Eps. 13. Dipaksa Menikah

1159 Kata
Hari masih pagi, tetapi suasana di balai desa tampak sangat ramai. Orang-orang yang mendengar tentang Sukma dan Danu, ikut berdatangan ke sana. Warga sangat penasaran, ingin mengetahui hasil keputusan kepala desa terhadap dua orang yang disangka merupakan pasangan zina di desa mereka tersebut. "Usir saja mereka dari desa ini, Pak Kepala Desa! Sudah jelas-jelas perbuatan mereka itu hanya mengotori desa kita saja!" pekik seorang warga yang ada di balai desa saat itu. "Iya, kita usir saja! Orang seperti mereka, hanya akan merusak generasi penerus di desa kita!" Warga lain juga ikut menimpali. Ujaran-ujaran semacam itu, terus saja diteriakkan para warga yang sudah terhasut oleh fitnah yang disampaikan oleh Kokom sebelumnya. "Tenang saudara-saudara! Jangan mudah terpancing emosi. Sebaiknya, kita beri kesempatan kepada Sukma untuk menjelaskan dulu, mengapa mereka sampai nekad berbuat seperti ini." Kepala desa berucap lantang, berusaha menenangkan para warganya yang sudah tersulut amarah. Sebagai orang yang paling dipercaya di desa itu, tentunya dia harus berusaha bersikap bijaksana dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Sukma dan Danu saat itu duduk bersebelahan di hadapan kepala desa dan keduanya sama-sama tetunduk lesu. Meskipun mereka sudah sempat menyampaikan pembelaannya, tetapi warga tetap tidak mau mendengar dan terus saja menghujani keduanya dengan berbagai cemoohan. "Saya mohon jangan usir kami, Pak." Sukma memohon dengan nada memelas seraya mencakupkan kedua tangannya di d**a. Air mata ketakutan, menetes begitu saja membasahi pipinya. Umpatan dan cemoohan dari warga, cukup membuatnya merasa cemas, khawatir warga benar-benar mengusirnya. "Kami tidak berbuat seperti yang warga tuduhkan. Bang Danu memang adalah saudara jauh saya, yang sengaja saya ajak tinggal bersama untuk sementara waktu sampai luka-lukanya sembuh." Sukma memberi penjelasan bohong. "Seperti halnya saya, Bang Danu juga hidup sebatang kara." Kendati dia masih tak ingin mengungkap tentang siapa Danu sebenarnya, Sukma tetap mencoba mencari pembenaran. Sebelumnya, dia juga sudah mengarang cerita kepada warga dan kepala desa, bahwa Danu baru saja sedikit pulih, akibat mengalami kecelakaan di tempatnya bekerja. Mendengar apa yang diucapkan oleh Sukma, Danu yang duduk di sebelahnya, langsung menyenggol siku Sukma seraya berbisik, "Sebaiknya kamu jujur saja, Sukma. Tidak usah menyembunyikan kebenaran ini lagi. Biarlah warga tahu siapa aku." "Tidak, Bang. Kalau mereka tahu kamu itu hanya orang asing, mereka akan mengusir kamu dari desa ini. Aku tidak tega membiarkan itu terjadi, sementara kamu juga belum sepenuhnya sembuh," sahut Sukma, juga ikut berbisik. Raut kekhawatiran selalu tampak di wajahnya. "Mereka berdua bohong, Pak. Apapun alasannya, semua itu tetap tidak sepantasnya mereka lakukan. Bukan saudara kandung, tapi tinggal satu atap ... bukankah itu salah di mata agama?" Tidak terima akan alasan yang disampaikan Sukma, salah seorang warga dengan cepat menyela. "Iya, itu benar, Pak!" Warga lainnya juga ikut bersorak setuju. "Sebaiknya usir saja mereka hari ini juga, Pak!" Seruan-seruan warga juga terdengar semakin riuh. "Kalian semua tenanglah! Sebagai kepala desa disini, saya lah yang berhak memutuskan!" Kepala desa kembali berteriak tegas, berusaha meredam kemarahan warganya. Sejenak suasana menjadi hening. Semua warga diam dan menunggu keputusan yang akan disampaikan oleh kepala desa. "Sukma!" "Danu!" Kepala desa menoleh ke arah Sukma dan Danu, serta menatap mereka bergantian. "Apapun alasan yang kalian sampaikan, kalian berdua tetap melakukan sebuah kesalahan karena tinggal berdua dalam satu rumah tanpa memiliki ikatan. Ini yang membuat warga resah. Sebagai seorang gadis, sangat tidak pantas kamu membawa seorang laki-laki yang bukan muhrim, tinggal di rumahmu." Kepala desa berujar, menjelaskan apa yang menjadi pemicu keresahan warga kepada Sukma serta Danu. "Seharusnya, jika kamu ingin membawa seseorang tinggal bersamamu, kamu melaporkannya kepada saya, agar tidak terjadi kesalahpahaman seperti ini," lanjut kepala desa menyambung nasehatnya. "Tapi bagaimana pun juga ... kamu itu masih adalah warga desa ini. Setiap warga yang tinggal di lingkungan desa kita, wajib mendapat sangsi apabila melakukan kesalahan. Apa kamu paham semua itu, Sukma?" Kepala desa menatap ke arah Sukma dan juga Danu dengan penuh penekanan. "Iya, saya paham, Pak. Apapun hukumannya, akan saya terima. Tapi mohon jangan usir kami dari desa ini. Saya lahir dan besar di desa ini, saya tidak tahu akan kemana, kalau harus pergi dari sini." Sukma mengutarakan jawabannya dengan sangat pasrah. Ini adalah resiko yang harus dia terima, karena sudah bersedia menyembunyikan keberadaan Danu di rumahnya kepada semua orang. "Kamu juga adalah warga desa ini dan karena itu aku tidak mungkin mengusir kalian berdua dari sini." Kepala desa berucap datar. Atas dasar keadilan, dia pun tidak setuju akan keinginan warga mengusir Sukma dan Danu dari desa mereka. "Saudara-saudara sekalian, dengarlah!" Kepala desa lalu kembali berseru kepada semua warga yang ada di balai desa. "Saya sudah putuskan untuk tidak mengusir Sukma dan Danu dari desa ini!" "Huuu!!" Semua warga seketika bersorak kecewa menyambut keputusan kepala desa. "Ini tidak adil, Pak!" Seruan-seruan kekecewaan seperti itu pun kembali terdengar riuh. "Tenang dulu, Saudara-saudara!" Kepala desa juga kembali menyela semua kekecewaan warganya. "Kesalahan tetap adalah kesalahan dan itu pasti ada sangsinya. Jadi, agar tidak terjadi aib di desa kita ini, saya putuskan untuk menikahkan Sukma dan Danu hari ini juga, di hadapan semua warga desa disini!" tegas kepala desa, mengungkapkan keputusannya lagi. "Apa? Menikah?" Sukma dan Danu tersentak bersamaan. Kedua mata mereka sama-sama membulat dan saling menatap dengan rasa tidak percaya. Jantung keduanya untuk sesaat seakan berhenti berdetak. Keputusan kepala desa sungguh di luar perkiraan mereka. "Tidak, Pak. Tolong jangan putuskan seperti itu! Kami tidak mungkin menikah. Saya belum siap dan kami juga tidak saling mencintai." Butiran bening kembali tak tertahankan membasahi pipi Sukma. Menikah dengan Danu, pria yang tidak jelas asal usulnya, tentu bukanlah hal yang dia inginkan. Yang dirasakan Danu juga tidak berbeda dengan Sukma. Menikah di saat dia menderita amnesia, pastilah akan sangat sulit baginya. Bagaimana bila nanti ingatannya kembali dan dia mengetahui bahwa di masa lalu dia sudah menikah? Apa mungkin dia menjadi suami seorang kembang desa, dengan kondisinya yang buruk rupa? Berbagai perasaan itu seakan berkecamuk dalam benaknya. "Ini sudah keputusan terakhir sekaligus hukuman terbaik, Sukma. Dengan menikah, kalian tidak akan menyebar aib lagi di desa ini. Warga juga tidak akan menuntut untuk mengusir kalian lagi. Kalian berdua berhak tinggal disini, setelah kalian menjadi pasangan yang sah." Kepala desa sangat yakin akan kebijakannya. "Ya, kami setuju! Nikahkan mereka sekarang juga, di hadapan semua warga. Setelah itu, baru semua keresahan warga akan hilang!" Seorang warga menyeletuk menyetujui keputusan kepala desa. "Ya ... itu benar!" Riuh seruan warga kembali terdengar bersahutan. Mereka semua setuju dan sepakat akan menikahkan Sukma dan Danu hari itu juga. Sukma dan Danu tertunduk pasrah tanpa bisa memberi penolakan. Tak punya pilihan lain, siap ataupun tidak siap, keputusan kepala desa adalah sebuah hukuman yang harus mereka jalani. "Rasakan pembalasan dariku, Gadis Sombong! Ini akibat kamu berani dekat-dekat dengan suamiku!" Di antara kerumunan warga di balai desa pagi itu, Kokom terus tersenyum puas, penuh kemenangan. "Walaupun kamu tidak diusir dari kampung ini, setidaknya kamu nggak akan bisa menggoda Bang Budi lagi," gumamnya senang. Hmm ... kasihan sekali seorang bunga desa dan idola di desa ini, akhirnya harus menikah dengan pria buruk rupa." Dalam hati Kokom tertawa dengki. Setelah nanti Sukma resmi menikah dengan Danu, sudah pasti gadis itu tidak akan mungkin menjadi madunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN