Bab 7. Berpisah Setelah 2x24 Jam

1585 Kata
“Loh … kok pergi?” tanya bapak Zahra terkejut ketika mendengar Naka berpamitan hendak pergi. "Mau pergi kemana?" Naka sudah akan menjawab ketika suara Zahra membuat kata-katanya tertelan kembali. “Mas Naka itu kerjanya kan jauh, Pak. Mas Naka juga tidak bisa cuti lama karena bosnya galak. Dia diancam dipecat kalau sampai cuti lama.” Zahra berucap panjang. Wanita muda itu kemudian menoleh ke arah Naka. “iya, kan, Mas?” Zahra mengedipkan sebelah mata—memberi kode agar Naka meng iya kan ceritanya. Naka menahan dengkusan. Meskipun begitu, kepala pria 25 tahun itu tetap saja mengangguk. Terserah Zahra membuat alasan apa. Yang penting dia bisa segera pergi dari rumah itu. “Memangnya kerja di mana? Kita belum ngobrol. Bapak belum tahu banyak tentang kamu, Nak Naka.” Bapak Zahra menghembus napas. "Kita ini sekarang sudah jadi keluarga." “Iya, benar. Banyak yang ingin kami tanyakan. Bukan hanya soal pekerjaan kamu, tapi, juga keluarga kamu.” Ibu Zahra menimpali perkataan sang suami. Wanita itu menatap lekat sang menantu. “Kami tidak tahu alasan sampai kamu bersedia menikahi Zahra. Tapi, Ibu harap kalian berdua bisa saling menjaga. Menikah sekali seumur hidup. Itu yang ibu doakan.” Naka nyaris tersedak ludahnya sendiri mendengar apa yang ibu Zahra katakan. Menikah sekali seumur hidup? Astaga. Kasihan sekali wanita itu, karena setelah ini putrinya akan berstatus janda, batin Naka. “Bu … nanti kan banyak waktu buat ngobrol kalau mas Naka liburan. Sekarang dia harus mementingkan kerjaannya dulu. Jangan sampai dia dipecat. Zahra tidak mau punya suami pengangguran. Di Indonesia, laki-laki lebih susah cari kerajaan, makanya mas Naka harus pergi sekarang.” Zahra kembali bersuara. “Ya sudah, nanti akhir pekan kita ngobrol. Kami juga ingin kenalan sama keluarga Nak Naka. Bagaimana kalau besok Minggu mereka diajak ke sini? Nanti menginap di sini. Biar kita bisa ngobrol banyak.” Zahra menahan ringisan melihat kedua orang tuanya begitu antusias untuk bisa berkenalan dengan keluarga Naka. “Kalau misal nanti tidak mau menginap di rumah, biar bapak carikan hotel yang dekat. Iya, kan, Pak?” Ibu Zahra tersenyum senang. Bapak Zahra mengangguk setuju. Tidak masalah menyewakan hotel satu malam untuk besan dan keluarganya. Pria itu tersenyum kala tatapan matanya bertemu dengan netra sang menantu. Dalam hati dia bersyukur karena pernikahan putrinya tidak harus gagal. Bukan hanya karena rasa malu yang akan ia tanggung. Tapi, dia lebih memikirkan perasaan putrinya. Bagaimana jika orang-orang membicarakan Zahra? Zahra berdehem hingga perhatian kedua orang tuanya beralih padanya. Melihat tatapan kedua orang tuanya, Zahra segera membuka mulut. “Mas Naka kerjanya tidak di sini, Bu … Pak.” “Lah, trus kerjanya di mana? Ya Allah, Zahra. Ibu sama Bapak tidak tahu apa-apa soal suamimu. Ayo, beritahu kami dulu. Setidaknya kami bisa menjawab kalau ditanya tetangga. Mereka pasti sudah bertanya-tanya kenapa kamu nikahnya bukan sama Wildan.” Zahra seketika terdiam. Ekspresi wajah wanita muda itu berubah. Beberapa saat Zahra kembali merasakan perihnya dikhianati orang yang dia cintai. "Maaf, Ibu tidak bermaksud--" Zahra mengedip lalu tersenyum. Wanita itu menggaruk kepalanya. Zahra melirik Naka yang duduk di sebelahnya. Mereka baru selesai sarapan. Adik Zahra belum pulang. Alea, gadis yang berusia 17 tahun itu memang sedang senang berolahraga. Pagi-pagi setelah subuh dia sudah keluar rumah. “Mas Naka kerja di luar negeri, Bu … Pak.” “Luar negeri? Kenapa kerja sampai jauh begitu?” Zahra menatap sang ibu. “Kan Zahra tadi bilang. Di Indonesia itu laki-laki lebih sudah cari kerjaan. Alhamdulillah mas Naka dapat kerjaan di luar negeri. Lumayan gajinya dollar. Kalau dollar tinggi, ya gajinya banyak.” Zahra terkekeh. “Oh … pantesan maharnya uang dollar.” Bapak Zahra mengangguk-anggukan kepala ketika mendapatkan benang merah dari cerita Zahra. “Nah … iya … itu. Makanya uangnya dollar.” Zahra memperlihatkan cengiran. “Tapi, kalau kerja di luar negeri ya kalian jarang ketemu. Kalau bisa coba cari kerjaan di sini saja. Orang nikah kalau LDR an itu rawan masalah. Apalagi kalian nikah bukan karena cinta.” Zahra kembali terdiam. Wanita muda itu menarik pelan napasnya. Ibunya tidak salah. Pernikahannya jelas bukan karena cinta. Dia tidak mungkin menyangkal. “Bukan berarti pernikahan tanpa cinta akan gagal. Asal kalian berdua punya komitmen bersama, pasti pernikahan kalian akan langgeng. Orang jawa bilang tresno jalaran soko kulino. Cinta itu tumbuh karena terbiasa.” “Lah bagaimana mau terbiasa kalau mereka tidak tiap hari bertemu, Pak?” Nurul langsung bersuara. “Ra, coba kamu tanya bos mu. Ada tidak lowongan buat suamimu. Gaji tidak sebesar kerja di luar negeri tidak apa-apa, asal kalian bisa tinggal bersama. Itu lebih penting.” Zahra menggulir bola matanya. “Zahra tidak keberatan mas Naka tetap bekerja di luar negeri kok, Bu. Kan kita bisa video call tiap hari. Sekarang zaman sudah serba mudah. Tinggal kumpulin uang buat naik pesawat kalau mau ketemu.” Sementara Zahra dan kedua orang tuanya memperdebatkan tentang pekerjaannya, Naka beberapa kali mengangkat tangan kiri—memperhatikan benda yang melingkari pergelangan tangannya. Pesawatnya 2 jam lagi. Dia tidak punya banyak waktu. Sesekali pria itu menarik napas panjang. “Menurut Ibu tetap lebih baik kerja di sini. Tidak masalah kalau gajinya lebih sedikit. Kerja di luar negeri gaji besar, tapi, tidak setiap hari bertemu istri. Belum lagi nanti gajinya habis buat beli tiket pesawat.” Naka buru-buru meraih ponsel yang ia letakkan di meja begitu benda penghubung tersebut mengeluarkan suara yang lumayan keras. Membuat Zahra dan ibunya berhenti berdebat kemudian menoleh ke arah Naka. Begitupun pria yang duduk di kepala meja. “Halo. Sudah sampai? Oke. Aku keluar sekarang.” Naka kemudian menurunkan ponsel. Bola mata pria itu bergerak hingga bertemu tatap dengan bapak Zahra. “Teman saja sudah datang. Saya harus pergi sekarang.” “Loh … gimana ini? Harus sekarang perginya?” “Iya, Bu. Saya tidak mau ketinggalan pesawat. Tiketnya mahal kalau sampai hangus,” ujar Naka yang detik berikutnya beranjak dari tempat duduk. “Terima kasih sarapannya. Masakan Ibu enak.” Pria itu tersenyum kecil. Zahra mengikuti Naka keluar dari celah meja dan kursi. “Saya permisi.” Naka menghampiri kedua orang tua Zahra yang berada di seberang meja. Naka menyalami keduanya sambil berpamitan sekali lagi. Bapak Zahra menarik tangan Naka hingga Naka membungkuk kemudian memeluk sang menantu. “Hati-hati di jalan. Jaga diri baik-baik dimanapun kamu berada. Ingat kamu sudah punya istri.” Naka menganggukkan kepala. Menarik pelan oksigen masuk ke dalam paru-paru kala merasakan tepukan tangan di punggungnya. Naka menarik tubuhnya. Tersenyum sambil menggerakkan kepala turun naik sekali lagi sebelum akhirnya memutar tubuh lalu mengayun langkah. Zahra berjalan mengimbangi langkah panjang Naka dengan sedikit kesulitan. Kedua orang tua Zahra juga mengikuti sang anak menantu. Mereka ingin melepas kepergian menantunya. Begitu banyak pertanyaan yang harus mereka tahan sementara waktu. Keluar dari dalam rumah, mereka dikejutkan oleh sebuah mobil sedan yang terlihat mewah. Seorang pria keluar dari dalam mobil kemudian berjalan setengah berlari ke teras rumah. “Pagi Om, Tante.” Pria itu mengusap telinga ketika tatapannya terarah pada Zahra. “Um … ini pasti … Zahra, ya?” Pria itu menyapa dengan anggukan kepala. Zahra tersenyum sambil mengangguk membenarkan. “Ayo, waktunya sudah mepet,” kata Naka sambil mengangkat tangan kirinya. Membuat sosok di depannya urung kembali bersuara. “Oh iya. Kami permisi dulu. Takut ketinggalan pesawat.” Pria yang baru datang itu berpamitan. Sudah hendak memutar tubuh, namun urung saat mendengar suara ibu Zahra. "Tidak dipeluk dulu istrinya? kan mau kerja jauh. Lama tidak ketemu." Ayunan kaki Naka terhenti. Sementara kedua pipi Zahra langsung memerah. Dua orang itu saling lirik. "Oh ... itu ... itu--" "Iya, benar. Peluk dulu, Bro." Teman Naka menahan susah payah tawa yang hampir terlepas melihat ekspresi wajah Naka. "Kamu juga belum cium tangan suamimu, Ra. Kalau suami mau kerja itu cium tangan biar berkah." Zahra menelan saliva. Wanita itu sedikit memutar langkah kaki kemudian buru-buru mengambil tangan Naka. "Yang kanan, Zahra. Aduh, kamu itu bagaimana?" "Oh ... iya." Zahra melepas tangan kiri Naka kemudian menari tangan kanan Naka. Dengan cepat Zahra mencium punggung tangan Naka. Zahra mengedip melihat cincin emas putih yang melingkari jari manis Naka. Cincin yang seharusnya melingkar di jari Wildan. Naka menarik tangan yang masih dipegang oleh Zahra. Pria itu melirik cepat pria yang baru saja mendorongnya hingga tak ada lagi jarak antara dirinya dan Zahra. Menghembus napas samar, Naka melingkarkan sesaat tangan kanan ke tubuh Zahra. Benar-benar sesaat, tidak lebih dari dua detik, kemudian melepas. "Aku berangkat dulu," pamit Naka yang langsung diangguki oleh Zahra. "Hati-hati di jalan." Naka langsung mengayun langkah. Pria itu menghembus napas. Melirik kesal sang teman yang terkekeh di sebelahnya. Sementara Zahra mengipas wajah yang terasa panas dengan tangannya. Bersama kedua orang tuanya, Zahra memperhatikan pergerakan Naka dan temannya hingga dua orang itu masuk ke dalam mobil, kemudian suara klakson terdengar. Detik berikutnya kendaraan roda empat tersebut melaju. Zahra tersenyum seraya melambaikan tangan. Kepalanya bergerak mengikuti laju mobil hingga mobil tak lagi terlihat. “Itu tadi mobilnya siapa, Ra? Kayaknya mahal itu mobil,” ujar bapak Zahra yang sudah menoleh ke arah putrinya. Saatnya mengorek informasi dari sang putri untuk mencari tahu siapa pria yang sudah menjadi menantunya. “Iya … kinclong begitu.” Ibu Zahra menambahkan. Zahra berdehem. “Makanya biarin mas Naka kerja di luar negeri dulu yang duitnya banyak, Pak … Bu. Biar bisa beli mobil yang bagus seperti itu.” “Oh … itu tadi mobil temannya Naka? Kirain Ibu mobil orang tuanya Naka. Jas nya juga bagus. Kayak jas yang dipakai bos-bos. Kan beda sama jas punya bapakmu, Ra.” Zahra tertawa. “Pokoknya doakan saja suami Zahra bisa kaya, Bu. Ibu juga pasti senang, kan, kalau punya menantu kaya?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN