Eps. 11. Dituduh Kumpul Kebo

1716 Kata
Keesokan harinya, seperti biasa Sukma pergi ke pasar untuk menjual semua sayur hasil panen. Senyum senang juga terus terukir di bibirnya, karena hari itu dia mendapat hasil lumayan banyak, berbeda dari hari biasa. Usai menjual sayurnya kepada Saudagar Budi, pagi itu sebelum pulang Sukma mampir dahulu di sebuah kios sembako dan membeli beberapa kebutuhan pokok. Beras, minyak goreng, mie instant dan beberapa kebutuhan lainnya, dia letakkan di dalam keranjang tempat sayur jualannya, untuk dia bawa pulang. "Aku harus segera pulang dan mempersiapkan sarapan untuk Bang Danu." Dengan penuh rasa bahagia, Sukma memacu motornya agar bisa segera tiba di rumah. Di depan pintu pagar rumahnya, sejenak Sukma menghentikan motornya dan menepi ke sisi jalan. Dari spion motor, samar-samar terlihat sebuah mobil bak terbuka sedari tadi terus saja mengikutinya. "Itu kan mobilnya Bang Budi. Untuk apa dia mengikutiku?" Sukma bergumam kesal. Tin! Tin! Beberapa kali terdengar pengemudi mobil bak terbuka tersebut membunyikan klakson. Sukma tahu, Budi memang sudah sengaja membuntutinya semenjak keluar dari pasar. Sukma lalu menoleh ke belakang dan melihat mobil yang kian mendekat ke arah posisinya berada saat itu. Benar saja, mobil itu pun ikut berhenti di sisi jalan yang sama dan seorang pria berperawakan pendek dengan perut menyerupai ikan buntal, langsung turun dari mobil itu seraya mendekatinya. "Untuk apa Bang Budi kemari? Abang sengaja ya, membuntutiku?" tanya Sukma ketus, sambil memajukan bibirnya serta kedua tangan bersedekap di d**a. "Hei ... nggak perlu judes-judes gitu, Cantik! Abang kesini sengaja mau ketemu kamu. Abang cuma mau kasih sesuatu buat kamu." Mulut Budi berucap manis, tentu saja dia berharap Sukma juga akan membalas dengan bersikap manis terhadapnya. "Kemarin Abang ke kota dan Abang sengaja belikan hadiah ini buat kamu." Budi menyerahkan sebuah tas yang terbuat dari kertas kepada Sukma. "Hadiah?" Sukma memicingkan sebelah matanya. "Memangnya dalam rangka apa Bang Budi ngasih aku hadiah?" Sukma menyeringai dingin. Dia tidak langsung meraih tas itu dari tangan Budi, melainkan malah menatap pria itu dengan rasa tidak suka. "Tidak dalam rangka apa-apa, Cantik. Abang hanya ingin kasih sedikit perhatian buat calon istri muda Abang yang sangat cantik ini." Budi menggombal dan tersenyum genit menatap Sukma dengan mata jelalatan. "Idih ... sejak kapan aku ini calon istri kamu!" sahut Sukma dengan nada semakin ketus serta memalingkan wajahnya. "Kamu kalau lagi marah, semakin cantik saja, Sukma. Abang cinta mati sama kamu." Seolah tak punya sedikit pun rasa malu, Budi menyanjung dan terus mencoba merayu Sukma. Bukan hanya hari itu saja Sukma menolaknya. Namun, semakin Sukma menghindar, semakin terobsesi pula, Budi untuk bisa mendapatkan gadis pujaan hatinya itu. Sukma hanya mencebikkan bibirnya mendengar bualan pria bertubuh tambun itu. Rayuan gombal pria itu juga tak sedikit pun mampu menggoyahkan hatinya. "Maaf, Bang. Pekerjaan rumahku banyak. Aku nggak punya waktu buat ngeladenin Abang disini!" tegas Sukma semakin acuh. Bergegas dia menyalakan kembali motornya, ingin segera masuk ke halaman rumahnya. "Eh, tunggu dulu, Cantik. Kamu belum menerima hadiah yang ingin aku berikan untukmu." Budi menahan stang motor Sukma, sembari menyerahkan lagi tas di tangannya kepada sang pencuri hati. "Nggak usah, Bang. Abang kasih hadiah itu ke Mbak Kokom saja." Sukma bersikeras tetap menolak. "Jangan gitu dong! Abang sudah capek-capek membelikan ini khusus buat kamu. Tolong diterima saja. Isinya perhiasan mahal loh. Kamu tidak akan pernah mampu membeli barang seperti ini." Budi terus memaksa dengan menunjukkan kesombongannya. "Lagian kalau kamu nggak mau menerima hadiah dari Abang, itu artinya kamu nggak menghargai Abang." Dengan wajah memelas, Budi tetap membujuk, berharap kali ini Sukma tidak menolak lagi pemberian darinya. Sukma membuang napas kasar. "Ya sudah ... terima kasih banyak ya, Bang." Tak ingin berlama-lama meladeni si saudagar genit, tanpa basa-basi Sukma bergegas meraih tas itu dari tangan Budi. "Permisi, Bang. Aku mau masuk!" pungkas Sukma, sambil melajukan motornya dan segera masuk ke dalam rumahnya. "Sukma ... Sukma ... hmm." Budi menggeleng dan tersenyum. Kendati Sukma kini sudah masuk ke dalam rumahnya, tetapi Budi masih terpaku di tempat semula dan terus mengarahkan pandangannya ke halaman rumah itu. "Makin hari, gadis itu makin cantik saja. Bagaimana pun caranya, dia harus jadi milikku. Sukma harus menikah denganku." Budi menggumam penuh harap. Sukma yang merupakan kembang desa di desa tersebut, sungguh sudah membuat dia tergila-gila. "Ohh ... disini rupanya kamu, Bang!" Budi tersentak kaget. Terlalu asyik dengan angannya tentang Sukma, dia tidak menyadari seorang wanita kini sudah berdiri tepat di belakangnya. "Kokom! Kenapa kamu ada disini?" Kedua bola mata Budi terbelalak. Ketika dia menoleh ke belakang, Kokom sudah berdiri sambil berkacak pinggang serta menatapnya dengan wajah cemberut. "Aku pikir kamu sudah berangkat ke kota untuk jual sayur, ternyata kamu masih disini dan mencoba merayu gadis cupu itu lagi." Kokom menghardik dengan sinis. Gurat tidak senang tampak jelas dari kedua alisnya yang berkerut. "Aku cuma mampir sebentar mengembalikan sisa p********n sayur untuk Sukma." Budi berbohong serta memberi alasan. "Tidak usah membohongiku, Bang. Aku sudah lihat semuanya. Kamu kesini membawakan hadiah untuk gadis culun itu, bukan?" Kokom kembali menuduh dengan mulutnya yang juga semakin mengerucut kesal. "Dengar ya, Bang! Sampai kapan pun, aku tidak akan setuju Abang menikah dengan Sukma. Aku tidak sudi jika gadis miskin itu jadi maduku." Dengan gusar, Kokom menjewer telinga suaminya, serta menariknya dengan cara kasar, menuju ke mobil bak terbuka yang masih terparkir tak jauh dari sana. "Aduh, Dek. Kuping Abang sakit. Lepasin dong!" Budi meringis sambil melepaskan tangan Kokom dari telinganya. "Sekarang cepat berangkat ke kota sebelum kamu kesiangan!" Kokom mendorong tubuh Budi untuk segera naik lagi ke atas mobilnya. "Awas ya, kalau kamu ganjen-ganjen lagi sama gadis itu ... aku akan potong senjatamu yang tidak seberapa besar itu!" ancam Kokom dengan seringai sadis, semakin kesal dan tidak terima akan perlakuan istimewa Budi terhadap Sukma. "Iya ... iya! Abang berangkat dulu ya, Dek!" Tak ingin memperpanjang perdebatan dengan sang istri, Budi bergegas melajukan mobilnya untuk menuju ke kota. Meski bertubuh gempal dan tampangnya juga sedikit sangar, sejatinya nyali Budi tidak seimbang dengan penampilannya. Dia adalah pria takut istri, yang akan selalu tunduk pada apa saja keinginan istrinya. Melihat mobil Budi sudah jauh berlalu dari tempat itu, Kokom kembali berdecak kesal. "Semakin hari, Sukma semakin meresahkan saja. Kalau aku biarkan, gadis itu akan semakin ngelunjak. Hari ini juga aku akan memberinya pelajaran!" Kokom menggerutu sengit. Dengan raut kemarahan di wajahnya, Kokom melangkahkan kaki dengan cepat masuk ke halaman rumah Sukma. "Sukma ... Sukma! Cepat keluar kamu!" Di depan pintu, Kokom berteriak memanggil Sukma, seraya mengetuk pintu rumah itu dengan sangat kasar. "Buka pintunya, Sukma. Aku ingin bicara sama kamu!" Kokom terus memekik dan memanggil dengan suara keras. Sukma yang kala itu baru saja masuk ke dalam rumahnya seketika terhenyak. Dari suaranya saja, dia bisa mengenali siapa yang tengah mengetuk pintu dengan tidak sabaran. "Itu Mbak Kokom. Buat apa dia datang kesini?" Sukma bertanya-tanya dalam hati, sambil berjalan mendekati pintu rumahnya. "Untuk apa Mbak Kokom kesini?" Pertanyaan itu langsung dilayangkan Sukma, ketika dia sudah membuka pintu dan melihat Kokom berdiri dengan urat wajah tampak mengeras di hadapannya. "Tidak usah berlagak lugu kamu!" cibir Kokom sinis, sambil menatap Sukma dengan senyum dingin. "Berapa kali harus aku ingatkan, agar kamu menjauhi suamiku! Kamu itu hanya gadis miskin dan sangat kampungan. Tidak pantas menjadi maduku!" Mulut lamis Kokom menyeringai tajam. "Mbak Kokom ... sudah berulang kali juga aku jelasin sama Mbak, aku tuh nggak pernah menggoda suami Mbak. Bang Budi sendiri yang suka menggangguku." sahut Sukma datar tidak ingin menanggapi kekesalan Kokom. "Aalllaahh ... nggak usah munafik! Akui saja kalau kamu juga suka sama Bang Budi dan ingin menguasai kekayaanya, 'kan? Dasar pelakor murahan!" umpat Kokom semakin menuduh. Sukma mendengus kesal. "Aku tidak butuh kekayaan dari Bang Budi, Mbak. Walaupun aku miskin, tapi aku punya harga diri. Aku nggak sudi menikah dengan pria beristri seperti dia!" sahutnya dengan intonasi suara meninggi. Hinaan Kokom membuat hatinya meradang. Meski hidupnya kekurangan, tak sedikit pun dia punya niat menjadi istri kedua saudagar kaya itu, apalagi menjadi seorang pelakor seperti yang dituduhkan Kokom terhadapnya. "Kalau kamu memang tidak butuh, untuk apa kamu menerima hadiah dari Bang Budi barusan, hah?!" Satu ujung bibir Kokom terangkat dan matanya mendelik. "Aku sudah menolaknya, tapi Bang Budi memaksaku!" timpal Sukma, juga dengan suara ketus. "Tadi aku juga sudah bilang ke Bang Budi agar memberikan hadiah itu untuk Mbak Kokom saja." "Kalau kamu memang tidak ingin menerimanya, sini kembalikan saja hadiah itu padaku!" Sambil menatap Sukma dengan penuh kebencian, Kokom menengadahkan tangannya di hadapan Sukma. "Dengan senang hati akan aku kembalikan, Mbak!" Sukma membalikkan badannya dan masuk ke dalam kamar, hendak mengambil hadiah yang tadi Budi berikan untuknya. "Ada apa ini ribut-ribut?" Di saat bersamaan, Danu keluar dari kamarnya. Mendengar ada suara bising, dia tidak tahan ingin melihat keluar. "Heii ... siapa laki-laki ini?" Kedua mata Kokom langsung terbelalak, ketika melihat Danu. Dia tidak menyangka ada seorang pria juga tinggal di rumah gadis sebatangkara itu. Sukma tersentak dan seketika merasa gugup. Dia tidak menyangka Danu akan keluar dari kamarnya, sehingga Kokom melihatnya ada di rumah itu. "Bang Danu masuk saja, Bang. Wanita ini tidak penting." Sambil memberi isyarat, Sukma menarik tangan Danu agar kembali masuk ke kamarnya. "Eh ... tunggu dulu!" Kokom yang masih sangat penasaran dengan pria yang sedang bersama Sukma, bergegas menyusul masuk ke dalam rumah dan menghadang langkah Danu. Bola mata Kokom langsung berputar-putar, naik turun, memperhatikan Danu dari ujung rambut hingga ujung kakinya. "Sejak kapan kamu menyimpan laki-laki di rumahmu, Sukma?" tanyanya, sangat penasaran dengan sosok pria yang kini berdiri terpaku menundukkan wajahnya. "Iih, wajahnya cacat dan terlihat sangat menjijikkan!" Kokom bergidik dan sangat heran melihat pria buruk rupa di hadapannya. "E ... di-dia, saudara jauhku, Mbak. Bang Danu baru saja tiba di desa ini kemarin sore." Sukma berusaha mencari alasan dan mengalihkan semua kecurigaan Kokom. "Saudara? Setahuku kamu tidak punya saudara. Kamu 'kan anak yatim piatu?" Kokom tersenyum miring. "Jangan-jangan kalian berdua pasangan kumpul kebo!" Kokom terus menghardik dengan mulutnya yang tersenyum penuh ejekan. "Jangan sembarangan menuduh, Mbak!" Sukma berusaha menangkis tuduhan Kokom. "Kalau bukan pasangan kumpul kebo, lalu apa? Mana ada laki-laki dan perempuan tinggal serumah tanpa ikatan?" sinis Kokom lagi. "Tapi kami tidak seperti itu, Mbak. Bang Danu hanya tinggal sementara disini." Keringat dingin menetes dari kening Sukma. Dia tahu, walau dia berusaha mencari berbagai macam alasan, Kokom pasti akan terus saja menuduhnya. Danu hanya diam dan lidahnya bagai tercekat, tak mampu berucap sepatah kata pun. Dia tidak tahu bagaimana harus menanggapi semua yang terjadi. Mendengar tuduhan Kokom, dia tahu masalah baru pasti akan timbul di antara mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN