Eps. 09. Digoda Saudagar

1325 Kata
Dengan hati berbunga-bunga, Sukma melaju di atas motornya, menuju pasar induk yang akan dia tempuh kurang lebih dua puluh menit dari rumahnya. Entah mengapa, semenjak kehadiran Danu bersamanya, ada perasaan berbeda yang Sukma rasakan. Pria itu seolah hadir membawa warna baru, serta mampu mengusir rasa kesepian dan kesendiriannya. Kendati tidak mengenal siapa Danu sebenarnya, tetapi Sukma merasa sangat mudah dekat dengan pria yang tengah mengalami amnesia tersebut. Semenjak Danu tinggal bersamanya, secara tidak sadar Sukma merasa lebih bersemangat menjalani harinya. Karena hal itu pula, Sukma masih bersedia menerima Danu di rumahnya dan tidak ingin melaporkan keberadaannya kepada siapa pun. Setibanya di pasar, Sukma langsung mencari sebuah mobil bak terbuka milik seorang saudagar yang sudah biasa menunggu di pasar itu. "Akhirnya kamu datang juga, Cantikku. Aku pikir hari ini kamu tidak akan jual hasil panen lagi." Seorang pria yang usianya sudah terlihat dewasa bertanya kepada Sukma dengan panggilan khasnya. Pria itu juga ikut membantu Sukma menurunkan keranjang sayur dari atas motornya. "Iya, Bang Budi. Beberapa hari ini hujan terus dan aku tidak bisa ke kebun untuk petik sayur," jawab Sukma memberi alasan, sambil menaikkan sayur-mayur yang akan dia jual ke atas timbangan, satu per satu sesuai jenisnya. "Aku kasihan sama kamu, Sukma. Seorang gadis secantik kamu, masih harus capek-capek ngurus kebun dan jual hasil panen sendiri seperti ini." Sambil mencatat hasil timbangan, saudagar yang bernama Budi itu tersenyum menatap Sukma. Sorot matanya terlihat berbeda, seolah tengah mencoba menggodanya. "Seorang wanita seperti kamu, semestinya tinggal di rumah, dandan yang cantik dan cukup melayani suami saja." Budi terus berceloteh, sengaja mengejek Sukma yang masih saja menjalani kerasnya hidup seorang diri. "Aku sudah biasa mengerjakan ini semua sendiri, Bang. Selama ini, aku juga nggak pernah mengeluhkannya," tampik Sukma, tidak terlalu peduli dengan ejekan saudagar yang cukup terpandang di desanya itu. Budi hanya mencebikkan satu ujung bibirnya sembari memasang senyum masam, terus menatap Sukma dengan bias mata menyiratkan sebuah keinginan tersembunyi. "Kalau kamu bersedia menerima lamaranku, aku akan secepatnya menikahi kamu. Aku berani menjamin kamu bisa hidup enak bersamaku, Sukma. Sebagai istri kesayangan, kamu akan aku manjakan setiap saat. Apapun yang kamu inginkan pasti akan aku penuhi." Budi berujar seraya menepuk d**a, menyombongkan dirinya. Memang sudah lama pria saudagar itu menginginkan Sukma. Bahkan Budi juga pernah terang-terangan berani melamarnya. Meski pria bertubuh gempal itu sudah memiliki seorang istri, tetapi dia tidak pernah ragu menggoda Sukma. Sebagai seorang saudagar yang cukup kaya di desa itu, dia merasa akan dengan mudah bisa memiliki gadis mana saja, untuk dia jadikan istri kedua. Akan tetapi, tidak demikian dengan Sukma. Menikah dengan pria yang sudah beristri, tentu merupakan hal yang paling dia hindari. Uang dan harta yang selalu diiming-iming oleh Budi pun tidak pernah membuatnya merasa silau. "Kalau aku jadi istri kamu lagi, memangnya Mbak Kokom mau dikemanakan, Bang?" Sukma hanya menanggapi dengan tidak terlalu serius semua ucapan Budi. "Si Kokom sampai sekarang tidak bisa memberi aku keturunan, Sukma. Mau tidak mau dia harus bersedia mengizinkan aku menikah lagi," sahut Budi dengan entengnya. Sudah hampir lima tahun dia menikah dengan Kokom, istri pertamanya. Namun, hingga saat itu mereka belum dikaruniai momongan. Hal itulah yang semakin mendorong Budi untuk bisa mendapatkan Sukma menjadi istri mudanya. "Sayuranku sudah selesai ditimbang semua kan, Bang?" Tidak ingin menanggapi semua ocehan Budi lebih jauh, Sukma bergegas mengalihkan, seraya menengadahkan tangannya di hadapan Budi. "Sebentar ya, aku hitung dulu." Budi yang paham akan isyarat dari Sukma, segera meraih sebuah kalkulator dari dalam mobilnya. "Semuanya lima ratus ribu." Budi menunjukkan layar kalkulatornya ke hadapan Sukma. "Hah, hanya lima ratus ribu? Apa nggak salah, Bang?" Kedua bola mata Sukma membulat. Harga jual sayuran yang dia bawa, ternyata dibandrol jauh lebih murah dari perkiraanya. "Harga sayur mayur sekarang lagi anjlok, Cantik! Abang jual ke kota, tidak dapat untung. Berat diongkos pengiriman saja." Budi mengangkat kedua pundaknya dan menjawab dengan acuh. Sukma hanya bisa mendengus lesu. "Ya sudah, mau bagaimana lagi, Bang." Sukma lalu meraih lima lembar uang kertas berwarna merah dari tangan Budi. Dalam hati dia merasa kecewa. Harapannya bisa mendapat hasil lebih, memang harus dia kubur dalam-dalam. Dia paham bahwa di musim penghujan, harga sayur di pasar manapun memang cenderung turun. "Oh ya, Bang. Aku juga bawa sedikit bawang merah, cabai dan juga tomat." Sukma menurunkan sebuah keranjang kecil yang lain dari dalam keranjang besar yang tadi dibawanya. "Nah, kalau bumbu dapur seperti ini, harganya masih lumayan mahal. Sini Abang timbang dulu." Budi mengambil alih keranjang dari tangan Sukma dan dia letakkan pada timbangan. Sejenak, Budi kembali memainkan jarinya di atas tombol angka kalkulator miliknya, lantas berujar, "Totalnya segini!" Budi memperlihatkan lagi layar kalkulator ke hadapan Sukma, sambil kembali menyerahkan beberapa lembar uang kertas kepada gadis itu. "Terima kasih ya, Bang." Sukma bergegas menyambar uang yang diberikan Budi, lantas berbalik badan ingin segera menjauhi tempat itu. Dia tidak ingin terlalu lama meladeni saudagar yang tidak pernah menyerah, selalu saja berusaha merayunya kapan saja dan dimana saja. "Tolong pertimbankan lagi lamaranku, Sukma. Kalau kamu sudah jadi istriku, kamu tidak perlu lagi kerja susah-susah begini," pekik Budi, kembali mencoba merayu Sukma yang sudah berjalan menjauh dari mobilnya. Tanpa sedikit pun berniat menggubris ocehan Budi, Sukma tetap melangkah, berlalu dengan cepat dari tempat itu. "Walau harga sayuran anjlok, setidaknya aku dapat hasil lumayan dari jual cabai, bawang dan tomat." Sambil berjalan, tangan Sukma sibuk menghitung uang hasil jualannya. "Dengan uang ini, aku bisa membeli obat dan beberapa potong pakaian untuk Bang Danu." Sebuah senyum juga terus menghiasi bibir tipis Sukma. Dia selalu teringat akan Danu yang kini tinggal di rumahnya. Sudah beberapa hari, Danu hanya memakai baju bekas peninggalan almarhum ayahnya. Sebab itu, Sukma sengaja menyisihkan hasil jualan hari itu, khusus untuk membelikannya beberapa baju dan juga persediaan obat. Terlalu asyik dengan lamunannya, tiba-tiba saja Sukma terkesiap. Ketika dia tengah memasukkan uang ke dalam tasnya, tanpa sadar dia telah menabrak seseorang yang berjalan dari arah berlawanan dengannya. Sukma terpaku, karena seseorang yang bertabrakan dengannya, kini tampak berdiri angkuh di hadapannya. Seorang wanita menatap Sukma dengan wajah judes dan senyum sinis menghias bibirnya, yang kala itu dipoles gincu berwarna merah menyala. "Mbak Kokom!" Sukma terlonjak kaget. Wanita itu tak lain adalah Kokom, istri Saudagar Budi yang selalu bersikap genit terhadapnya. "Kamu tadi pasti habis menggoda suamiku lagi, 'kan?" Tanpa basa-basi, Kokom langsung menghardik Sukma dengan nada menuduh. Wanita itu menudingkan jari telunjuk yang mengenakan cincin emas berukuran sebesar jengkol, tepat di wajah Sukma. Sorot mata tajamnya yang terlihat tidak senang, juga seolah ingin menelan Sukma bulat-bulat. "Dasar wanita miskin, sok cantik! Jangan keganjenan kamu! Memangnya kamu siapa, beraninya merepet sama Bang Budi, hah?!" Kokom menyeringai sinis, sambil mengangkat satu ujung bibirnya. "Cih! Siapa juga yang sudi merepet sama Bang Budi?" Mulut Sukma berdecih dan ikut menatap Kokom dengan senyuman mengejek. "Memangnya dia seganteng aktor-aktor di drama Korea itu?" cibirnya, berbalik mengejek Kokom. "Bang Budi saja tuh yang suka godain aku!" Sukma terus nyerocos dan berkata dengan acuh, merasa tidak senang mendengar tuduhan Kokom tentang dirinya. "Jangan sembarangan bicara kamu, ya! Kalau bukan karena kamu yang kegatelan, Bang Budi tidak akan pernah godain gadis culun seperti kamu!" Kokom mengumpat semakin sinis, mencemooh penampilan Sukma yang memang selalu apa adanya. "Ehh, dibilangin nggak percaya! Tanya saja sendiri sama suami Mbak ... siapa yang barusan maksa-maksa mau melamarku?" Sukma memalingkan wajahnya semakin acuh. Dia sama sekali tidak ingin menanggapi kecemburuan Kokom, yang memang selalu bersikap seperti itu terhadapnya. Sukma bergegas melanjutkan langkahnya dan buru-buru ingin menjauhi Kokom. Dia mempercepat gerakan kakinya, menuju sebuah apotik 24 jam yang ada di sudut pasar. "Dasar gadis udik, sok cantik! Aku tidak akan membiarkan Bang Budi sampai menikah dengannya. Aku tidak rela gadis itu jadi maduku!" Kokom berdecak jengah. "Sebelum aku kalah saing darinya, sebaiknya gadis miskin yang sombong itu aku kasih pelajaran." Kedua netra Kokom menatap nanar ke arah Sukma. Sedari awal dia memang mengetahui bahwa suaminya sangat terobsesi, untuk bisa memiliki gadis sederhana itu, menjadi istri keduanya. Takut apabila Budi benar-benar akan memperistri Sukma, pikiran j*****m tiba-tiba saja melintas di kepala wanita, yang kemana-mana selalu memoles wajahnya dengan make up tebal tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN