“Jadi sekarang sudah suami nih, statusnya?”
Naka melirik kesal pria yang duduk di belakang kemudi. Naka berdecak pelan. “Sialan. Sekarang sudah duda.” Naka memperlihatkan layar ponselnya pada sang teman. Naka geleng-geleng kepala melihat Bara justru tertawa terbahak-bahak.
“Kamu sendiri yang milih jadi duda. Kenapa tidak kamu lanjut saja? Toh nikahnya beneran.” Pria di belakang kemudi menggulir bola mata ke arah spion depan. Tersenyum melihat sang teman sekali lagi berdecak.
“Cantik juga doi. Tidak kalah dari Renata.”
“Jangan sebut nama dia lagi, Bar. Dia sudah mati buatku.” Naka menoleh, menatap tajam sang teman dengan ekspresi wajah yang sudah berubah keras.
“Ya ampun … jangan bilang begitu. Aku tahu kamu marah besar sama dia, dan aku paham. Tapi, jangan nyumpahi dia mati. Dosa, Naka.”
“Kamu bisa bilang begitu karena tidak merasakan berada di posisiku. Kamu tahu selama ini aku tidak pernah bermain perempuan, padahal peluang itu terbuka lebar. Aku menjaga hatiku untuk dia. Dasar perempuan murahan.” Naka menarik kasar napasnya sebelum kemudian menghentak sama kasar. Setiap mengingat penghianatan Renata, rasanya Naka ingin mencabik-cabik wajah perempuan itu.
“Ya … ya … aku tahu itu. Makanya, kenapa tidak kamu lanjut saja pernikahanmu dengan Zahra? Siapa tahu memang dia jodoh yang Tuhan kirim buat kamu, Naka.” Bara menoleh ke samping tidak lebih dari dua detik kemudian buru-buru meluruskan kembali pandangan matanya.
“Bukankah yang terjadi pada kalian itu … sebuah kebetulan yang luar biasa? Aku tidak bisa membayangkan jika kamu datang satu hari lebih lambat. Zahra sudah menikah dengan pria b******n itu, dan kamu tidak akan bisa menangkap basah dua orang itu. Dan … boom, kamu sama Zahra mereka bodohi seumur hidup.”
“Aku tidak akan pernah menikah jika bukan karena cinta.” Lalu Naka memutar kepala ke samping kiri—menatap jalanan dari kaca samping. Pria itu menarik pelan namun panjang napasnya. Hatinya berdesir nyeri ketika mengingat bahwa dia sempat tidak diinginkan oleh papanya, dan itu karena pernikahan yang terjadi tanpa cinta. Dia tidak ingin mengulang hal yang sama.
Membuka sepasang bibirnya, Naka menghentak karbondioksida keluar. Jika dulu mamanya tidak memperjuangkan dirinya, mungkin dia tidak akan pernah melihat dunia.
“Sorry ….” Bara menahan ringisan. Tanpa sadar sepertinya dia sudah mengingatkan sang sahabat pada masa lalunya. “Aku tidak bermaksud—”
“It's okay. Aku sudah tidak masalah. Sudah berlalu.”
Bara menatap Naka dari spion. Pria itu mendesah. Dari ekspresi Naka, dia tahu sang teman hanya sedang berbohong. Naka masih belum bisa melepas kemarahan di masa lalu.
Naka bisa merasakan tatapan sang teman. Pria itu memutar kepala. “Perhatikan jalanan. Aku tidak mau terlambat sampai di bandara. Tiket ke Amerika tidak murah,” kata Naka sambil membesarkan kedua matanya.
“Hais … iya, tidak murah untuk kaum menengah ke bawah. Kalau buat kamu, mau setiap hari pulang pergi juga enteng.” Bara menyahut lalu mencebik sekalipun Naka tidak melihatnya.
“Punya isi kepala dipakai, Bara. Sepertinya aku salah mengangkatmu jadi aspri. Apa kamu mau turun jabatan?”
“Astaga … ada apa denganmu? Katanya sudah tidak masalah? Kenapa jadi emosian?” Bara menggelengkan kepala. Pria itu menekan pedal gas lebih dalam, lalu mobil yang dikendarai melaju cepat mendahului mobil pick up di depannya.
Naka menarik punggung ke belakang hingga menyandar. Pria itu menghembus napas panjang.
Melirik ke kiri, Bara berdehem. “Naka … “
Naka menggumam menjawab sang teman.
“Tante nungguin kamu. Mampirlah ke rumah sebentar.”
Naka langsung menoleh. “Mama menghubungimu?” tanya Naka dengan sepasang alis berkerut. Begitu melihat sang teman mengangguk, Naka kembali bersuara. “Kamu tidak mengatakan apapun soal pernikahan bohonganku dengan Zahra, kan?” tanyanya khawatir sang teman yang punya mulut ember memberitahu mamanya.
“Aku masih waras, Bro. Aku tidak mau jadi penyebab tante favoritku kena serangan jantung, dan aku juga masih sayang diriku. Aku tidak mau kena gebuk suami posesif tante Naya. Heran, sudah tua, sudah punya cucu masih juga posesif.” Bara berdecak sebelum berdehem lalu buru-buru mengalihkan pembicaraan.
“Eh, Bro … mau mampir makan dulu?” Bara menghembus napas kala tidak mendapat jawaban dari sang teman. Melirik ke samping, Naka sudah kembali menatap jalanan dari kaca samping. Pria itu memukul mulutnya sendiri yang sering kali tidak punya rem. Biasa-bisanya dia membahas tentang papa Naka.
Naka menarik keluar ponselnya ketika benda tersebut bergetar. Mendekatkan benda tersebut, Naka terdiam beberapa saat sebelum kemudian memutuskan untuk tidak menerima panggilan itu.
Dia sedang malas berdebat. Mamanya pasti sudah mengatakan pada kakaknya jika dia ada di Indonesia. Lebih tepatnya di Semarang. Dan tentu saja dia tahu untuk apa kakaknya itu menghubungi dirinya.
Naka tidak hanya menolak panggilan dari sang kakak—Mekka, tapi juga mematikan power ponselnya. Pria itu mendesah.
Sementara Naka sedang dalam perjalanan menuju bandara untuk kembali ke Amerika yang menjadi tempat tinggal tetapnya selama tiga tahun terakhir, Zahra harus membuat banyak kebohongan tentang siapa Naka dan keluarganya.
“Mas Naka tidak berasal dari keluarga kaya, tapi, dia itu pintar, Pak … Bu. Makanya bisa dapat kerja di luar negeri. Keluarganya tinggal di Jakarta. Mereka punya usaha kecil-kecilan di sana. Um … dia tiga bersaudara. Mas Naka anak kedua. Kakaknya perempuan sudah menikah dan tinggal bersama suaminya. Adiknya masih sekolah, jadi sekarang mas Naka juga yang membiayai sekolah adiknya itu.”
Bapak dan Ibu Zahra menggerakkan kepala turun naik mendengarkan cerita sang putri.
“Berarti dia laki-laki yang punya tanggung jawab, sayang sama keluarga.”
Zahra mengangguk membenarkan apa yang ibunya katakan.
“Syukurlah. Biasanya laki-laki yang sayang sama keluarga, terlebih ibu dan saudara perempuan, tidak akan pernah menyakiti hati istrinya.” Ibu Zahra menambahkan. Wanita itu tersenyum lega.
“Makanya Zahra mantap menikah dengan mas Naka. Tidak apa-apa keluarganya tidak sekaya keluarga mas Wildan. Yang penting dia baik dan insya Allah tidak akan pernah selingkuh. Dia laki-laki yang bisa menjaga pandangan matanya.” Zahra tersenyum lebar melihat kedua orang tuanya kembali menganggukkan kepala. Dalam hati Zahra meminta maaf karena sudah membohongi mereka berdua. Dia tidak tahu apapun tentang Naka dan keluarganya.
“Kalau memang keluarga Naka tidak bisa ke sini karena biaya, mungkin kita saja yang ke sana, Pak. Kita kumpulin uang dulu biar bisa sekalian jalan-jalan.” Ibu Zahra menoleh ke arah sang suami.
“Eh … tidak perlu, Bu, Pak.” Zahra cepat-cepat mencegah rencana sang ibu yang terlihat langsung disetujui oleh bapaknya. Bisa gawat kalau orang tuanya benar-benar ke Jakarta. Memangnya siapa yang akan mereka temui di kota besar itu? Aduh … Zahra mengeluh dalam hati. Satu kebohongan harus ditutup dengan ribuan kebohongan. Wanita muda itu mendesah dalam hati.
“Jangan. Takutnya nanti mereka berkecil hati. Biar nanti mas Naka usahakan dulu uangnya. Biar dia kerja dulu. Kalau uangnya sudah banyak, biar mereka yang ke sini, bu … Pak. Tolong jangan sakiti ego mereka sebagai keluarga laki-laki.”
“Bukan begitu, Ra, maksud Ibu. Ibu cuma ingin bisa bersilaturahmi sama mereka lebih cepat. Tidak ada maksud apa-apa. Iya, kan, Pak?"
“Iya. Kami tidak berniat mengecilkan mereka karena tidak bisa datang ke sini lebih dulu. Lagipula kita juga bukan orang kaya. Mungkin kita sama kecilnya dengan mereka.” Pria yang berprofesi sebagai guru SD itu menyahut.
“Iya, Zahra paham, tapi kan kita tidak tahu ... mungkin saja nanti mereka tersinggung, Bu … Pak. Jadi, sabar dulu saja.” Zahra mencoba meyakinkan kedua orang tuanya untuk tidak perlu pergi ke Jakarta.
“Ya sudahlah, Bu. Kita ikut saran Zahra saja. Kita doakan semoga rezeki Naka lancar.” Akhirnya sang bapak mengalah.
“Tapi Ibu masih heran loh, Ra. Kalau Ibu lihat, Naka itu kayak orang kaya. Tampangnya, pakaiannya. Kok kayaknya susah dipercaya dia bukan dari keluarga kaya.” Kening ibu Zahra berkerut.
Zahra tertawa. “Memang penampilan sering kali menipu, Bu. Makanya ada pepatah mengatakan jangan menilai orang dari penampilannya. Mas Naka memang sudah ganteng dari jebrol. Mau dia pakai pakaian apapun tetap ganteng. Badannya kan bagus, jadi gitu deh. Jangan ketipu, Bu. Cukup Zahra yang ketipu penampilan mas Wildan. Kelihatannya saja dia baik … tapi nyatanya … bang … sat. Iya, kan? Dan Zahra ketipu 7 tahun. Ya Allah.”
“Ya sudah. Sekarang kan Tuhan sudah kasih kamu ganti yang insyaAllah lebih baik. Kamu harus bersyukur tidak jadi menikah dengan Wildan. Si bang ... sat itu," sahut ibu Zahra dengan nada geregetan.
Zahra menganggukkan kepala. “Iya. Zahra lebih baik punya suami miskin, tapi, berakhlak, dibanding suami kaya, tapi, tidak bisa menjaga kehormatan. Zahra bersyukur punya suami mas Naka.”