1. Malam menyakitkan
"Jangan mengira aku akan benar-benar menjadi suamimu."
Perkataan itu terdengar menusuk hati seorang wanita bernama Eve. Wanita berusia 25 tahun itu tampak terkejut. Dia perlahan mengangkat wajah, matanya mulai menatap sosok laki-laki yang beberapa jam lalu telah resmi menjadi suaminya.
"Maaf, apa maksudmu?" tanya Eve dengan suara bergetar. Berusaha menahan rasa takut dan bingung yang mulai menyelimuti pikirannya.
Tatapan Devan terlihat tajam, wajahnya tanpa ekspresi, seolah-olah dia hanya bicara soal bisnis biasa, bukan tentang hubungan yang baru saja mengikat mereka.
"Aku pikir kamu sudah paham kalau semua ini hanya sebuah paksaan."
Eve menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya.
Malam itu, suasana di dalam kamar hotel terasa begitu panas. Sejak masuk kamar, pasangan pengantin yang memang tak saling mengenal itu memang hanya diam tanpa saling menyapa.
"Ya, aku paham, tapi bukankah kita harus menjalani pernikahan ini dengan baik? Pernikahan itu suci, kita tidak bisa mempermainkannya." Eve coba memberanikan diri meski dia takut akan sosok Devan.
Devan tersenyum meremehkan.
"Orang-orang seperti kalian." Devan memulai dengan nada tegas.
Setiap kata yang keluar dari bibirnya seperti pisau tajam yang menghunjam ke dalam hati Eve.
"Aku sangat paham apa yang kalian cari dariku." Tatapannya tak bergeming, penuh keyakinan bahwa dia tahu segalanya.
"Kekuasaan, uang, dan keamanan. Itu yang selalu kalian kejar." Wajah Devan mendekat sedikit lebih dekat, dan meskipun tidak ada sentuhan kasar, kehadirannya begitu dominan, membuat Eve merasa seperti dia sedang dihakimi.
Eve memejamkan matanya lebih erat, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuknya. Rasa takut menguasai pikirannya, seolah tidak ada jalan keluar dari situasi ini. Jantungnya berdebar kencang, namun dia tidak berani melawan.
"Tapi, aku pikir kamu benar-benar menginginkan pernikahan ini. Ada banyak hal yang ibu katakan tentangmu."
"Mengatakan apa? Aku akan menghormati mu?," tegasnya, tawanya bergema di ruangan itu.
Eve ketakutan, benar-benar diluar dugaannya suaminya terlihat menakutkan.
“Aku tidak akan menjadi permainanmu, Eve. Aku bukan boneka yang bisa kau kendalikan.” Suaranya terdengar dingin, tetapi ada kemarahan tersembunyi di dalamnya—kemarahan yang tidak diarahkan sepenuhnya pada Eve, tetapi pada situasi yang memaksa mereka ke dalam pernikahan ini.
Devan melangkah mendekati Eve dengan aura yang menegangkan. Langkahnya mantap, dan setiap inci jarak yang terpangkas membuat Eve semakin merasa terpojok.
Kini Eve menempel pada ujung ranjang, dan tanpa dia sadari, tubuhnya mulai gemetar halus.
Malam ini bukan seperti yang dia bayangkan—tidak ada romansa, tidak ada rasa nyaman, apalagi cinta yang perlahan ditanam. Hanya ketakutan yang melingkupi dirinya.
"Apa yang ingin kamu lakukan?." Suaranya gemetar, menahan tangis juga rasa takut.
"Kamu masih bertanya? Kamu harus melakukannya! Kamu istriku!"
Eve terkejut, ia benar-benar merasa dijebak.
Wajahnya berada beberapa inci dari wajah Eve. Mata pria itu dingin dan tak terbaca, memancarkan kekuasaan yang begitu kuat hingga Eve merasa tubuhnya semakin menciut.
Dalam sekejap, semua mimpi yang dia miliki tentang malam pertama yang penuh kehangatan dan pengenalan diri runtuh seketika.
Devan, melakukannya dengan kasar. Seolah meluapkan semua emosinya pada tubuh Eve. Perempuan itu menangis dalam dekapan suaminya.
Eve mengalihkan pandangannya ke lantai, takut untuk bertemu mata Devan yang tajam. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Rasa takut membekukan setiap pikirannya. Dia hanya ingin waktu berhenti, atau setidaknya membuat jarak di antara mereka.
"Aku memang tidak ingin menjadi suamimu, tapi kamu sudah ku bayar," tegasnya.
Lagi, Devan menatapnya dengan intens. Ada sesuatu dalam tatapannya yang tak bisa ditafsirkan—campuran kemarahan, frustrasi, dan dinginnya kekuasaan yang selalu dia gunakan untuk menjaga jarak dari siapa pun yang berani mendekatinya.
"Kamu berpikir ini akan menjadi malam yang manis?," tanya Devan dengan nada rendah dan tajam.
Suaranya seperti bisikan yang menghantam telinga Eve dengan keras.
"Aku bukan tipe pria yang akan memberimu cinta dan kelembutan. Itu tidak akan terjadi di antara kita."
Eve menelan ludah dengan susah payah, hatinya terasa hancur. Bukan ini yang dia inginkan. Pernikahan ini bukanlah tentang keterpaksaan semata bagi dirinya—dia berharap, meskipun kecil, bahwa suatu hari Devan bisa mencintainya, bisa melihatnya sebagai lebih dari sekadar alat untuk mencapai tujuan keluarga.
"Tapi, aku tidak menginginkan ini seperti ini," bisik Eve, suaranya hampir tidak terdengar.
"Aku hanya ingin kita saling mengenal, memulai sesuatu yang lebih baik, Aku tidak meminta lebih." Eve mulai terisak.
Namun, Devan tidak mendengarkan. Dia tidak peduli dengan air mata yang mengalir di pipi Eve atau rasa sakit yang kini jelas tampak di wajahnya.
Perlakuannya semakin dingin dan tidak berperasaan. Tindakannya tidak menunjukkan kelembutan apa pun, seolah-olah malam ini bukan tentang hubungan suami istri, melainkan d******i satu pihak atas pihak lain.
Di dalam dirinya, Eve mulai merasa bahwa ini bukan pernikahan, melainkan tindakan kekerasan yang mengabaikan segala perasaan dan harga dirinya.
Hatinya memohon agar semua ini segera berakhir, tetapi dia tahu bahwa malam ini hanyalah awal dari perjalanan panjang yang penuh dengan penderitaan.
"Aku ingin menyudahinya," lirih Eve dalam kelelahan dan tangisan.
Devan menyeringai tajam. Tak memperdulikan Eve yang memohon, pria itu terus melakukannya dengan kasar.
Eve menerima semua ketakutan dan rasa sakit yang suaminya berikan. Isakan Eve akhirnya teredam oleh keputusasaannya sendiri. Di depan matanya, Devan tetap menjadi sosok yang tak terjangkau, pria yang bahkan tidak bisa ia kenali sebagai suaminya.
Dalam hati Eve, hanya ada satu keinginan—kabur dari neraka yang baru saja ia masuki ini, meskipun ia tidak tahu ke mana harus pergi atau bagaimana cara keluar dari jerat pernikahan ini.
Malam itu, apa yang Eve jaga hilang dengan cara yang menyakitkan, direnggut oleh orang yang tak berperasaan.
Devan, tanpa peduli sedikit pun pada keadaan Eve, dengan tenang memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai.
Dia merapikan kemeja dan dasinya, memperbaiki penampilannya dengan cermat seolah-olah tidak ada hal yang terjadi di antara mereka.
Eve, dengan mata yang masih berair, memandanginya dalam kebingungan dan ketidakpercayaan.
“Kamu mau ke mana?.” Suara Eve terdengar serak, hampir putus asa.
Tidak ada rasa cinta, tidak ada kasih sayang, bahkan penghormatan sebagai istri pun tampaknya tidak dia dapatkan dari Devan.
Malam yang seharusnya menjadi awal dari sesuatu yang baru, malah berubah menjadi neraka bagi dirinya.
Devan berhenti sejenak, menghadap ke arah Eve dengan tatapan yang penuh penghinaan. Mata dinginnya seakan menembus ke dalam jiwa Eve, seolah-olah dia hanya sosok yang tidak penting di dunia pria itu.
"Kamu bahkan tidak berhak tahu," jawabnya dengan nada rendah dan tegas, memperingatkan bahwa apa pun yang terjadi setelah ini, Eve tidak akan pernah bisa menyentuh sisi hidup Devan yang sebenarnya.
Masih dengan aura dingin, Devan kemudian berbalik dan berjalan keluar dari kamar, tanpa melihat ke belakang.
Pintu menutup dengan suara yang menggema di dalam ruangan, meninggalkan Eve sendirian dalam kegelapan yang seolah semakin pekat.
Tidak ada ucapan selamat malam, tidak ada janji untuk masa depan, hanya rasa ditinggalkan yang menyakitkan dan menghancurkan.
Eve merasa semakin tenggelam dalam kesedihan. Hanya selimut tebal yang melilit tubuhnya yang kini menjadi satu-satunya teman dalam malam yang panjang dan sunyi itu.
Dia duduk dalam kesendirian, rasa sakit dan kekecewaan menggulung dirinya. Perasaan tidak berharga menyelimutinya, seolah dia hanya boneka yang telah digunakan dan kemudian dibuang begitu saja.
"Mengapa Ibu mengatakan, dia akan menghormati dan melindungiku?," gumamnya dalam lirih