Zahra menyelesaikan tes tertulis, praktek serta wawancara dalam satu hari yang sama. Beruntung pihak perusahaan berbaik hati karena mengetahui ia bertempat tinggal di Semarang. Jauh dari Jakarta.
“Kalau nanti diterima bekerja di sini, kapan kamu bisa bergabung dengan perusahaan?” tanya perempuan yang duduk terpisah meja dengan Zahra.
“Setidaknya saya butuh waktu satu bulan untuk hand over dengan pengganti saya.” Zahra menjawab.
Wanita yang akhirnya Zahra ketahui bernama Marina itu menggerakkan kepala turun naik. “Baiklah. Kalau begitu tunggu kabar dari saya.” Wanita itu beranjak berdiri.
Zahra mengikuti. Wanita muda itu menyampirkan tali tas ke bahu kanan. Berdiri berhadapan terpisah meja, Zahara mengulurkan tangan kanan sambil tersenyum. “Terima kasih sudah memberi saya kesempatan.” Zahra sungguh berterima kasih.
“Sama-sama. Terima kasih juga sudah jauh-jauh datang dari Semarang. Semoga beruntung, ya?”
Zahra menganggukkan kepala. “Kalau begitu saya permisi.” Melihat anggukan kepala Marina, Zahra kemudian keluar dari celah meja dan kursi. Memutar langkah, sepasang kaki wanita muda itu terayun menuju ke arah daun pintu yang masih tertutup.
Zahra menghembus napas lega. Dia sudah berusaha. Sekarang hanya tinggal berdoa meminta Sang Penguasa untuk menggerakkan hati siapapun orang yang membuat keputusan, agar memilih dirinya. Senyum mengembang di wajah Zahra.
***
“Naka, Om bilang perlu menambah dua merchandiser untuk mengurus market baru.” Bara memberitahu sang teman sekaligus atasannya. Usia Naka 3 tahun lebih muda darinya--karena Naka kuliah ketika masih berusia belia, efek dari rajin mengikuti jalur akselerasi semasa sekolah. Akan tetapi. harus ia akui jika kemampuan bisnisnya masih jauh dibawah Naka. Entah terbuat dari apa otak Naka hingga bisa sepintar itu.
Terbukti, temannya ini sudah berhasil membangun bisnis di Indonesia dan di Amerika. Dan sekarang sedang mengembangkan usaha baru lagi. Benar-benar luar biasa encer otaknya.
Naka mengalihkan perhatian dari layar laptop di depannya. Pria itu menggulir bola mata lalu mengangguk. “Oke.”
“Mau aku mintakan data-data pelamarnya? Mungkin kamu mau memilihnya.”
“Aku sudah serahkan pada om Seno dan Marina. Mereka pasti bisa memilih pegawai yang tepat.”
“Begitu?” Bara menggerakkan kepala turun naik. “Baiklah. Oh iya, kamu mau makan siang di sini, atau kita keluar? Sudah lama kita tidak minum.” Bara tersenyum sambil menggerakkan kedua alis.
Naka berdecak melihat ekspresi wajah Bara. Pria itu mengangkat tangan kiri lalu memutar sedikit. Pria yang mengenakan kemeja lengan panjang warna putih itu mengerutkan kening.
“Akhir-akhir ini kita sibuk sekali. Sekali-kali tidak masalah kita bersantai sebentar. Otak kita bisa terbakar lama-lama, Naka.” Bara membujuk Naka.
Naka langsung mendengkus. “Lebay, Bar. Menjijikkan.” Meskipun begitu, Naka tetap mendorong kursi ke belakang kemudian beranjak. Membuat Bara yang melihat tersenyum lebar.
Bara langsung bergerak, mencondongkan tubuh ke depan. Tangan kiri pria itu menyambar kunci mobil di atas meja kerja Naka bagian samping. “Aku yang nyetir,” kata Bara. Pria itu menggerakkan kunci di tangan sambil melebarkan kedua sudut bibirnya. Mengedik kepala ke arah akses keluar masuk ruang kerja mereka. “Silahkan, Bos,” goda pria itu yang kemudian terkekeh.
Naka berdecak sambil geleng-geleng kepala. Pria itu melangkah keluar dari balik meja kerjanya. Bara menunggu sesaat kemudian berjalan bersama sang teman. Senyum menghias wajahnya.
Dua pria dengan perawakan tinggi tegap itu mengarahkan fokus mata mereka ke arah pintu ketika benda persegi tersebut diketuk dari luar. Keduanya kemudian saling menoleh lalu bertatapan.
“Seingatku kamu tidak punya janji temu,” ujar Bara tanpa berhenti berjalan. Pun dengan Naka.
Naka mengangguk membenarkan. Dia memang tidak memiliki janji dengan siapapun siang ini. Tidak juga dengan kakak iparnya karena pria itu siang ini ada pertemuan penting dengan kliennya.
Bara kemudian mempercepat langkah kaki, mendahului sang teman untuk menarik handel pintu. Langkah kaki pria itu berhenti. Bara mengedip. “Maaf, mau bertemu dengan siapa?” tanya pria itu seraya menyisir penampilan perempuan cantik di depannya.
“Naka ….” Wanita itu tidak menatap Bara yang bertanya, melainkan sedikit memiringkan kepala hingga bisa bertemu tatap dengan sosok di belakang Bara.
Naka mendesah. “Bisa kita bicara nanti? Kami sedang ada janji temu urusan bisnis di luar.” Naka mengangkat tangan kiri. “Setengah jam lagi,” bohongnya. Naka pikir kebohongannya akan berhasil, namun kalimat yang terdengar olehnya kemudian, membuat pria itu mendesah dalam hati.
“Berapa nilai tendernya? 100 ribu dollar? 200 ribu dollar? Atau 1 juta dollar? Katakan saja, aku akan minta suamiku mengirim uangnya sekarang juga,” kata wanita cantik itu yang kemudian membuka tas dengan inisial huruf H yang sangat mencolok.
Bara membuka lebar kedua matanya mendengar wanita di depannya membicarakan uang sebanyak itu dengan enteng. Bahkan sekarang wanita itu sudah siap dengan iphone di tangan.
“Berapa? 1 juta dollar?” tanya perempuan dengan rambut diikat ekor kuda itu. Wanita itu langsung menurunkan pandangan mata kemudian menggulir layar benda di tangannya.
Mekkaela Sawitri Hutama—kakak beda ibu Naka itu sudah akan menekan tombol panggil ketika suara sang adik menghentikan gerakan tangannya.
“Baiklah.” Naka berdecak. “Tidak perlu sombong. Tanpa Kak Mekka sombong aku sudah tahu bang Janu punya uang banyak,” ujar pria itu dengan nada kesal. Naka menatap malas sang kakak sebelum kemudian berbalik lalu melangkah kembali masuk ke dalam ruangannya.
“Kakak?” gumam terkejut Bara. Dia tentu tahu sahabatnya itu punya kakak dan juga 4 orang adik, akan tetapi dia belum pernah sekalipun bertemu dengan mereka semua. Dia hanya pernah bertemu dengan mama Naka beberapa kali. Perempuan yang masih cantik di usia yang sudah tidak lagi muda. Perempuan yang kemudian menjadi tante favoritnya karena sangat baik padanya.
“Maaf ya Adek, Kakak mau masuk dan bicara dengan Naka dulu.” Mekka tersenyum sambil menepuk pelan lengan Bara yang masih tercengang.
Mulut Bara terbuka, namun pria itu tidak mengatakan apapun. Kini dia sedang terpesona pada istri orang. Pria itu menarik langkah ke samping seraya membuka lebih lebar daun pintu untuk memberi ruang yang cukup bagi Mekka.
“Terima kasih.” Mekka melenggang masuk. Langkah kakinya terayun ke arah sang adik yang sudah menunggu.
Bara menghembus napas pelan. Pria itu sempat menoleh ke dalam ruangan sebelum kemudian memutuskan untuk keluar. Sepertinya dia akan mengajak sekretaris Naka untuk makan berdua.
****
“Bang Janu bilang Kakak tidak ikut.” Naka bersuara ketika langkah kaki sang kakak nyaris tiba di tempatnya. Pria yang masih berdiri menunggu sang kakak itu kemudian memeluk sang kakak. Tarikan napas panjang pria itu lakukan.
Mekka melepas pelukan mereka lalu memukul d**a sang adik sambil berdecak kesal. “Kakak marah sama kamu.” Mekka melotot. “Masih belum cukup waktu tiga tahun?” tanya wanita itu sebelum kemudian menurunkan tubuh dengan anggun ke atas sofa panjang.
Naka mengikuti, duduk di sebelah sang kakak.
“Marahnya udahan, Naka. Kasihan mama.”
“Kenapa mama? Aku tidak punya masalah dengan mama.” Naka mendesah.
“Karena kalau papa sedih, mama pasti lebih sedih lagi. Kamu tahu sebesar apa mama cinta sama papa? Kamu pikir selama tiga tahun ini mama tidak sedih melihat kamu menjauh?” Mekka menatap sang adik dengan sorot mata redup.
“Dengarkan aku baik-baik, Naka. Kalau kamu masih sayang keluarga, pulang. Temui mama, papa, dan adik-adik. Jangan terus bersembunyi. Kalau dengan memukul papa bisa membuat sakit hatimu hilang, maka lakukanlah.”
“Apa?” tanya Naka terkejut mendengar saran sang kakak. “Kakak pikir aku akan menggunakan kekerasan pada orang tuaku sendiri?”
“Sekalipun sekarang kamu tidak menggunakan kekerasan fisik, tapi, kamu sudah melukai hati papa, Naka. Itu jauh lebih menyakitkan dibanding kamu pukul papa lalu selesai.” Mekka memberitahu sang adik. Wanita itu mendesah. Tatapannya tidak beralih dari sang adik.
“Papa sudah tua. Seharusnya sekarang papa sudah bisa lebih santai, bukan malah tambah sibuk karena kamu tidak mau membantu bisnisnya.”
“Sudah ada Juna dan si kembar yang membantu papa.”
“Ya Tuhan, si kembar itu masih suka bermain, Naka. Juna juga baru lulus. Kamu yang seharusnya membantu papa.” Mekka mendelik. “Ayolah Naka. We miss you,” kata Mekka sambil menatap lekat sang adik.
Naka menarik pelan napasnya. “Baiklah. Aku akan kembali.”
Mekka langsung tersenyum lebar mendengar jawaban sang adik. Namun, senyum itu luntur beberapa detik selanjutnya.
“Nanti, setelah aku bisa membuktikan pada papa kalau aku bisa berhasil dengan usahaku sendiri.”
****
Satu minggu setelah tes dan wawancara, Zahra mendapat kabar gembira dari Marina. Wanita yang bekerja di bagian HRD itu menghubungi Zahra dan memberitahu jika Zahra diterima bekerja di PT. TNK Food Sejahtera.
Sumpah, Zahra senang sekali. Bahkan saat itu Zahra yang sedang berada di tempat kerja, langsung berlari menuju mushola kemudian sujud syukur. Tuhan mengabulkan doanya. Dan sesuai janji Zahra pada Marina, dia akan mulai bergabung dengan perusahaan tersebut satu bulan setelah ia diterima.
Dan satu bulan itu terasa begitu cepat bagi Zahra karena dia disibukkan dengan proses handover pekerjaan ke penggantinya. Zahra juga mencari tempat kos yang tidak terlalu jauh dari tempat kerja barunya.
Orang tua dan adiknya melepas Zahra dengan berat hati. Selama ini mereka tidak pernah berpisah. Namun, alasan bohong Zahra supaya bisa lebih dekat dengan keluarga mertuanya, membuat mereka tidak punya pilihan.
Zahra menghembus napas lega. Kakinya kini menapaki lantai gedung yang mulai hari ini akan menjadi tempatnya mencari rezeki, sekaligus bersembunyi dari orang-orang yang mengetahui pernikahannya.
Zahra tersenyum menyapa beberapa orang yang dilewatinya ketika berjalan mengikuti Marina.
“Nah, di sini meja kerjamu. Kenalkan, itu Nonik--manager tim 2. Dia yang akan membagi tugas merchandiser di tim dua." Tiga orang yang bekerja di tim dua berjalan menghampiri Zahra menyusul Nonik yang sudah mengayun langkah lebih dulu. Mereka menyambut kedatangan Zahra dengan senyum lebar.
“Selamat datang di tim dua, Zahra. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik.” Wanita yang Marina perkenalkan bernama Nonik itu tersenyum.
“Terima kasih, Kak Nonik. Mohon bimbingannya.” Zahra tersenyum. Zahra kemudian mengalihkan pandangan matanya. “Mohon bimbingannya juga, Kak—”
“Aduh, jangan panggil kakak. Kesannya jadi aku tua sekali. Panggil nama saja.”
“Iya. Cukup mbak Nonik saja yang kamu panggil Mbak di tim kita. Usia kita sepertinya tidak jauh, kok. Kita seumuran.”
“Mbak?” tanya Zahra.
“Iya, kita panggilnya mbak Nonik. Mbak Marina.” Salah satu teman kerja baru Zahra itu tersenyum. "Aku Mela. Ini Nita, lalu itu Doni."
“Oalah.” Zahra terkekeh. “Mohon bimbingannya Mbak Nonik, Mela, Nita, Doni.” Zahra ikut tertawa ketika teman-teman satu tim nya tertawa. Zahra menatap satu per satu teman kerjanya. Senyum menghias wajah cantik wanita muda itu.
Hari baru, dan kehidupan baru segera Zahra jalani di kota Jakarta, jauh dari keluarganya.