9. Sesuatu pahit di masalalu

1094 Kata
Satu minggu sudah berlalu, namun pernikahan Eve dengan Devan masih terasa hambar, tanpa kehangatan. Setiap hari yang dilalui hanya menambah rasa asing di antara mereka. Meski sudah tujuh hari menjadi istrinya, Eve belum bisa memahami sepenuhnya sifat Devan. Dia masih tetap sama—dingin, arogan, dan kadang menyebalkan. Selalu meremehkannya dan memperlakukannya seolah-olah dia hanyalah hiasan yang bisa diabaikan. Di salah satu sudut rumah mewah itu, Eve duduk dengan lesu di dapur, tempat ia sering menghabiskan waktu bersama Bibi Melani, salah satu pelayan yang sudah lama bekerja di rumah Devan. Hubungannya dengan Bibi Melani adalah salah satu dari sedikit hal yang memberinya kenyamanan di rumah yang terasa asing ini. "Terkadang aku bingung, Bi, apa yang harus aku lakukan?" Eve memulai percakapan dengan nada frustrasi. "Aku dinikahi dengan mahar yang luar biasa, tapi Devan sendiri tidak menginginkan pernikahan ini." Bibi Melani, yang sedang merapikan meja, berhenti sejenak dan menatap Eve dengan tatapan prihatin. Dia tahu betul bahwa pernikahan Eve dengan Devan lebih seperti perjanjian bisnis daripada hubungan penuh cinta. "Bibi tahu perasaanmu, Nyonya. Tapi, teruslah berusaha mendapatkan hati Tuan. Kadang, pria seperti Devan memang butuh waktu untuk menunjukkan perasaannya." Eve menghela napas panjang, merasa beban itu semakin berat setiap harinya. "Kadang aku merasa lelah, Bi," lanjutnya dengan suara lemah. "Aku tidak mencintai Devan, tapi aku selalu percaya cinta tumbuh karena perkenalan. Tapi, kalau terus begini, bagaimana aku bisa mengenalnya lebih baik?" Bibi Melani tersenyum lembut, berusaha memberikan sedikit dorongan. "Cinta memang butuh waktu, Nyonya. Tidak ada yang instan. Tapi, kalau Nyonya terus bersabar, mungkin Tuan Devan akan mulai membuka diri. Mungkin Nyonya bisa memulai dari hal kecil, memperlihatkan perhatian atau mendengarkan saat dia berbicara. Itu bisa jadi awal." "Baiklah, Bi. Mungkin aku akan mencoba lebih sabar. Tapi kalau ini tidak berhasil, aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan." "Nyonya, aku ingin menceritakan satu hal pada Nyonya," Bibi Melani berkata dengan suara pelan namun serius. Eve menoleh, tertarik dengan nada bicara Bibi yang berbeda kali ini. "Sebenarnya dulu, saat remaja, Tuan Devan tidak dingin seperti sekarang, bahkan tidak tampak arogan." Eve mengerutkan kening, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Maksud Bibi, Devan dulu berbeda?" Bibi Melani mengangguk, duduk di sebelah Eve. "Ya, sangat berbeda. Saat Tuan Devan masih muda, dia adalah pemuda yang ceria, penuh perhatian, dan punya banyak teman. Semua orang menyukainya. Dia sering membantu orang-orang di sekitar, bahkan tidak segan-segan terlibat dalam kegiatan sosial. Dia jauh dari kesan dingin atau angkuh." Eve masih terkejut dengan informasi itu. Dia sulit membayangkan pria seperti Devan pernah memiliki sisi lembut dan penuh perhatian. "Lalu, apa yang terjadi? Kenapa dia berubah?" Bibi Melani menarik napas dalam, seolah mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan cerita yang tampaknya berat. "Ada kejadian besar yang mengubah hidup Tuan Devan. Orang yang sangat dia percayai, seseorang yang sangat dekat dengannya, mengkhianatinya. Pengkhianatan itu membuatnya jatuh dan hancur. Sejak saat itu, dia menutup diri dari orang lain, bahkan dari perasaannya sendiri. Dia mulai membangun dinding di sekelilingnya dan menjadi pria yang Nyonya lihat sekarang—dingin, arogan, dan sulit didekati." Eve terdiam, memproses cerita itu. Ada rasa iba yang tiba-tiba muncul dalam hatinya untuk Devan. Meskipun dia merasa frustrasi dengan sikap dingin suaminya, sekarang dia mengerti bahwa ada luka di balik semua itu. "Siapa yang mengkhianatinya?" tanyanya pelan. Bibi Melani menggeleng pelan, tatapannya kosong, seolah terjebak dalam kenangan masa lalu. "Bibi tidak bisa memberitahumu detailnya, Nyonya. Itu adalah bagian dari masa lalu Tuan Devan yang sangat pribadi. Tapi yang bisa Bibi katakan, dia pernah mencintai seseorang dengan sangat dalam, dan rasa sakit dari pengkhianatan itu masih membekas hingga sekarang." "Lalu, bagaimana dengan Ana?" tanya Eve penasaran, mengapa Devan berani memulai hubungan lagi dengan lawan jenis, jika memang Devan pernah patah hati. Bibi Melani menghela napas, tampak berat untuk menjelaskan. "Ana adalah kekasih Tuan Devan yang baru. Hubungan mereka adalah hasil dari banyak hal yang tidak Nyonya ketahui. Ana datang ke dalam hidup Tuan Devan setelah luka dari masa lalunya mulai sedikit pulih. Mungkin, dia melihat Ana sebagai cara untuk mengisi kekosongan yang dirasakannya, atau mungkin Ana memberikan sesuatu yang dia cari setelah lama merasa hampa." Eve mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami kompleksitas situasi ini. "Tapi, jika Devan sudah memiliki Ana, mengapa dia masih bersikap dingin dan menjauhkan dirinya dariku?" Bibi Melani menggeleng pelan. "Itu adalah salah satu dari banyak hal yang sulit dijelaskan. Tuan Devan mungkin masih merasakan kesakitan dari masa lalunya, dan hubungan dengan Ana mungkin lebih sebagai pelarian daripada penyembuhan. Dia belum sepenuhnya terbuka dengan siapa pun, termasuk Ana." Eve merasa hatinya semakin berat. "Jadi, apakah mungkin dia juga belum sepenuhnya terbuka untukku?" Bibi Melani menatap Eve dengan lembut. "Kemungkinan besar. Tuan Devan mungkin masih membangun dinding di sekelilingnya, dan itu tidak mudah dipecahkan. Dia mungkin tidak siap untuk membuka diri sepenuhnya kepada siapapun, termasuk kepada Nyonya." Eve merasakan campuran emosi—sedih, frustrasi, dan empati. Mengetahui bahwa ada lebih banyak lapisan di balik sikap Devan memberi sedikit pencerahan, tetapi juga menambah kebingungannya. "Aku hanya berharap, jika ada kesempatan, aku bisa membantu dia untuk membuka hati dan sembuh dari masa lalunya," ucapnya penuh harapan. Bibi Melani tersenyum lembut. "Itulah harapan yang baik, Nyonya. Kadang, dengan kesabaran dan perhatian yang tulus, seseorang bisa mulai merasakan kehangatan dan mungkin, akhirnya, mulai membuka diri." "Ya, Bibi ada benarnya. Terima kasih karena telah memberikan informasi ini padaku. Aku jadi sedikit lega," ucap Eve dengan rasa syukur yang mendalam. Bibi Melani tersenyum, merasa puas bisa membantu Eve. "Sama-sama, Nyonya. Bibi harap informasi ini bisa membantu Nyonya memahami Tuan Devan lebih baik dan memberikan kekuatan untuk menghadapi situasi ini dengan lebih bijaksana." Eve mengangguk, merasa sedikit lebih tenang dengan pemahaman baru tentang Devan. "Aku akan mencoba lebih sabar dan berusaha sebaik mungkin," katanya penuh tekad. "Terima kasih, Bibi." Bibi Melani membalas senyuman Eve dengan hangat. "Nyonya adalah wanita yang kuat. Bibi yakin, dengan tekad dan kesabaran, Nyonya bisa melewati semua ini." Dengan hati yang sedikit lebih ringan, Eve melanjutkan harinya dengan harapan baru, meski masih banyak tantangan di depan. "Nyonya Eve juga tidak perlu khawatir tentang Ana, karena Nyonya adalah istrinya yang dipilih oleh kedua orang tua Tuan Devan, sedangkan Ana bahkan tak mendapat restu dari mereka." Eve tersenyum, paling tidak pernikahan ini masih bisa ia pertahankan. Terkadang memang seseorang bisa berubah begitu saja, karena satu hal yang mungkin pernah menjadi angan-angan. Mungkin saja Devan pernah berharap lebih pada wanita yang entah siapa, dan berakhir kecewa. Sedikit empati, mendengar cerita Bibi Melani, Eve jadi punya tugas untuk membantu suaminya itu memulai kehidupan yang benar-benar normal. Mungkin juga, sebab itulah kedua orang tua Devan menjodohkan anaknya dengan dirinya, karena merasa dengan Eve Devan yang dulu dapat kembali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN