Bab 13. After 5 Years

1383 Kata
5 Tahun kemudian. “Selamat, Bu asisten manager.” Zahra tersenyum malu mendengar ucapan selamat dari salah satu teman kerjanya. Zahra dan lima temannya duduk melingkari meja persegi. Pulang kerja, mereka sengaja makan malam bersama untuk merayakan pengangkatan Zahra menjadi asisten manager di tim 2. “Tidak boleh ada yang cemburu. Penilaian berdasarkan kinerja. Siapa yang bekerja keras dan memenuhi target penjualan, dia yang berhak mendapatkan posisi itu. Tidak memandang berapa lama dia bekerja.” “Iya, Mbak … iya, kami paham. Cemburu kalau positif masih boleh, kan? Biar kami juga berusaha lebih keras. Siapa tahu tahun depan kami bisa menggeser posisi Zahra.” Mela memeletkan lidah ketika Zahra mendelik ke arahnya. Namun, dua detik berikutnya mereka tertawa bersama. “Bersulang untuk asisten manager baru kita.” Doni, satu-satunya kaum adam di tim kerja Zahra mengangkat gelasnya, seraya menatap satu per satu teman kerjanya. Zahra dan yang lain mengikuti. Mengangkat gelas kemudian menyentuhkan satu sama lain hingga terdengar suara dentingan beberapa kali, sebelum mereka meneguk minuman masing-masing. Zahra mendesah nikmat setelah melepas tepi gelas dari bibirnya. Wanita yang kini sudah berusia 28 tahun itu tersenyum lega. Kerja kerasnya selama 5 tahun terakhir tidak sia-sia. Selama 5 tahun Zahra benar-benar bekerja keras bagai kuda. Hal itu ia lakukan selain memang karena dia memiliki ambisi, juga untuk menjadikan alasan jarang pulang ke Semarang. Sering kali dia merasa bersalah karena sampai saat ini ia masih berbohong tentang pernikahannya. Tidak ada seorang pun yang tahu jika sebenarnya ia sudah ditalak 5 tahun lalu. Lebih tepatnya, 2 hari setelah ijab kabul. Tanpa sadar ibu jari kita Zahra bergerak mengusap benda yang melingkari jari manisnya. Ya, cincin itu masih melingkar di jarinya. Bukan tanpa alasan Zahra masih memakainya, meskipun ia berada di kota yang tidak satu orang pun mengetahui tentang masa lalunya. Zahra melakukannya untuk melindungi dirinya sendiri. Dia sendirian tinggal di kota besar, dan cincin itu yang selama ini menjaganya. Beberapa pria mencoba mendekatinya. Zahra takut. Dengan memakai cincin pernikahannya, Zahra hanya perlu memperlihatkan benda tersebut. Dia wanita yang sudah menikah. Bukan hanya cincin yang Zahra pakai, tapi, foto pernikahannya pun ia pajang di meja kerjanya. Foto yang membuat teman-temannya iri karena dia memiliki suami yang sangat tampan. “Wah, pak suami sudah tahu belum, Ra, kalau kamu diangkat jadi asisten manager?” Zahra yang baru saja melamun, mengerjap. Kepala wanita itu menoleh. “Hah? Apa?” Mela berdecak. “Malah melamun. Pak Suami sudah tahu belum, kalau kamu baru dapat jabatan baru?” “Oh ….” Zahra terkekeh. “Belum,” jawabmu sambil tersenyum. “Sudahlah, suruh balik ke sini saja. Kan kamu sudah naik jabatan. Apa kamu tidak takut suamimu digoda pelakor di sana? Kalau aku jadi kamu, sudah aku kekepin suamimu itu.” Zahra tersedak ludahnya sendiri. Wanita itu buru-buru mengambil gelas yang masih menyisakan sepertiga isinya. Meneguk dua kali sebelum menurunkan ke atas meja lagi. “Wah, kamu kalau ngomong, Mel.” Doni mengommentari sang teman. “Zahra yang punya suami saja santai, malah kamu yang mau ngekepin suami orang.” Pria dengan potongan rambut cepak itu menggelengkan kepala. “Iya, ih … Mela. Eh, tapi bener juga, Ra. Suamimu kan gantengnya kebangetan. Kamu beneran tidak pernah takut dia dicicip pelakor di Jepang?" “Ya Allah … apalagi ini. Dicicip pelakor, memangnya suami Zahra makanan?” Giliran sang manager yang berkomentar. Ketampanan suami Zahra memang sering menjadi bahan obrolan mereka dikala berkumpul seperti saat ini. “Aku percaya sama suamiku. Yang namanya pernikahan itu harus didasari rasa percaya. Kalau tidak saling percaya bisa gawat. Adanya suudzon terus, bisa stres sendiri. Lama-lama gila.” “Tuh, dengar kata yang sudah pengalaman menikah lima tahun. Siapa bilang menikah itu menakutkan. Iya, kan? Sudah … kalian jangan lama-lama pada pacaran. Nikah saja biar halal.” “Mbak Nonik dulu napa? Aku masih belum siap.” “Belum siap atau belum ada calon?” Lalu mereka tertawa bersama. Seorang pelayan datang membawa tambahan pesanan mereka. “Ayo … ayo makan lagi. Pokoknya malam ini kita baru pulang kalau sudah tidak bisa bangun.” Mela yang kebetulan duduk di sebelah Doni langsung mendorong bahu sang teman. Mela mendelik. “Gimana mau pulang kalau tidak bisa bangun, stupid.” Bukannya marah karena dikatai Mela bodoh, Doni justru tertawa cukup keras sambil menarik satu potong pizza yang kejunya meler ketika ditarik. “Tenang saja, tak gendong kemana-mana.” Lalu pria 29 tahun itu mengaduh ketika dipukul oleh Mela. “Mau coba icip-icip cewek seksi?” tanya Mela masih dengan kedua mata membesar. “Ya Rabb … apanya yang seksi? Ngaca dulu, Mel. Mana ada kamu seksi? Yang bilang kamu seksi itu pasti matanya sudah rabun.” Doni menyahut. “Ngomong lagi … ayo, kalau berani ngomong lagi. Mau aku panggilin bokap? Habis nanti hidungmu itu ditonjok bokapku, Don,” kata Mela sambil menatap geregetan sang teman. Zahra tertawa melihat pertengkaran kedua temannya. Bukan hal baru. Mereka memang biasa bertengkar, tapi, setelah itu kembali baik lagi. Bukan pertengkaran yang dimasukkan ke dalam hati kemudian menjadi musuh. Sama sekali bukan. “Oh iya, Ra. Aku lupa belum kasih tahu kamu.” Nonik mengalihkan fokus Zahra dari Mela serta Doni yang masih bertengkar. “Ada apa, Mbak?” tanya Zahra yang kini sudah sedikit memutar tubuh bagian atasnya. “Besok ikut Mbak, ya?” “Kemana? Besok aku ada jadwal cek barang di daerah PIK.” “Pagi, kan?” tanya Nonik memastikan. Melihat Zahra mengangguk, Nonik tersenyum. “Pokoknya usahakan sebelum makan siang sudah sampai kantor, Ra. Kita berdua mewakili tim 2.” “Memangnya ada acara apaan sih, Mbak?” tanya Zahra penasaran. Dia tidak mendengar apapun. “Ya itu … aku lupa kasih tahu kamu. Besok akhirnya kita akan bertemu sama bos besar kita. Dia sudah balik, dan besok akan datang ke kantor.” Sepasang mata Zahra membesar. “Pak CEO misterius?” tanya Zahra. Nonik tertawa. Mereka memang memberi panggilan CEO misterius pada pemilik perusahaan tempat mereka bekerja. Karena memang orangnya semisterius itu. Belum ada yang pernah bertemu dengan pria bernama Tanaka itu, kecuali direktur mereka. Penasaran? Tentu saja mereka penasaran, tapi, tidak ada yang berani bertanya pada sang direktur. “Wah ….” Zahra membuka mulut melihat sang manager menganggukkan kepala. “Akhirnya ya, Mbak. Besok rasa penasaran kita terjawab. Seperti apa tampang CEO Misterius kita. Jangan kaget kalau lihat bapak-bapak sipit, botak dengan perut sebesar ibu hamil lima bulan.” Zahra tertawa mendengar kalimatnya sendiri. Mereka sering menerka-nerka seperti apa bos besar mereka. Ada yang menebak CEO mereka itu sudah kakek-kakek, ada yang bilang om-om ganteng, ada yang menebak botak dan perutnya buncit. Mereka menebak suka-suka mereka. “Tapi kayaknya tebakan kita salah, Ra.” Nonik mengernyit. “Oh ya? Memangnya mbak Nonik sudah dapat info seperti apa pak Tanaka?” tanya Zahra semakin penasaran. Apa Tanaka pemilik perusahaan itu akan lebih tampan dari Tanaka suaminya? Eh ... mantan suami, batin Zahra. “Ya belum, sih. Tapi yang aku dengar dari pak Seno, CEO kita belum menikah. Katanya dia datang karena berencana untuk menikah. Keluarganya kan di sini, meskipun dia hidup di Amerika.” Zahra membulatkan mulut sambil mengangguk-anggukkan kepala. “Jangan-jangan CEO kita modelan Sebastian Grey, Mbak.” Zahra cekikian setelah menyebut satu nama CEO terkenal di dunia perfilm an dewasa. “Beruntung bangat ya mbak Anna. Dapat suami kaya, keren, ganteng … perfect. Ya, meskipun orientasinya cukup menakutkan.” “Apa … apa … kenapa aku dengar nama baby kuh Sebastian Grey?” Mela akhirnya mengalihkan perhatian ketika mendengar ada yang menyebut nama seorang pengusaha yang menjadi impian pada wanita. Membuatnya bermimpi menjadi Anna sang penakluk Sebantian Grey. “Kata Zahra mungkin CEO kita modelan Sebastian Grey.” Nonik menjawab. “Aaa … biar aku jadi Anna kalau begitu.” Mela memekik senang. Wajah wanita itu berubah secerah mentari pagi. “Aku saja, lah. Kamu kan sudah punyo Doni, Mel.” Nita menyahut, membuat Mela secepat kilat menoleh ke arahnya. “Enak saja. Musuh … dia itu musuh.” “Siapa tahu kan, dari musuh jadi pacar. Banyak tuh yang begitu.” Rara ikut mengomentari. Wanita yang baru satu tahun bergabung dengan tim 2 itu tertawa. “Zahra, kamu diam. Kamu tidak boleh ikut-ikutan jadi Anna.” Mela menahan Zahra yang sudah akan membuka mulut. “Siapa yang mau ikut jadi Anna?” Zahra tersenyum. “Aku kan sudah punya mas Naka ku sendiri.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN