itu. "Sukma, aku tidak tahu bagaimana akan membalas semua kebaikanmu. Aku sangat berhutang budi, karena kamu sudah menyelamatkan nyawaku, sekaligus juga memberiku tumpangan hidup untukku." Rasa sungkan kian tak mampu disembunyikan oleh Danu. "Sudahlah, Bang. Tidak usah dibahas lagi," pungkas Sukma. Gadis itu bahkan seolah tidak peduli akan asal usul Danu yang masih belum jelas hingga hari itu. "Aku harus segera ke kebun untuk petik sayur, supaya besok aku bisa jual ke pasar lagi." Tak ingin membuang waktu lagi, Sukma keluar dari kamar itu sambil mengambil sebuah keranjang besar yang biasa dia bawa ke kebun. "Tunggu, Sukma! Apa aku boleh ikut ke kebun bersamamu?" Danu ikut menyusul langkah Sukma yang kala itu sudah keluar dari rumahnya. Sukma mengerutkan dahinya. "Tidak usah, Bang. Abang di rumah saja," larangnya. "Tapi, aku ingin membantumu, Sukma. Aku tidak ingin hanya jadi beban saja disini." Danu berucap sedikit memelas. "Lagipula, aku bosan di rumah saja. Sesekali aku juga ingin menghirup udara segar di desa ini," sambung Danu mengutarakan keinginannya. Sukma menghela nafas dalam-dalam dan sejenak berpikir. "Ya, sudah. Hari ini aku izinkan Abang ikut." Akhirnya Sukma menyetujui juga keinginan pria itu. "Abang tunggu sebentar." Sukma lalu masuk lagi ke dalam rumahnya dan mengambil sesuatu yang langsung dia serahkan kepada Danu. "Kalau Abang ikut, harus pakai ini ya! Aku tidak ingin Bang Danu nanti kedinginan." Sukma menyerahkan sebuah hoodie kepada Danu. "Baik. Terima kasih banyak, Sukma." Danu langsung mengangguk dan tersenyum sumringah. Dengan cepat dia meraih hoodie dari tangan Sukma dan mengenakannya. Tak lupa dia juga memakai masker penutup wajah, untuk menutupi bekas luka di wajahnya itu. "Ayo kita berangkat, Bang!" ajak Sukma kemudian. Sukma dan Danu lalu berjalan beriringan keluar dari rumah itu. Dikarenakan letak rumah Sukma paling ujung dan menyendiri di anatara rumah lain di desa itu, tentu tidak ada orang yang melihat mereka. Dalam beberapa menit saja, mereka sudah sampai di kebun yang berjarak hanya beberapa meter dari rumah Sukma tersebut. Di depan sepetak tanah yang hanya berukuran sekitar 800 meter persegi, Danu termangu. Netranya menyapu apa saja yang ada di atas lahan yang tidak seberapa luas itu. Seketika sebuah kekaguman langsung terlintas di benaknya. Meski lahan itu cukup sempit, tetapi aneka tanaman sayur tertata rapi dan tampak tumbuh subur di sana. Selain itu, sebuah kandang unggas juga ada di sisi paling ujung lahan. "Wah ... semua tanaman sayur disini sangat terawat!" Danu berseru dan sangat takjub dengan apa yang dilihatnya. "Apa kamu merawat sendiri semua sayur-sayur ini, Sukma?" tanyanya, semakin kagum akan kerja keras gadis desa itu. "Iya, Bang. Aku sudah terbiasa berkebun semenjak kecil. Kedua orang tuaku selalu mengajarkan tata cara merawat tanaman supaya tumbuh subur dan cepat menghasilkan." Sukma menyahut penuh percaya diri. "Abang tunggu dekat kandang ayam itu saja. Di sana ada bangku untuk duduk, sementara aku akan petik sayur dulu." Sukma menunjuk ke sebuah area lapang di sebelah kandang unggas miliknya. Di tempat itulah dia biasa beristirahat sejenak, bilamana sudah merasa penat setelah seharian mengurus kebun. "Tidak, Sukma. Aku ikut kesini bukan untuk menonton saja. Aku ingin membantu pekerjaanmu." Tidak menuruti perintah Sukma, Danu tetap menyusul langkah Sukma masuk ke dalam area kebun. Walau di kehidupan Aryan sebelumnya dia tidak pernah mengenal yang namanya berkebun, tetapi entah mengapa bersama Sukma dia sangat mudah beradaptasi. Dengan sangat cepat dia bisa mengikuti semua yang dikerjakan Sukma, memetik sayur serta membersihkan lahan itu dari gulma dan tanaman-tanaman penggangu lainnya. Hingga beberapa jam berlalu, Sukma dan Danu masih tetap sibuk memetik sayur dan menanam beberapa bibit sayur yang baru. "Aku senang sekali ada Abang bantu aku hari ini. Pekerjaanku jadi lebih ringan dan cepat selesai." Sukma tersenyum girang. Bantuan Danu sungguh terasa berarti baginya. "Ini nggak seberapa, Sukma. Aku hanya bisa membantu sekedarnya saja." Danu membalas tersenyum dan tidak ingin merasa besar kepala karena pujian dari Sukma. Sambil memasukkan dan menata sayuran yang sudah mereka petik ke dalam keranjang, Sukma dan Danu juga asyik berbincang, sambil sesekali saling melempar canda. Keduanya terlihat begitu akrab, seperti sudah lama saling mengenal. "Senangnya hari ini hasil panen lumayan banyak." Senyum puas membias di bibir Sukma, setelah dia melihat semua hasil panennya hari itu. Selain satu keranjang sudah penuh dengan aneka sayuran hijau, ada satu karung juga penuh sayuran lainnya, seperti lobak, kentang dan wortel. Tanah di desa itu memang sangat subur. Semua itu adalah anugerah Tuhan yang selalu disyukuri semua warga di sana, sehingga mereka semua rata-rata bisa menghasilkan sayuran berkualitas tinggi. "Sekarang ayo kita pulang, Bang!" ajak Sukma sambil mengangkat keranjang sayur lalu menjinjingnya di atas kepala. Danu juga tidak mau kalah. Dia ikut memikul karung sayur satunya dan keduanya kembali berjalan beriringan menuju rumah mereka. Dalam perjalanan pulang, sejenak Sukma dan Danu menghentikan langkahnya, karena seorang wanita yang juga warga desa itu terlihat menatap mereka dengan raut wajah penuh tanya. "Siapa pria ini, Sukma? Tumben aku lihat kamu sama laki-laki?" Wanita itu langsung bertanya dan terlihat menaruh kecurigaan terhadap Sukma dan Danu. "I-ini Bang Danu, saudara jauhku, Mbak," jawab Sukma gugup, karena dia tengah berbohong kepada wanita yang juga adalah petani sayur di lahan sebelah. "Saudara jauh?" Wanita itu menyeringai sinis. "Sejak kapan kamu punya saudara jauh? Bukannya kamu hidup sebatang kara?" tanyanya semakin ingin tahu, sebab Sukma di desa itu, selama ini dikenal tak punya sanak saudara. "Iya, Mbak. Saudaraku dulu tinggal jauh di desa lain. Dia baru tiba kemarin disini." Sukma tetap memberi jawaban bohong. Danu hanya terdiam dan menundukkan wajahnya. Selain mencecar Sukma dengan banyak pertanyaan, wanita itu juga terus memandangi dirinya dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Aku permisi ya, Mbak. Aku harus segera membawa hasil panenku pulang." Dengan cepat Sukma mengalihkan dan ingin segera meninggalkan wanita itu. "Ayo, Bang!" Sukma menarik tangan Danu dan mengajaknya segera pergi dari sana. "Ku rasa Sukma berbohong." Wanita itu mencebikkan mulutnya dan tersenyum masam. Meskipun Sukma dan Danu berusaha menghindar, tetapi wanita itu masih tampak menyimpan rasa curiga terhadap pria yang tengah diajak oleh Sukma. Sambil melanjutkan langkah menuju rumahnya, Sukma bergumam dalam hati, "Aku tahu setelah ini, pertanyaan semacam tadi pasti akan sering aku dengar. Warga desa pasti akan selalu bertanya tentang Bang Danu." Sukma menyadari lambat laun semua warga pasti akan tahu tentang adanya Danu tinggal bersamanya. Karenanya, dia harus menyiapkan jawaban yang sama, apabila ada warga lain yang bertanya lagi kepadanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN