Bab 1. Kepergok H-1 Pernikahan
Suasana rumah orang tua Zahra sudah ramai oleh sanak keluarga jauh yang datang untuk menjadi saksi pernikahan Zahra dan kekasihnya, Wildan esok hari.
Semua sudah siap. Ijab kabul akan dilakukan besok jam 10 pagi, dan siang harinya akan langsung digelar resepsi pernikahan. Kebahagiaan sudah ada di depan mata Zahra. Dia akan segera menikah dengan kekasih hatinya.
Zahra, wanita berusia 23 tahun itu menyisir rambut sambil tersenyum menatap pantulan wajahnya di dalam kaca. Dadanya berdesir merasakan bahagia membuncah menunggu esok pagi yang hanya tinggal belasan jam.
‘TOK! TOK! TOK!’
“Zahra, Sayang … ada yang nyariin di depan, tuh.”
Zahra mengernyit mendengar suara ibunya. Meletakkan sisir, Zahra meraih ikat rambut sebelum beranjak. Zahra menghela langkah sambil mengikat rambut setengah punggungnya. Siapa yang mencari? batin Zahra bertanya.
“Zah—”
“Iya, Bu.” Zahra menyahut cepat seraya menarik handel pintu. “Siapa yang nyariin Zahra, Bu?” tanya Zahra dengan kening yang sudah berlipat.
“Ibu juga tidak kenal. Laki-laki. Mungkin usia 25 an tahun. Dandanannya sih kayak bos, gitu. Pakai jas.”
“Masa sih, Bu?” tanya Zahra sambil berjalan bersama sang ibu meninggalkan kamarnya.
“Apa mungkin atasanmu, Ra? Mungkin besok dia tidak bisa datang, makanya datang duluan buat kasih kamu angpau.” Lalu perempuan paruh baya itu tertawa setelah menyelesaikan kalimatnya.
“Apa iya, ya, Bu?” Zahra menanggapi.
“Ya sudah sana, kamu temui dulu. Dia tidak mau masuk rumah, mungkin risih karena di dalam banyak orang.” Nurul, ibu Zahra menepuk bahu sang putri sambil mengedik kepala ke arah pintu rumah. Sementara langkah kaki wanita tersebut sudah berhenti.
Nurul tidak ikut keluar. Dia tidak mau ikut campur urusan anak muda. Wanita itu kemudian membelokkan langkah menghampiri beberapa orang yang sedang duduk di karpet, menonton acara televisi sambil bercengkrama.
Zahra berjalan cepat keluar rumah. Berpikir jika mungkin benar yang datang adalah bos di tempatnya kerja. Menoleh ke kanan, kaki yang sudah akan bergerak terayun, berhenti seketika--kala seorang pria yang duduk di salah satu kursi menoleh ke arahnya.
Zahra mengerjap beberapa kali. Demi apa seorang artis datang mencarinya? Bukan! Maksud Zahra bukan artis itu, Zahra hanya membandingkan ketampanan pria itu dengan para artis pelaku dunia hiburan tanah air. Sumpah, di mata Zahra pria itu sangat cocok menjadi artis. Ah, tapi, tentu saja hanya Wildan yang ada di dalam hatinya.
Zahra berdehem ketika pria yang belum ia kenal itu beranjak dari tempat duduk. Buru-buru Zahra melanjutkan langkah kaki yang sempat terhenti. Zahra tersenyum sopan.
“Maaf, um … Mas siapa, ya? Apa benar Mas mencari saya?” tanya Zahra seraya menatap pria yang 25 cm lebih tinggi darinya, hingga Zahra harus mendongak.
“Alesha Azzahra?”
Zahra langsung mengangguk membenarkan. Memang itu namanya. Kening wanita 23 tahun itu mengernyit. Bingung bagaimana pria yang berdiri menjulang di depannya ini bisa tahu namanya, sedangkan dia yakin belum pernah bertemu dengan pria itu.
Pria di depan Zahra menghembus napas pelan. Pria itu mengedarkan pandangan matanya ke halaman rumah Zahra yang sudah tertutup tenda pernikahan hingga ke jalanan kecil di depan rumah. Didekor sedemikian rupa hingga terlihat begitu indah. Pun dengan pelaminan yang sudah dihias sedemikian rupa.
“Maaf, ada perlu apa ya, Mas mencari saya? Saya yakin kita belum pernah bertemu sebelumnya.”
Mengalihkan pandangan mata dari halaman rumah, pria itu kembali menatap Zahra.
“Wildan Nugroho.”
Lipatan di kening Zahra bertambah. “A-ada apa dengan Wildan, Mas? Mas mengenal calon suami saya?”
“Dia sekarang sedang bersama tunangan saya. Di apartemen saya.”
Zahra mengerjap. “Maksud Mas?” tanya Zahya dengan wajah bingung. Bagaimana dia tidak bingung saat tiba-tiba orang yang tidak dikenal datang, lalu mengatakan jika calon suaminya sedang bersama dengan tunangan orang itu.
“Dia berselingkuh dengan tunangan saya. Apa masih belum jelas?”
Zahra tersentak. Bibir wanita itu bergerak-gerak, begitupun dengan bola matanya. Zahra terlihat bingung.
“Ikut saya kalau kamu ingin melihatnya langsung. Kurasa mereka sudah mulai bermain sekarang.” Lalu pria dengan setelan jas mahal itu langsung menarik sebelah tangan Zahra.
Zahra yang lingung, mengikuti tarikan tangan pria tersebut.
Sebuah mobil mewah berwarna hitam langsung terbuka, dan Zahra didorong masuk ke dalamnya oleh pria tersebut, sebelum pria yang belum Zahra kenal itu ikut masuk. Tak butuh waktu lama, kendaraan roda empat tersebut langsung melaju.
“Tu-tunggu. Siapa Mas sebenarnya? Kenapa tiba-tiba Mas menuduh calon suami saya berselingkuh dengan tunangan Mas?" tanya Zahra setelah bisa mengembalikan kesadarannya.
“Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan loh, Mas. Mas tidak takut neraka, menuduh mas Wilda selingkuh? Saya mengenalnya dengan baik. Selama tujuh tahun kami pacaran, dia tidak pernah selingkuh. Dia itu laki-laki setia. Mungkin Mas salah mengenali or—”
Zahra menghentikan kalimatnya ketika sebuah benda persegi tersodor di depannya. Zahra mengedip. Wanita itu menelan ludah.
“Apa saya salah mengenali calon suamimu?”
Nafas Zahra tercekat. Rasanya dia tidak bisa mempercayai fungsi matanya saat ini. Dia melihat foto Wildan—pria yang besok pagi akan menyebut namanya dalam sebuah ijab kabul, merangkul seorang wanita cantik dengan tubuh ramping dan kulit seputih s**u.
Kedua bahu Zahra terjatuh. Wanita itu tidak lagi membuka sepasang bibirnya, bahkan hingga satu jam perjalanan dan mobil yang membawanya berhenti di depan bangunan megah.
“Ayo, turun. Lihat dengan mata kepalamu sendiri, lalu putuskan apa kamu masih akan tetap menikah dengan pria b***t itu.”
Zahra mencoba mengatur tarikan dan hembusan napasnya. Jantungnya berdegup kencang. Dia tidak ingin mempercayai omongan orang yang tidak dikenalnya. Tidak mungkin Wildan menyakitinya.
“Ternyata kamu hanya perempuan yang haus validasi pernikahan. Kamu lebih memilih dinikahi pria tukang selingkuh. Baiklah. Jangan marah kalau besok kamu akan bersanding dengan pria yang wajahnya hancur. Karena aku akan menghancurkan wajahnya sekarang juga.”
Zahra mengepal kedua tangannya. Wanita itu akhirnya turun lalu berjalan setengah berlari agar bisa menyusul langkah panjang pria di depannya. Tanpa kata, Zahra mengikuti pria tersebut. Masuk ke dalam lift lalu keluar di lantai 15.
Dan masih tanpa membuka mulut, Zahra berjalan di belakang pria tinggi yang belum ia ketahui namanya. Hingga akhirnya pria itu berhenti di depan sebuah pintu. Zahra masih diam saat pria di depannya menekan beberapa angka lalu mendorong pelan pintu.
Zahra mengayun langkah kaki yang terasa begitu berat--masuk ke dalam unit apartemen itu. Wanita yang malam itu hanya memakai babydoll lengan panjang tersebut meremas-remas kepalan tangannya. Napasnya memburu. Mengikuti pria yang berjalan di depannya, Zahra baru berhenti melangkah ketika pria di depannya juga berhenti.
Zahra terdiam dengan napas tercekat ketika sayup telinganya mendengar suara lenguhan dari dalam kamar. Zahra merasakan jantungnya berdegup semakin keras dan kencang. Kepalan tangannya menguat.
Memberanikan diri dengan perasaan yang sudah kacau, Zahra menahan tangan pria di depannya yang sudah terangkat hendak mendorong daun pintu di depan mereka. Zahra menarik langkah ke depan. Dengan tangan yang bergetar, Zahra menekan pelan handel pintu lalu mendorongnya.
Saat itulah Zahra merasakan dunianya hancur seketika. Di depan matanya, dia melihat pria yang seharusnya menjadi suaminya esok pagi, berada di atas seorang perempuan. Keduanya bergerak liar tanpa menyadari dua pasang mata yang sedang menonton adegan panas mereka.
“Jadi begini Wildan yang sebenarnya?” tanya Zahra tanpa mengalihkan pandangan matanya sekalipun sebenarnya dia sudah ingin muntah. Saat ini Zahra sedang merasakan patahan demi patahan di dalam dadanya. Hancur sudah impiannya menikah dengan pria yang sudah menjadi kekasihnya selama 7 tahun. Pria yang membuat dirinya mengenal cinta lawan jenis untuk pertama kalinya.
Pria yang tadinya sedang bergerak liar itu menoleh, lalu kedua matanya membesar begitu melihat siapa yang berdiri di ambang pintu. Pun dengan wanita yang sedang terengah nikmat itu seketika langsung melotot.
“Naka!”
“Ra! Ra … Zahra … tunggu, tunggu … aku bisa jelaskan. Zahra!”