Bab 11. Mencari Pekerjaan Baru

1779 Kata
Zahra sudah mengirim banyak surat lamaran pekerjaan. Ada yang ia kirim melalui surel, ada juga yang melalui kurir. Namun, sudah dua minggu lebih belum ada satu perusahaan pun yang memanggilnya untuk mengikuti tes atau wawancara. “Apa kualifikasiku sama sekali tidak masuk target mereka? Susah sekali cari kerja,” keluh Zahra sambil menatap inbox pribadinya. Belum ada satupun jawaban dari sekian banyak surat lamaran pekerjaan yang dia kirim melalui surel. Zahra mendesah. Kedua bahu wanita muda itu terjatuh. Mulai putus asa. “Hei!” “Ya Allah, bikin jantung mau copot saja.” Zahra refleks langsung menoleh begitu mendengar suara, bersamaan merasakan tepukan mengejutkan di bahunya. Wanita itu melotot. “Jangan diulang lagi, Din. Beneran jantungku bisa copot.” Sang teman terkekeh sambil menarik kursi beroda di meja sebelah kemudian mendudukinya. Menarik sedikit ke depan dengan kakinya, wanita itu menoleh ke arah layar komputer di atas meja kerja Zahra. Sadar kemana ara tatapan mata sang teman, Zahra buru-buru menutup tampilan email pribadinya. Jam istirahat belum selesai, dan Zahra menggunakan waktu itu untuk memeriksa email pribadinya. Zahra berdehem seraya melirik sang teman yang berdecak. “Ada yang kamu sembunyikan, kan, Ra?” Sepasang mata Dinda menyipit menatap menelisik Zahra yang bergerak kikuk. “Hayo … apa yang kamu sembunyikan?” “Nothing, Dinda. Nothing,” kata Zahra meyakinkan sang teman yang terlihat begitu penasaran. Sang teman mencebik. “Tidak percaya,” sahutnya sambil menggelengkan kepala. “Pasti ada. Itu tadi email pribadimu, kan?” Lalu Dinda tersenyum menggoda sambil mendorong pelan bahu Zahra. Membuat Zahra menatap mengernyit sang teman. “Kenapa? Mas Suami belum kirim kabar, ya?” goda Dinda menerka apa yang disembunyikan oleh Zahra. “Ya ampun, Ra. Kamu itu beruntung sekali. Kok bisa loh dapat suami seganteng itu.” Dinda berdecak. “Hilang Wildan, tumbuhlah Naka.” Dan Dinda tidak bisa menahan tawa setelah mengatakannya. “Kalau kayak gitu, aku pun tidak akan menolak.” Sepasang mata Zahra membesar. “Cari saja sendiri.” Zahra berpura-pura kesal. “Eh, suamimu punya saudara laki-laki yang masih jomblo? Ah … duda pun tak apa lah. Boleh.” “Isssh … tidak ada. Kakaknya perempuan sudah nikah. Adiknya juga perempuan. Sudah tidak ada lagi. Cuma satu dan sudah sold out.” “Sepupu juga boleh, Ra. Pasti tidak akan jauh muka sama perawakannya.” Dinda masih belum menyerah. “Astaga, Dinda. Sudah sana balik ke mejamu. Sudah mau habis nih jam istirahatnya.” Zahra mengusir sang teman. Zahra langsung memutar kepala ke arah layar komputer, ketika dari sudut mata melihat sesuatu. Sepasang mata wanita itu mengedip. Notifikasi pesan masuk. Zahra buru-buru membukanya. Beberapa saat Zahra membaca sebelum kemudian hembusan napas lega keluar dari celah mulut wanita tersebut. Senyum tak kuasa Zahra sembunyikan. Akhirnya, ada satu undangan tes dari sebuah perusahaan di Jakarta. Zahra menarik dalam napasnya, kemudian membulatkan mulut untuk menghentak karbondioksida keluar. Dia sungguh lega. “Kamu … cari kerja, Ra?” Bola mata Zahra membesar. Karena terlalu senang dia sampai melupakan seseorang di sampingnya. “Shhttt.” Zahra meletakkan jari telunjuk ke depan mulutnya, meminta sang teman untuk tidak bersuara. Zahra memutar kepala—memperhatikan sekitar. Untung saja hanya ada beberapa orang di ruangan tersebut, dan semuanya terlihat sibuk dengan aktifitas mereka masing-masing. “Kenapa cari kerja lagi? Kamu tidak betah kerja di sini?” tanya Dinda dengan suara yang sudah ia buat sepelan mungkin.. Zahra mengembalikan perhatian pada sang teman lalu menjawab dengan gelengan kepala. “Lah, terus kenapa?” tanya Dinda penasaran. Sepasang bibir wanita itu memberengut. Kalau Zahra pindah, dia akan kehilangan satu teman dekat di kantor. Bibir Zahra mengerut sebelum kemudian terbuka. “Biar dekat sama keluarga mas Naka,” ujarnya asal. Bertambah lagi dosanya karena berbohong. Zahra benar-benar harus segera pergi dari kota tercintanya—Semarang, supaya bisa menjauh dari pintu neraka. “Keluarga mas Naka kan di Jakarta. Jadi aku coba cari kerjaan di Jakarta.” Zahra menjelaskan ketika melihat tatapan kurang meyakinkan sang teman. Wanita muda itu memperhatikan perubahan ekspresi wajah sang teman. “Itu tadi panggilan dari perusahaan di Jakarta.” Lipatan muncul di kening Zahra melihat Dinda memberengut. “Kalau gitu aku bakal kehilangan satu teman.” “Hilang satu tumbuh seribu, Din,” sahut Zahra yang berhasil membuat Dinda mendelik sementara Zahra tertawa. Sebenarnya Zahra betah bekerja di perusahaan tempatnya saat ini. Teman-temannya baik, bos nya juga tidak terlalu galak. Tapi, mau bagaimana lagi? Kalau tetap di Semarang, dia akan terus berbohong soal pernikahannya dengan Naka. Zahra menatap foto pernikahan yang ia pajang di meja kerjanya. Sepasang mata wanita itu mengedip menatap sosok pria yang duduk di sebelahnya. Tarikan napas panjang Zahra lakukan. Naka memang tampan. Tapi, untuk menikah bukan tampan yang dibutuhkan. Zahra mendesah. Wildan yang tidak tampan-tampan amat saja bisa selingkuh, apalagi pria setampan Naka. Pasti banyak perempuan yang langsung mengangguk saat diajak selingkuh. Ah, semoga saja tidak. Naka sudah merasakan seperti apa diselingkuhi. Dia juga sempat bilang benci perselingkuhan. Semoga saja Naka setia. Kelopak mata Zahra bergerak cepat tertutup lalu terbuka ketika otaknya memikirkan sesuatu yang tidak perlu. Untuk apa dia memikirkan kemungkinan Naka selingkuh, seolah Naka masih suaminya saja. Ingat Zahra, kamu sudah ditalak. Kamu itu sudah berstatus janda meskipun belum ada akta cerai karena belum kamu urus, jawab satu sisi otaknya yang lain. “Malah melamun.” Dinda menggerakkan telapak tangan di depan muka Zahra sambil memperhatikan fokus mata sang teman. Wanita itu mencebik begitu akhirnya mendapatkan perhatian dari Zahra. Zahra berdeham. “Din, please jangan bilang siapa-siapa soal itu tadi, ya?” “Wani piro?” “Ya Allah. Mau malak teman sendiri?” tanya Zahra yang detik berikutnya berdecak tidak suka. Dinda beranjak dari tempat duduk sambil tertawa. “Bercanda, Ra. Ya ampun. Bayarannya kenalin sama mas Naka saja, deh.” Lalu wanita itu tertawa sambil menarik kursi menjauh begitu melihat bola mata Zahra nyaris meloncat keluar dari kelopaknya. **** Dua hari setelah menerima undangan untuk tes dan wawancara, Zahra berangkat ke Jakarta. Dia naik kereta malam hingga bisa tiba di Jakarta saat pagi. Dengan begitu dia tidak perlu mencari penginapan. Dia cukup tidur di kereta. Mandi di stasiun kemudian berangkat mencari alamat perusahaan. Karena tidak ingin repot atau kesasar, akhirnya Zahra memutuskan untuk naik taksi. Dia hanya tinggal menyebut alamatnya lalu bersantai sambil main ponsel. Zahra membalas pesan orang tua dan juga teman kerjanya yang tahu alasan Zahra hari ini cuti. Memberitahu mereka jika ia telah sampai di Jakarta dan sedang dalam perjalanan menuju perusahaan yang mengundangnya. Setelah itu Zahra berselancar di dunia maya. Entah mengapa dia kepo pada mantan suaminya. Zahra mencoba mencari media sosial Naka, namun tidak berhasil menemukannya. Apa Naka tidak punya media sosial? Batinnya kecewa. Akhirnya Zahra menghentikan pencariannya. Wanita itu melongok jalanan. Memperhatikan tempat yang ia lalui. Nyaris satu jam perjalanan dengan taksi, akhirnya kendaraan roda empat itu berbelok masuk ke pelataran sebuah bangunan perkantoran. “Sudah sampai, Kak.” Zahra mengeluarkan dompet sambil memperhatikan argo. Ia mengeluarkan dua lembar uang kertas, kemudian memberikannya pada pria yang duduk di belakang kemudi. “Terima kasih, Pak.” Zahra tersenyum sebelum mendorong daun pintu kemudian keluar dari taksi. Zahra bergegas masuk ke dalam gedung. Hari masih pagi, jadi suasana di dalam gedung itu masih sepi. Tidak apa-apa. Dia memilih datang lebih pagi dibanding terlambat. Lagipula, dia masih harus mencari ruangannya. Zahra masuk ke dalam lift. Tak butuh waktu lama suara denting lift yang menandakan ia sudah sampai di lantai yang dituju terdengar. Zahra keluar di lantai 15. Menoleh ke kanan kiri, Zahra kemudian berbelok ke kanan. Zahra mencari tempat duduk. Sambil duduk, wanita itu mengedarkan pandangan mata—memperhatikan tempat yang serupa lobi perusahaan. “PT. TNK Food Sejahtera.” Zahra membaca tulisan besar di belakang meja resepsionis. Wanita itu menggerakkan kepala turun naik. Memutar kepala, dan benar-benar masih sepi. Zahra mengangkat tangan kiri, menarik sedikit ujung kemeja lengan panjang yang ia kenakan. Masih jam 8.30, sementara perusahaan itu mulai beroperasi di jam 9 pagi. Beruntung pintu sudah dibuka, jadi dia bisa masuk di lobi. Setengah jam menunggu, akhirnya satu per satu pekerja mulai berdatangan. Zahra tersenyum setiap kali orang berjalan melewatinya lalu menoleh ke arahnya. Wanita itu berdehem. Belum ada resepsionis yang datang. Zahra menarik dalam napasnya lalu sedikit menghentak. Wanita itu kembali mengangkat tangan kiri. Sudah jam 9 lebih dan resepsionis belum ada yang datang. Santai sekali mereka, batin Zahra. Suara ketukan heels yang beradu dengan lantai keras terdengar hingga membuat Zahra menoleh. Zahra memperhatikan seorang wanita dengan pakaian semi formal melangkah anggun. Zahra tersenyum ketika wanita yang sudah nyaris tiba di tempatnya itu tersenyum. “Alesha Azzahra, ya?” Zahra langsung berdiri lalu mengangguk. “Benar, Kak.” “Maaf ya, menunggu. Ayo, ikut saya.” Wanita cantik itu kembali tersenyum ramah. “Oh … iya.” Zahra mengayun langkah bersama perempuan itu. “Naik apa dari Semarang?” tanya wanita itu sambil menoleh ke arah Zahra. “Kereta, Kak.” “Ah, berarti berangkat tadi malam, ya?” Kepala wanita itu bergerak turun naik dua kali. “Iya, Kak.” Ayunan kaki Zahra berhenti begitu wanita yang berjalan bersamanya berhenti. “Ayo, masuk.” Wanita itu mendorong pintu sebuah ruangan, kemudian meminta Zahra untuk masuk. “Kakek nenek CEO kami juga tinggalnya di Semarang, loh.” “Oh ya?” tanya Zahra kaget. Melihat anggukan kepala wanita yang belum Zahra ketahui namanya itu, Zahra tersenyum. “Nanti wawancaranya sama CEO nya, Kak?” tanya Zahra ingin tahu. Dipersilahkan untuk duduk dengan isyarat tangan, Zahra mengangguk kemudian menarik kursi untuk ia duduki. Sementara wanita yang bersama Zahra melangkah ke balik meja, lalu duduk di kursi kerjanya. “Sama saja saya. CEO kami tidak ada di sini. Beliau tinggal di Amerika.” “Oh ….” Mulut Zahra membulat. Kepala wanita itu bergerak mengangguk. Dia baru tahu. "Berarti tidak bisa bertemu beliau, ya?" “Saya juga belum pernah bertemu, kok.” “Belum?” tanya Zahra kaget. Kelopak mata wanita itu terbuka lebih lebar. "Wah ...." Zahra merespon gelengan kepala wanita yang duduk terpisah meja darinya. “Nah, ini dikerjakan dulu, ya. Waktunya satu jam. Setelah itu baru kita lanjut wawancara.” Wanita itu memberikan satu map berisi soal-soal yang harus Zahra kerjakan. “Ini, silahkan pakai laptopnya untuk mengerjakan soal-soal itu.” Zahra mengangguk lalu menerima laptop dari tangan wanita yang duduk di seberang meja. Zahra membuka laptop kemudian menyalakannya. Sepasang mata wanita itu mengedip. “TNK itu singkatannya apa, Kak? Kalau saya boleh tahu.” “TNK itu singkatan dari nama CEO kami.” Wanita itu memberitarhu Zahra. “Tanaka.” Mulut Zahra terbuka. Kebetulan sekali nama itu tidak asing di telinganya. Zahra menggerakkan kepala turun naik sambil tersenyum. “Namanya bagus. Kayak Jepang gitu.” “Tapi dia murni Indo, kok. Katanya ya, karena saya juga belum pernah bertemu dengan beliau.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN