10. Hugo Night Club

1949 Kata
Pikirkupun melayang Dahulu penuh kasih Teringat semua cerita orang Tentang riwayatku Kata mereka diriku selalu dimanja Kata mereka diriku selalu ditimang Oh, Bunda ada dan tiada Dirimu ‘kan selalu ada di dalam hatiku Zara mendengarkan lagu Bunda dari Melly Goeslow melalui smartphone yang Ia hubungkan ke audio mobilnya. Lagu yang akhir-akhir ini sering Ia putar di mobil untuk menemaninya berkendara. Lagu yang menjadi favoritnya saat ini karena rasa rindunya pada Almarhumah Ibunya. Ia memacu mobilnya menuju ke rumahnya di kawasan Kemang. Hari ini Ia pulang lebih cepat karena Pak Hananto Dosen Manajemen Resiko Perbankan Islam tiba-tiba membatalkan jadwal kuliah tambahannya karena Ayahnya mendadak masuk Rumah Sakit. Bi Inah buru-buru membuka pintu garasi saat Zara sampai di depan rumah. Dilihatnya mobil Toyota Fortuner milik Ayahnya sudah terparkir rapi di dalam garasi. Zara membuka kaca pintu mobilnya. “Papah di rumah Bi?” tanya Zara. “Iya Mba… udah sejak tadi pagi waktu Mba Zara baru berangkat ke kampus trus ngga lama Bapak pulang.” Kata Bi Inah. Zara kembali menutup kaca mobilnya lalu masuk ke dalam garasi. Sejak pertengkaran kemarin, Herman baru pulang ke rumahnya. Dalam seminggu itu Ia tak pernah sekalipun berusaha menghubungi Zara. Untungnya ada Bi Inah yang selalu menemani Zara dan berusaha selalu ada untuknya. Entah apa jadinya jika Bi Inah tidak ada di sampingnya. Setelah turun dari mobilnya, Zara langsung menuju ke kamarnya. Menaruh tas ranselnya dan berganti pakaian. Ia langsung duduk di meja belajarnya untuk mengerjakan tugas yang diberikan Pak Hananto sebagai pengganti kuliahnya yang dibatalkan siang ini. *** “Mba Zara… makan malam dulu Mba… itu Bapak juga sudah di meja makan.” kata Bi Inah yang tiba-tiba muncul dari balik pintu yang sedikit terbuka. “Iya, sebentar lagi Bi…” jawab Zara yang memang sudah sangat lapar. Sepuluh menit kemudian, Zara turun dari kamarnya menuju ke meja makan. Dilihatnya Ayahnya sudah duduk di salah satu kursi dan sudah mulai menikmati makan malamnya. Kebiasaannya sudah benar-benar berubah. Dulu Ayahnya tidak akan pernah mau memulai makan jika Zara dan Diana belum duduk di meja makan. Tapi sekarang? Benar-benar membuat Zara sedih dan merasa tidak dianggap. Ia berusaha bersikap biasa saja dan menahan air matanya yang sudah mulai menggenang di pelupuk matanya dengan menatap ke langit-langit. Zara menarik salah satu kursinya dan duduk di sana. Tepat di depan Ayahnya yang sama sekali tak menatapnya barang sedetik pun. Bi Inah yang melihatnya dari arah pintu dapur segera mendekati Zara untuk mengambilkan mangkuk nasi yang berada jauh dari jangkauannya. “Makasih Bi…” kata Zara sambil menyendok nasi ke piringnya. “Sama-sama Mba…” jawab Bi Inah. “Duduk Bi…” kata Herman tiba-tiba sambil tetap fokus ke piring makannya. “Ya Pak?” jawab Bi Inah menuruti perintah Pak Herman. “Mulai besok Bibi bisa pulang ke kampung Bibi di Purwokerto.” Kata Herman dengan nada serius. “Maksud Bapak?” tanya Bi Inah heran, tak mengerti maksud majikannya itu. “Saya udah ngga bisa bayar Bibi untuk kerja di sini lagi.” Kata Herman lagi. Zara yang mendengar perkataan Ayahnya mengerutkan dahinya sambil terus menatap Ayahnya. “Maksud Bapak, Bibi dipecat?” tanya Bi Inah memperjelas maksud majikannya itu. “Itu Bibi udah ngerti maksud saya.” “Tapi Pak… gimana dengan Mba Zara?” tanya Bi Inah yang tidak tega meninggalkan Zara sendirian. Apalagi sekarang Pak Herman jarang sekali pulang ke rumah. Herman menghembuskan napasnya kasar. “Apa perkataan saya tadi kurang jelas Bi?” “Pah…?!” panggil Zara dengan nada protes. “Bisnis Papah udah bangkrut!” Kata Herman singkat agar Zara tak banyak bertanya. “Hah? Bangkrut? Maksud Papah.?” Tanya Zara dengan nada syok. “Udah… kamu ngga usah nanya macem-macem! Jangan bikin Papah tambah pusing.” Kata Herman sambil melanjutkan makan malamnya. Kali ini Zara benar-benar sangat kecewa. Untuk masalah perusahaan Zara memang tidak ada hak untuk ikut campur. Tapi Zara sangat tahu bagaimana perjuangan Ayah dan Ibunya untuk membangun perusahaan itu dari nol sampai berkembang pesat hingga mereka memiliki segalanya. Tapi sekarang semua sudah hancur karena Ayahnya yang tidak bisa menjaganya. “Zara tau kenapa bisnis Papah sampe bangkrut… Itu karena hobby Papah yang sering mabuk-mabukkan.” Kata Zara yang tak bisa membendung kekecewaannya. “Jangan sok tau kamu! Di sini Papah yang ngatur, bukan kamu! Bisa kamu cari duit sendiri?” kata Herman dengan nada tinggi. Zara meletakkan sendoknya dengan kasar dan bangkit dari kursinya. Ia berlari menuju ke kamarnya di lantai dua. Hatinya benar-benar hancur. Ia menangis sejadi-jadinya di dalam kamar. Bi Inah yang sedari tadi mematung tanpa bisa berkata apapaun, kini memilih menuju ke dapur. Hatinya pun sangat sedih, bukan karena dipecat tapi karena Ia tidak tega meninggalkan Zara dalam keadaan seperti ini. Gimana ini ya Allah…, batin Bi Inah sambil berurai air mata. *** Zara menghapus air mata yang membuat pipinya basah dengan kedua telapak tangannya. Matanya pun sudah sangat merah. Ia menuju wastafel di kamar mandi dan mencuci mukanya. Beberapa menit Ia mematung di depan kaca wastafel. Semakin hari Ia merasa hidupnya semakin buruk. Tanpa terasa air matanya kembali menetes. Zara segera berganti pakaian dan mencari telepon genggamnya di atas tempat tidur. Terakhir kali setelah menggunakannya Ia lemparkan begitu saja di atas tempat tidur. Ia meraba-raba di bawah bantal dan selimutmya yang berantakan hingga Ia menemukannya. Ia meraih tas slempang kecilnya di gantungan baju dan langsung berlari menuruni tangga. Ia memacu mobilnya tanpa tahu tujuan, yang penting Ia keluar dari rumah untuk menenangkan pikirannya. Setelah hampir satu jam Zara berkeliling kota Jakarta tanpa tentu arah akhirnya Ia memarkirkan mobilnya di tepi jalan yang sepi. Ia sandarkan kepalanya ke sandaran kursi dengan mesin mobil yang masih menyala. Matanya terpejam, bukan ketenangan yang Ia dapatkan tapi justru bayangan-bayangan buruk yang terlintas di pikirannya. Tiba-tiba saja Ia teringat ajakan Alena siang itu. Zara mengambil telepon genggam dari dalam tas slempangnya. Membuka kunci layarnya dan mencari nama Alena di daftar kontaknya, lalu menekan tombol hijau. Beberapa kali terdengar nada sambung namun tidak diangkat. Ia mencoba sekali lagi. “Hallo Ra..” sapa Alena setengah berteriak. Terdengar suara musik yang sangat kencang hingga meredam suara Alena. “Hallo Al… lo dimana?” tanya Zara. “Hallo??? Sorry Ra ngga kedengaeran. Bentar-bentar…” kata Alena masih dengan berteriak. “Iya Ra, gimana?” tanya Alena lagi. Suara musik terdengar mengecil, sepertinya Ia sudah menjauh dari suara musik tadi. “Lo lagi dimana emang?” “Gue lagi di Hugo Night Ra. Kalo lo mau, kesini aja…” kata Rara. Hugo Night adalah salah satu Club malam di daerah Jakarta selatan. Sebuah tempat yang menyuguhkan beberapa kebutuhan bagi mereka yang ingin menghabiskan malam, diantaranya Cafe, karaoke, dan diskotek. “Diskotek??” tanya Zara sedikit heran. “Iya… ngga papa lagi kesini aja. Ngga seperti yang lo pikir kok.” kata Alena berusaha meyakinkan Zara. Zara terdiam, Ia tahu Hugo Night adalah tempat dunia malam yang sangat akrab dengan minuman beralkohol. “Hallo Ra??” “Eh, iya Ra… gue kesitu ya…” jawab Zara. Zara tak punya pilihan lain. Daripada Ia harus pulang ke rumah atau pergi tanpa tujuan lebih baik Ia memenuhi ajakan Alena. Zara berpikir tidak ada salahnya kalau Ia hanya duduk menikmati musik tanpa menyentuh alkohol. “Oke, gue tunggu ya…” Kata Alena dengan nada sumringah. Zara mematikan sambungan teleponnya dan kembali memacu mobilnya ke arah Hugo Night Club. Sampai di parkiran Hugo Night Club, Zara kembali menghubungi Alena melalui pesan singkat. Ia sedikit ragu karena ini adalah pertama kalinya Ia datang ke tempat hiburan malam. AL, gue udah di depan. Lo keluar dong. Tulis Zara di pesan singkatnya. Tak berapa lama Alena keluar dari pintu Club. Zara tercengang dengan penampilan Alena yang begitu tebuka. Sebuah denim hot pants yang dipadukan dengan tank top warna hitam. Sangat jauh berbeda dengan penampilannya di kampus. “Yuk masuk…” ajak Alena. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, Zara mengikuti Alena tanpa banyak bicara. Sampai di pintu masuk terdengar suara musik yang begitu keras memekakkan telinga dengan lighting yang menambah suasana menjadi hidup. Zara memutar pandangannya ke seluruh ruangan. Ruangan yang begitu asing untuknya. Alena melirik ke arah Zara, Ia hanya tersenyum melihat ekspresi Zara yang baru pertama kalinya menginjakkan kakinya di club malam. Dengan cepat Ia menarik pergelangan tangan Zara untuk mengikutinya. Ia menuju ke tempat teman-temannya berada. “Hai Ra…” sapa Tiara dan yang lain. “Hai…” ucap Zara. Tiara menatap Zara dari ujung rambut sampai ujung kaki. Zara menyadari di tatap seperti itu oleh Tiara. “Mmmm… gue salah kostum ya…?” kata Zara yang melihat semua yang di sana berpakaian sedikit terbuka, termasuk teman-temannya. Sementara Ia mengenakan jeans panjang dan tshirt, pakaian yang biasa Ia pakai ketika bepergian. “Ng-Ngga papa kok… lo kan baru pernah kesini.” Jawab Tiara dengan wajah sinis. Dasar aneh, batin Tiara. “Duduk sini Ra…” ajak Marsya, personil genk yang paling ramah. Zara duduk di salah satu kursi bar di samping Celline. “Lo mau minum apa?” tanya Celline. “Udah, biar gue yang pesenin.” Sambar Alena sebelum Zara sempat menjawabnya. Lagipula sudah pasti Zara juga tidak tahu minuman apa saja yang tersedia di sana. “Mas… coctailnya satu ya…” teriak Alena pada salah satu bartender dengan tato di tangannya. Ia terlihat berbisik di telinga bartender itu. Tak berapa lama minuman yang dipesan Alena pun sudah tersedia di depan Zara. “Gitu dong Ra, lo sekali-kali ke sini biar pikiran lo fresh.” Ucap Alena. “Gue yakin dia bakal ketagihan ko dateng kesini…” timpal Tiara dengan yakin. Zara hanya tersenyum sekedarnya. Ia masih merasa canggung berada di sana. “Eh, Cheers dulu yuk…” ajak Tiara sambil mengangkat gelasnya. Diikuti Alena, Marsya, kemudian Celline. “Ra…??” panggil Alena karena Zara hanya terpaku menatap gelas minumannya. “Ya...?” Zara menoleh ke arah Alena. Untuk pertama kalinya Zara terlihat culun dan kampungan. Tiara hanya menertawakan dengan tatapan sinis. “Ayo dong…” kata Alena memberi kode kode pada Zara untuk mengangkat gelasnya. Dengan sedikit ragu Zara mengambil gelas minumnya. Dari tampilannya sih terlihat menarik, berwarna kuning muda dengan irisan lemon dan gula yang diletakkan di tepi gelas. Ia mengangkat gelasnya seperti yang lain. “Untuk persahabatan kita! Cheers!” seru Alena. Mereka bersulang kemudian menenggak minuman masing-masing sampai habis. Apa?? Sahabat?? Baru sekali aja gue ikut ajakan lo trus lo anggep gue sahabat??, batin Zara. Sementara Zara terlihat ragu untuk menenggaknya, Ia takut minuman yang dipegangnya mengandung alkohol. “Kenapa ngga diminum Ra?” tanya Celline. Karena merasa tidak enak dengan teman-temannya, Zara perlahan mendekatkan gelasnya, Ia mencium aroma buah. Tanpa ragu Ia pun menenggak minumannya, reflek Ia mengernyitkan wajahnya. Rasanya begitu komplek, dalam satu gelas itu Zara merasakan sedikit asam, pahit, dan juga manis. Zara merasakan tubuhnya semakin hangat dan rileks, pikirannya pun sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Ia mulai menikmati musik yang dimainkan oleh Disc Jockey atau DJ hingga Ia melupakan semua yang menjadi prinsip hidupnya. Dunia malam memang benar-benar menjanjikan ketenangan dan melupakan segala beban dalam hidupnya. *** Sejak kedatangannya pertama kali di club malam itu, Zara menjadi sering keluar masuk Club, jarang masuk kuliah dan mengabaikan tugas akhir yang hampir selesai dikerjakannya, hidupnya berantakan. Zara yang merasa hidupnya sudah hancur, menjadi tidak perduli lagi dengan mada depannya. Apalagi ketika Bi Inah kembali ke kampung halamannya karena permintaan Zara. Ia kasihan pada Bi Inah karena Ayahnya sudah tidak lagi memberikan gaji pada Bi Inah. Keputusasaan dan godaan setan itulah yang membuat Zara ikut tenggelam dalam dunia yang nyaris tidak pernah dikenalnya selama 21 tahun hidupnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN