Malam itu, Devan dan Ana duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota, suasana eksklusif dan romantis mengelilingi mereka. Ana menatap Devan dengan penuh harap, meski rasa kecewa terpancar dari wajahnya.
"Sayang, apa kamu serius tidak ingin cerai saja?" Ana mengulangi pertanyaannya, suaranya lembut tapi terdengar jelas ketidakpuasan.
Devan terkekeh pelan, seolah pertanyaan itu menggelitiknya. "Itu tidak mungkin, Ana. Aku bahkan baru satu minggu menikah dengannya," jawabnya santai, sambil memainkan gelas anggur di tangannya. "Mungkin setahun lagi."
Ana mengerutkan kening, cemberut dengan jelas. "Setahun lagi itu lama, sayang. Kamu tahu aku tidak suka menunggu."
Devan tersenyum tipis, menatap Ana dengan tatapan yang sulit ditebak. "Aku tahu, tapi kamu juga tahu bahwa pernikahanku ini juga harapan besar orang tuaku, Kamu harus bersabar, Ana."
Ana mendesah berat, tidak puas dengan jawaban itu, tetapi juga tahu bahwa Devan adalah pria yang tidak mudah diubah keputusannya. "Aku hanya tidak suka membagi kamu dengan wanita lain, bahkan meski dia hanya istrimu di atas kertas."
Devan menatap Ana dengan penuh perhatian, namun tetap dingin. "Percayalah, dia tidak berarti apa-apa. Kamu tahu posisi kamu dalam hidupku." Meski Devan juga tidak yakin bahwa apakah sebuah pernikahan adalah akhir yang bahagia?
Ana tersenyum tipis, meski hatinya masih dipenuhi kecemburuan. "Baiklah, aku akan mencoba bersabar. Tapi jangan biarkan dia terlalu lama ada di antara kita."
"Itu pasti. Aku juga merasa tak nyaman berdekatan dengannya, tapi ada baiknya malam ini kita tak perlu membahas perempuan kampung itu."
"Tidak, aku harus membahasnya. Aku perlu tahu tentang Eve."
Devan menghela napas pasrah. "Baiklah, jadi apa yang ingin kamu tanyakan tentang dia?"
Ana nampak berpikir. "Apa kalian melakukan malam pertama?" tanya Ana tanpa basa-basi
Devan sedikit terkejut dengan pertanyaan Ana, tapi dia tetap berusaha menjawab dengan santai. "Ya, kami melakukannya. Mana mungkin aku membiarkan dia tetap perawan. Aku sudah membelinya dengan mahal."
Ana tercengang, tatapannya penuh keterkejutan. "Apa? Eve masih perawan?" tanyanya dengan nada tak percaya.
Devan mengangguk pelan, sambil menyesap minumannya. "Iya, dia masih perawan."
Ana terdiam, mencerna informasi itu. Ada campuran emosi di wajahnya—rasa cemburu, terkejut, dan mungkin sedikit rasa bersalah. "Kenapa kamu melakukannya, Devan? Bukankah kamu bilang dia hanya formalitas?"
Devan meletakkan gelasnya dan menatap Ana. "Itu tidak berarti apapun. Seperti yang sudah kukatakan, pernikahan ini tidak berdasarkan cinta. Hanya karena aku tidak ingin rugi."
Ana merasa sedikit lega, tapi juga merasa kalah. "Untuk hal ini aku kalah Devan, Kamu melakukannya denganku, tapi aku tidak seperti Eve lagi." ucap Ana, suaranya terdengar pelan dan penuh kekecewaan.
Devan menggeleng pelan, lalu mendekatkan wajahnya ke Ana, mencoba menenangkan.
"Ssttt, itu tidak berarti apa-apa untukku Ana. Itu tidak penting, yang terpenting bagiku adalah tulusnya perasaan mu."
Ana menatap Devan dengan tatapan ragu, meski hatinya perlahan merasa tenang. "Benarkah?" tanyanya, seolah mencari kepastian.
Devan mengangguk. "Aku di sini bersamamu karena aku menginginkannya, bukan karena hal-hal sepele seperti itu. Jangan biarkan apa yang terjadi dengan Eve merusak apa yang kita miliki."
Ana tersenyum tipis, meski rasa tidak aman itu masih bersembunyi di dalam dirinya. "Baiklah, aku akan percaya padamu. Tapi jangan buat aku merasa seperti pilihan kedua."
Devan menatap Ana dalam-dalam dan mengangguk sekali lagi, meyakinkannya bahwa posisinya di hidupnya tetap aman.
"Oh ya, sayang, aku sudah sangat merindukanmu," bisik Ana sambil bergelayut manja di lengan Devan, matanya memancarkan kerinduan.
Devan hanya tersenyum tipis, menikmati perhatian Ana meski pikirannya sedikit melayang. Dia menatap Ana, membiarkan wanita itu bermanja-manja di lengannya, tetapi dalam hati, Devan merasakan ada sesuatu yang tidak sepenuhnya benar
"Sudah lama kita tidak punya waktu seperti ini," lanjut Ana, suaranya terdengar penuh harap. "Kamu selalu sibuk, dan aku merasa kita semakin jauh."
Devan menatap Ana sejenak, lalu dengan lembut mengusap rambutnya. "Aku tahu, Ana. Aku minta maaf, urusan bisnis memang menyita waktuku. Tapi aku di sini sekarang, bukan?" jawabnya dengan nada lembut namun tetap penuh kendali.
Ana tersenyum, puas dengan jawabannya. "Ya, dan aku ingin memanfaatkan setiap detik bersamamu."
Devan dan Ana bersulang, gelas anggur mereka saling berdenting di bawah cahaya lembut restoran mewah. Mereka menghabiskan anggur termahal yang dipesan Devan, membiarkan percakapan ringan dan canda tawa mengalir. Satu gelas, dua gelas, hingga akhirnya keduanya mulai merasakan efek anggur yang kuat, perlahan mengaburkan batas antara kesadaran dan mabuk.
Ana tertawa kecil, tubuhnya semakin dekat ke Devan, sementara Devan hanya tersenyum samar, tatapannya sedikit buram. "Aku tidak pernah merasa sebebas ini," gumam Ana, kepalanya bersandar di bahu Devan. "Kamu selalu tahu cara membuatku merasa spesial."
Devan, meski mabuk, masih menjaga sikap dinginnya. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Ana dengan pandangan kabur. "Kamu memang spesial, Ana," ucapnya dengan nada malas namun terdengar jujur di telinga Ana.
Mereka berdua tenggelam dalam keheningan, hanya suara gelas dan desahan angin malam yang menemani. Namun, di balik keakraban itu, perasaan yang rumit tetap membayangi, seolah anggur yang mereka minum hanya menutupi kenyataan pahit di antara mereka.
Devan pulang dengan langkah yang tidak stabil, wajahnya terlihat lelah dan setengah mabuk. Aroma anggur masih terasa kental saat dia membuka pintu dan memasuki rumah. Eve, yang sejak tadi duduk di sofa ruang tamu, menunggu dengan cemas, segera berdiri saat melihat suaminya dalam kondisi seperti itu.
"Devan..." suaranya terdengar pelan dan penuh kekhawatiran.
Devan menatapnya sekilas, matanya buram dan sikapnya acuh tak acuh. Dia berjalan tanpa berkata sepatah kata pun, langsung menuju kamarnya. Eve mengikuti langkahnya dengan tatapan sedih, merasa semakin jauh dari suaminya yang tak pernah benar-benar memberinya perhatian.
"Kenapa pulang dalam keadaan seperti ini?" tanya Eve lembut, mencoba menahan emosinya.
Devan menghentikan langkahnya, tapi tidak berbalik. "Bukan urusanmu," jawabnya dengan suara dingin, nyaris tanpa perasaan.
Meski Devan nampak tak peduli, Eve tetap mengikuti suaminya masuk kedalam kamar. Devan langsung menjatuhkan dirinya di ranjang, Dengan sabar, Eve mendekat, mulai membantu melepaskan satu persatu pakaian Devan menggantikannya dengan pakaian yang lebih nyaman.
"Maaf, aku mungkin lancang." Bisik Eve, suaranya penuh kelembutan dan keraguan.
Devan hanya bergumam setengah sadar, matanya setengah terpejam. Dia tidak benar-benar mendengar atau merespons apa yang Eve katakan, masih terjebak dalam Eve mabuknya.
Saat Eve mulai melepas pakaian itu, ia secara tidak sengaja melihat sebuah tato di pundak suaminya. Tato itu berbentuk huruf berinisial "R," yang tertulis dengan desain yang cukup mencolok. Eve terkejut dan penasaran melihat tato itu.
Dengan hati-hati, Eve mengamati tato tersebut, dan pertanyaan mulai muncul di pikirannya. Apakah inisial "R" ini berhubungan dengan seseorang yang pernah sangat penting dalam hidup Devan? Mungkin seseorang yang pernah Bibi Melani ceritakan, seseorang yang telah memberikan dampak besar, sehingga memengaruhi sikapnya yang arogan dan dingin sekarang.
Saat Eve tengah memperhatikan tato di pundak Devan, tiba-tiba Devan menariknya ke dalam dekapan. Eve terkejut, hampir menjerit, tetapi Devan terus mendekapnya semakin erat, seolah ingin mencari kenyamanan di pelukannya.
"Maafkan aku," gumam Devan dengan suara serak dan tidak jelas, masih dalam keadaan setengah sadar.
Eve merasa bingung dan cemas. Dia tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Dalam dekapan Devan yang erat, ada campuran emosi yang sulit dipahami—mungkin rasa penyesalan, atau sekadar dorongan instingtif saat mabuk. Eve merasa hatinya berdebar, namun dia tetap tenang, mencoba memahami makna dari kata-kata Devan yang samar.
Eve perlahan membalas dekapan Devan, membiarkannya merasa nyaman dalam pelukannya, sambil tetap memikirkan makna dari kata-kata dan sikapnya. Dia berharap bisa mengerti lebih banyak tentang apa yang benar-benar terjadi dalam hidup Devan dan bagaimana tato itu berhubungan dengan perasaannya.