8. Sesuatu yang tersembunyi

1182 Kata
Saat suasana di ruangan perpustakaan yang baru saja dipenuhi oleh keintiman mendadak terganggu oleh dering ponsel Devan, Eve tersentak kembali ke kenyataan. Devan dengan cepat merogoh saku jasnya dan melihat nama yang tertera di layar. Wajahnya seketika berubah menjadi lebih lembut dan penuh perhatian, sesuatu yang belum pernah Eve lihat sebelumnya. "Ya sayang?" ucap Devan dengan nada manis, saat dia menjawab telepon. Eve hanya bisa mematung di tempatnya, perasaan miris dan sakit hati mengalir deras di dalam dirinya. Baru saja mereka berbagi momen yang begitu intim, tapi tanpa ragu atau rasa bersalah, Devan kini berbicara mesra dengan wanita lain—Ana, kekasihnya. "Besok bagaimana? Kalau sekarang aku hanya ingin istirahat dulu." Kata-kata mesra yang Devan ucapkan kepada Ana terdengar seperti duri yang menusuk hati Eve. Rasanya seolah-olah apa yang baru saja terjadi di antara mereka sama sekali tidak berarti bagi Devan, hanyalah sebuah nafsu sesaat tanpa makna. Eve merasa seperti seorang boneka yang hanya dipermainkan, tak lebih dari alat bagi Devan untuk melampiaskan hasratnya. "Aku suruh bodyguard menjagamu, supaya kamu lebih aman. Pakai saja kartu yang aku titipkan. Oke?" Devan terus berbicara dengan Ana, suaranya begitu berbeda—lembut, penuh kasih sayang, dan perhatian—sesuatu yang tidak pernah Eve rasakan dari pria yang kini menjadi suaminya. Setiap kata yang keluar dari mulut Devan seperti racun yang perlahan-lahan meracuni perasaan Eve, membuatnya merasa tak berharga. Setelah beberapa menit, Devan mengakhiri percakapannya dengan senyum di wajahnya, senyum yang tidak pernah ia tunjukkan kepada Eve. Dia menatap Eve sejenak, tetapi tidak ada rasa bersalah atau penyesalan di matanya. Hanya ada ekspresi datar dan acuh tak acuh. "Kenapa menatapku seperti itu?" Eve terkesiap dalam lamunan, lalu menggeleng pelan. Ia menunduk, berusaha mengendalikan emosinya, tapi rasa sakit itu terlalu kuat untuk diabaikan. Dia menyadari bahwa bagi Devan, apa yang terjadi di antara mereka tadi hanyalah sekadar luapan nafsu, bukan sebuah ikatan atau perasaan yang mendalam. Sementara dia berharap ada sesuatu yang lebih, Devan dengan mudahnya menunjukkan bahwa hatinya telah dimiliki oleh wanita lain. "Betapa bodohnya aku." umpat Eve dalam batin. "Pasti kamu berharap lebih kan, setelah apa yang terjadi barusan," kata Devan dengan nada penuh ejekan, menatap Eve dengan tatapan dingin dan meremehkan. Eve merasakan sesuatu yang panas di dalam dirinya. Rasa sakit yang selama ini ia tahan berubah menjadi kekuatan. Dengan mata yang menatap lurus ke arah Devan, dia menjawab, "Tidak, aku tidak berharap lebih. Kamu yang memulainya lebih dulu, jadi aku pikir kamu yang berharap lebih padaku." Kata-kata Eve membuat Devan tertegun sesaat, meski ia berusaha menutupinya dengan senyuman kecil yang terkesan sinis. "Berharap lebih padamu?" Devan tertawa kecil, tapi tawanya terdengar palsu. "Aku hanya mengambil apa yang aku mau, Eve. Jangan terlalu percaya diri." Eve menatapnya dengan tegas, kali ini tanpa sedikit pun rasa gentar. "Dan aku hanya mengikuti permainanmu, Devan. Kalau kamu ingin mengambil, jangan heran jika yang kamu ambil memiliki kehendaknya sendiri." Devan mendekat, menatap Eve lebih dalam, matanya yang dingin berusaha mencari tanda kelemahan di wajahnya, tapi yang dia temukan hanyalah keteguhan. Sejenak, keduanya saling menatap tanpa ada yang berbicara, dan untuk pertama kalinya, Devan merasa kehilangan kendali. Tapi tanpa sepatah kata pun lagi, Devan berbalik meninggalkan Eve dengan langkah berat. "Bodohnya aku, seharusnya tidak menerima dengan santainya rayuan laki-laki itu." Eve sedih, mengapa ia dengan mudah terpikat oleh Devan? Padahal semalam, apa yang pria itu lakukan membuatnya takut, tapi jika boleh jujur berada di dekat Devan terkadang ia merasa aman. "Tunggu, kamu mau ke mana?" tanya Eve lagi, suaranya bergetar antara penasaran dan putus asa. "Bukan urusanmu," jawab Devan dingin, tanpa menoleh. "Kamu bisa mengikuti aku kalau aku memerintahmu." Eve menggigit bibirnya, menahan perasaan campur aduk yang berkecamuk di dadanya. "Tapi aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan di sini," ucapnya pelan, nadanya lebih seperti permohonan daripada pertanyaan. Devan menghentikan langkahnya sejenak, kemudian menjawab dengan ketus, "Lakukan sesuai pekerjaanmu saat di desa." Eve terdiam, merenung sesaat. Apa yang bisa dia lakukan di tengah kehidupan yang begitu berbeda ini? Dengan suara pelan, dia menjawab, "Di desa, tengah hari begini aku sedang mencari kayu bakar." Devan mendengar jawabannya dan untuk pertama kalinya, dia berhenti sepenuhnya, tubuhnya kaku sejenak. Mungkin karena mendengar sesuatu yang begitu sederhana dan jauh dari dunianya yang penuh kekerasan dan kekuasaan. Dia berbalik sedikit, menatap Eve dari sudut matanya, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi. "Kayu bakar, ya?" gumam Devan pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Mungkin dalam hati dia sedikit terkejut bahwa wanita yang kini menjadi istrinya, pernah menjalani kehidupan yang begitu sederhana, begitu jauh dari kehidupan mafia dan kemewahan yang kini mengelilinginya. Namun, dalam sekejap, ekspresi dinginnya kembali. "Di sini, kamu tidak perlu mencari kayu bakar. Cukup lakukan apa yang diperintahkan, jangan harap lebih." "Baiklah, tapi apakah aku boleh makan siang sekarang?" tanya Eve dengan suara hati-hati, mencoba mengalihkan fokus dari percakapan yang membuatnya semakin merasa terasing. Devan berhenti lagi, tampak terganggu oleh pertanyaan sederhana itu. Dia menoleh dengan tatapan datar. "Kamu butuh izin untuk makan?" jawabnya sinis. "Kamu bisa makan kapan saja. Jangan mengganggu aku hanya untuk hal sepele seperti itu." Eve menunduk, merasa canggung. "Aku hanya tidak tahu aturannya di sini," katanya pelan. Devan mendengus, merasa kesal dengan ketidakpeduliannya. "Ini bukan desa, Eve. Kamu bukan pembantu. Makanlah jika lapar. Aku tidak peduli." "Dan satu lagi, aku tidak mungkin membiarkan manusia mati kelaparan dirumah ini." Eve menggigit bibirnya. "Maaf." Devan berdecak lalu melangkah pergi tanpa melihat reaksi Eve, meninggalkannya dalam kebingungan yang bercampur dengan rasa lega. Eve menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa hidup bersama Devan bukan hanya tentang beradaptasi dengan lingkungan baru, tetapi juga dengan pria yang hampir tidak bisa ia pahami. "Begitulah Tuan Devan, dingin dan susah ditebak. Tapi aku selalu tertarik dan semakin merasa penasaran," suara seorang wanita tiba-tiba mengganggu lamunan Eve. Eve tersentak dan menoleh, melihat seorang gadis muda berdiri tak jauh darinya. Gadis itu memakai seragam yang sama dengan Bibi Melani, salah satu pelayan di rumah tersebut. Eve menatap gadis itu dengan bingung. "Siapa kamu?" tanyanya perlahan, mencoba memahami situasi. Gadis itu tersenyum ramah. "Namaku Dita, aku bekerja di sini sebagai pelayan, sama seperti Bibi Melani," jawabnya dengan nada ceria. "Maaf kalau mengganggu, aku hanya tidak bisa menahan diri untuk tidak berbicara. Aku sering melihat bagaimana Tuan Devan memperlakukan orang lain, dan sepertinya dia tak pernah berubah." Dita tertawa kecil, sedikit tersipu. "Mungkin terdengar aneh, tapi justru karena dia begitu misterius. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku terus ingin tahu lebih banyak. Meskipun, aku hanya pelayan, tapi tidak ada yang tak mungkin kan?" ucapnya dengan nada bercanda, namun matanya menunjukkan keseriusan. Eve merasa jantungnya berdebar mendengar pengakuan Dita. Ia tahu Dita hanya bercanda, tapi ada kebenaran di balik kata-kata itu yang membuatnya merasa tidak nyaman. "Mungkin," jawab Eve pelan, menahan perasaan yang sulit dijelaskan. "Tapi Devan... dia bukan pria biasa." Dita mengangguk, masih tersenyum. "Aku tahu. Dia keras, dingin, dan susah didekati. Tapi kadang, orang seperti itu menyimpan sesuatu yang lebih dalam, yang tak semua orang bisa lihat." Eve terdiam, memikirkan kata-kata Dita. Benarkah ada sesuatu yang lebih dalam di balik sikap dingin Devan? Sesuatu yang tidak pernah ia perlihatkan, bahkan pada dirinya sendiri? Tapi, bahkan jika itu benar, apakah dia akan pernah mengizinkan siapa pun—termasuk dirinya—untuk melihatnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN