Zahra berbaring sambil menatap langit-langit kamarnya. Beberapa kali wanita itu mengatur masuk dan keluarnya napas. Dia tidak bisa berlama-lama tinggal di rumah. Setiap hari kedua orang tuanya bertanya soal Naka. Belum lagi adiknya yang diam-diam mengidolakan pria yang katanya memiliki aura dingin, tapi berkharisma itu. Ditambah para tetangga dekat dan juga teman kantor yang datang ke pernikahannya. Mereka penasaran pada sosok pria yang menggantikan Wildan di acara pernikahannya.
Membulatkan mulut, hembusan karbondioksida keluar perlahan. Wildan. Zahra belum melupakan sakit hatinya. Cinta? Sudah ia buang jauh-jauh. Zahra memblokir nomor ponsel pria itu.
Tiga hari setelah hari pernikahan, orang tua Wildan datang ke rumah. Mereka meminta maaf atas kelakuan putra mereka. Meskipun sakit hati, orang tua Zahra tetap memberikan maaf mereka. Sedangkan Zahra sendiri dengan tegas mengatakan belum bisa memberikan maaf. Tidak semudah itu.
Suara notifikasi pesan singkat terdengar. Zahra meraba ke samping, meraih benda yang baru saja bersuara tersebut. Membawa mendekat ponselnya, Zahra membuka pesan yang baru masuk.
[Ra, kamu kenal suamimu di mana? Masih ada stok available di circle dia? Mau dong Ra di kenalin] Zahra berdecak membaca pesan dari salah satu teman kantornya.
Oh … lama-lama Zahra bisa stres sendiri. Selain stres, dia juga seperti sedang menggali lubang kubur dan juga menambah depe untuk masuk neraka setiap harinya. Entah sudah berapa banyak dosa yang terkumpul karena kebohongan yang ia katakan pada semua orang. Yang kelak dosa dari kebohongannya itu akan membuatnya merasakan panasnya api neraka.
Zahra memutar posisi tidur hingga miring ke kanan. Hembusan napas panjang wanita itu lakukan entah untuk yang keberapa kalinya. Tidak ada pesan dari Naka setelah pesan terakhir sebelum pria itu benar-benar pergi. Zahra mendesah. Bukan pesan, lebih tepatnya talak lewat pesan. Sialan memang pria itu. Bisa-bisanya dia ditalak hanya dengan pesan singkat.
{Alesha Azzahra, mulai hari ini kita bercerai]
Zahra dengan cepat mengangkat tubuh kemudian menarik ke tepi ranjang. Seperti baru mendapat wangsit, Zahra turun dari ranjang. Zahra bergegas menuju meja tempatnya menyimpan make up, dan juga laptop yang ia gunakan ketika butuh melanjutkan pekerjaan di rumah. Maklum karena pekerjaannya memang tidak kenal waktu.
Zahra menarik punggung kursi, mengayun langkah kemudian duduk sebelum membuka laptop. Jalan keluar dari permasalahannya saat ini adalah mencari pekerjaan di kota lain. Ya … dia akan melarikan diri demi kebaikan. Supaya dia tidak harus berbohong setiap hari. Lama-lama dia jadi seperti seorang pemain sinetron. Pintar berakting. Sayang aktingnya itu tidak menghasilkan banyak uang, melainkan dosa.
Zahra kemudian mulai mencari informasi lowongan pekerjaan yang sekiranya masih sesuai dengan kemampuannya sebagai seorang marketing. Beberapa saat Zahra sibuk mencari kemudian mencatat beberapa lowongan yang menarik menurutnya.
****
Di bumi bagian lain, sang surya masih menjadi penguasa. Seorang pria duduk di kursi kebesarannya dengan ponsel menempel di telinga kanan.
“Atur saja, Om. Saya percayakan perusahaan itu di tangan Om. Saya percaya Om bisa membantu saya untuk terus mengembangkannya. Saya akan memantaunya dari sini.”
“Apa tidak bisa datang untuk sekedar memberikan kata sambutan, Naka? Saya yakin karyawan akan semakin bersemangat kalau CEO nya datang di acara ulang tahun perusahaan yang pertama.”
Naka tersenyum. “Saya minta maaf. Bukan saya tidak mau, tapi, saya tidak bisa. Saat ini saya sedang membuat perusahaan startup baru. Jadi saya benar-benar tidak bisa ke Jakarta dalam waktu dekat.”
“Wah, ada baru lagi?" Lalu Naka mendengar suara tawa. "Baiklah kalau begitu. Om akan sampaikan pada para karyawan. Semoga saja perusahaan baru kamu bisa sukses.”
“Terima kasih, Om.” Naka menurunkan ponsel. Meletakkan ponsel ke atas meja, pria itu mengangkat kepalanya. “Sampai dimana kita tadi?” tanya Naka yang kemudian terlihat serius mendengarkan seorang perempuan yang sedang berbicara, menjawab pertanyaannya dalam Bahasa Inggris.
Naka menganggukkan kepala setelah perempuan itu selesai menjelaskan. “Baiklah. Saya setuju. Kita akan lanjutkan diskusi kita besok,” kata Naka ketika melihat sekilas ponselnya berkedip. Dia memang sudah ada janji dengan seseorang.
“Baik. Kalau begitu saya permisi. Sampai ketemu besok … Naka. Boleh kan, kita bicara lebih kasual?”
Naka tersenyum kecil sambil mengangguk. “Tentu saja.” Naka beranjak dari tempat duduk. Pria itu kemudian mengulurkan tangan kanan yang langsung disambut oleh perempuan yang sudah berdiri di depannya—terpisah meja.
Perempuan berambut pirang itu kemudian meninggalkan Naka—berjalan ke arah daun pintu yang masih tertutup.
Naka segera meraih ponsel yang kembali mengedip, kemudian menggulir layarnya. Naka menekan nomor yang sebelumnya menghubungi, lalu menekan tombol panggil. Membawa ponsel ke telinga kanan, sementara tangan kirinya meraih kunci mobil. Naka keluar dari balik meja.
“Bar, aku keluar sebentar.”
“Sudah sampai?”
Naka mengangguk menjawab pertanyaan Bara. Pria itu melanjutkan langkah kaki keluar dari ruangan kerjanya.
“Halo. Aku keluar sekarang. Abang sudah di hotel?” Naka mendengarkan seseorang yang sedang terhubung dengannya. “Oke, aku ke sana sekarang.” Naka berjalan cepat menuju lift.
Dia sedang mengembangkan usahanya di negeri orang. Saat ini perusahaannya masih kecil. Dia hanya menyewa satu lantai gedung pencakar langit untuk mengoperasikan bisnisnya. Sementara perusahaannya di Jakarta dia percayakan pada paman Bara.
Hanya beberapa menit berada di dalam lift, Naka sudah keluar dari kotak besi tersebut kemudian setengah berlari menuju tempatnya memarkir mobil. Menekan remot kunci mobilnya, sebuah mobil sport warna merah mengedipkan lampu beberapa kali seolah menyambut kedatangan sang tuan.
Naka menarik handel pintu. Pria itu duduk di belakang kemudi kemudian segera melajukan mobil kesayangannya--bahkan sebelum memasang sabuk pengaman. Setelah mobil melaju, dengan satu tangan Naka menjaga benda bundar di depannya, sementara tangan yang lain menarik ujung besi seat belt lalu menancapkan ke tempatnya.
Naka menyalakan spotify kemudian meraih kacamata hitam di atas dashboard. Sudah cukup lama dia tidak bertemu dengan abang iparnya. Pria yang sangat ia hormati tidak hanya sebagai suami kakaknya, tapi, juga sebagai mentor dalam mengembangkan bisnisnya.
Tanpa sadar Naka tersenyum mengingat tidak lama lagi dia akan bertemu dengan Januari. Dia akan menceritakan rencana merambah bisnis di bidang startup yang jangkauannya lebih luas. Dia selalu tertantang untuk bisa lebih hebat dari papa dan juga abang iparnya itu.
Naka memutar sedikit tangan kirinya. Pria itu menekan pedal gas lebih dalam.
Sekitar 15 menit perjalanan, akhirnya mobil yang Naka kendarai memasuki pelataran hotel berbintang 5 di kota New York. Pria itu menghentikan mobil di depan lobi hotel. Seorang petugas valet langsung membuka pintu untuknya. Naka memberikan kunci mobil pada petugas valet sebelum bergegas masuk ke dalam hotel.
****
Januari langsung melangkah menuju pintu ketika seseorang mengetuk pintu kamar hotelnya. Dia sudah tahu siapa yang datang. Menarik handel pintu, pria dengan wajah datar itu tersenyum. Sepasang kakinya tertarik ke belakang untuk memberikan ruang bagi Naka masuk ke dalam kamar hotel.
Naka tersenyum. Masuk ke dalam kamar sang kakak ipar, pria itu memutar tubuh—menunggu Januari menutup pintu. “Apa kabar, Bang?” tanya Naka sebelum memeluk sang kakak ipar.
“Akan lebih baik kalau kamu mau pulang dan berbaikan dengan Papa. Mau sampai kapan, Naka? Ayolah … sudah lebih dari tiga tahun. Kamu bukan anak kecil lagi. Kamu tahu papa sangat menyayangimu.” Januari melepas pelukan mereka kemudian memukul pelan d**a adik iparnya. Pria itu mendesah.
Naka menarik panjang napasnya. “Aku masih butuh waktu sendiri, Bang.”
Januari geleng-geleng kepala. “Papamu sudah tua. Kamu tidak kasihan padanya? Setiap hari dia memikirkanmu. Khawatir terjadi sesuatu padamu."
Naka berdecak. “Tidak perlu berbohong. Abang pikir aku tidak tahu kalau papa membayar mata-mata di sini?”
Januari mengulum sepasang bibirnya. Pria itu merangkul sang adik ipar lalu mengajaknya berjalan ke arah sofa. “Jadi kamu tahu?”
“Tentu saja. Aku mengenal papa dengan baik. Dia yang tidak mengenalku dengan baik.” Naka melepas rangkulan Januari, kemudian duduk di sofa. “Aku akan tunjukkan padanya kalau aku bisa berhasil tanpa bantuannya. Aku tidak butuh mewarisi perusahaannya, Aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri. Aku ini dari keluarga Suhendar.”
“Suka atau tidak suka, kamu juga seorang Hutama, Naka. Otak cerdasmu dalam berbisnis itu kamu dapat dari papamu. Malaka Hutama.”