Di sebuah ruang kelas berukuran 9x10 meter persegi, tampak Bu Lidya Dosen mata kuliah Perilaku Konsumen Muslim sedang mengajar di depan layar Proyektor. Salah satu Dosen favorit Zara sejak pertama kali Ia masuk ke FEB (Fakultas Ekonomi dan Bisnis) dan kebetulan pula beliaulah yang menjadi dosen pembimbing Tugas Akhirnya. Seorang Dosen yang cantik, ramah dan tak pernah mempersulit Mahasiswanya.
Zara mendengarkan dengan baik penjelasan Bu Lidya hingga akhir perkuliahan walau sesekali Ia terlihat menguap karena semalam Ia kurang tidur. Pertengkaran dengan Ayahnya pagi itu benar-benar begitu membekas di ingatannya. Seperti bekas luka operasi yang pasti akan sangat sulit kembali mulus seperti semula. Apalagi selama ini Ayahnya tak pernah sekalipun berkata kasar padanya.
“Oke ya… sampe di sini pertemuan kita hari ini. Untuk minggu depan kita adakan kuis untuk materi terakhir…” kata Bu Lidya sambil mematikan proyektor.
“Yaaaaahhhh…” keluh beberapa Mahasiswa yang memang tidak menyukai mata kuliah Bu Lidya.
“Kalo ada yang mau keluar dulu silahkan.” Kata Bu Lidya yang masih membereskan buku-bukunya.
Beberapa Mahasiswa pun berhamburan keluar dari ruang kelas.
Zara membereskan buku-bukunya dan memasukkan ke dalam tas ranselnya. Ia pun berjalan keluar dengan menenteng tasnya.
“Zaraa…” panggil Bu Lidya pelan ketika Zara melewatinya.
“Ya Bu…” jawab Zara sambil mendekat ke arah Bu Lidya.
“Ibu ikut berbela sungkawa ya Ra… Maaf Ibu baru ketemu kamu soalnya.” Kata Bu Lidya menunjukkan empatinya.
“Iya makasih Bu…”
“Revisi kamu udah dikerjain? Ibu tungguin lho dari kemarin. Kalo ngga salah tinggal revisi dikit lagi kan?” tanya Bu Lidya. Bu Lidya memang selalu perhatian kepada Mahasiswanya, apalagi Mahasiswa yang Ia bimbing.
“Belum Bu… tapi segera saya selesein kok Bu.” Jawab Zara yang memang berniat ingin segera menyelesaikan Tugas Akhirnya.
“Oooh… ya udah… tetep semangat ya…” kata Bu Lidya ramah sambil memegang pundak Zara. Zara hanya mengangguk sambil tersenyum seadanya. Hanya sebentar saja bertemu, Bu Lidya sudah bisa melihat perubahan sikap Zara. Zara yang biasanya ceria dan banyak berkonsultasi dengannya, kini lebih pendiam dan terlihat murung. Mungkin tak hanya Bu Lidya yang menyadarinya, tapi juga teman-temannya hingga teman-temannya tidak terlalu mengajaknya bicara.
“Mari Bu…” jawab Zara tak kalah ramah, lalu kembali berjalan keluar kelas. Ia memutuskan untuk ke Kantin FE atau teman-teman Mahasiswa sering menyebutnya KAFE (singkatan dari kantin Fakultas Ekonomi). Zara hanya ingin melepaskan rasa dahaganya sebelum Ia melanjutkan revisi Tugas Akhirnya. Mendadak Ia ingin menyelesaikannya hari itu juga, mungkin karena Bu Lidya menanyakannya. Buat Zara itu adalah salah satu bentuk dukungan dari Bu Lidya untuknya. Karena selama ini sudah tidak ada lagi yang perduli dengan kuliahnya, kecuali Bi Inah yang sesekali menanyakannya.
Sampai di Kantin FE, Zara hanya memesan satu gelas Jus Melon dan duduk di bangku paling pojok. Seperti biasa sengaja Ia menyalakan musik dari telepon genggamnya sambil menggunakan earphone di telinganya. Salah satu kebiasaan seseorang untuk menghindari kebisingan dan membuat orang lain akan sungkan untuk menegurnya.
Zara menghabiskan jus Melonnya lalu beranjak dari tempat duduknya. Ia berjalan menuju PSB (Pusat Sumber Belajar Prof Sumitro Djodjohadikusumo) atau lebih dikenal dengan perpustakaan. Hari ini Ia berniat untuk menyelesaikan revisi skripsinya di sana. Zara memasuki pintu masuk kaca otomatis yang memiliki sensor sehingga dapat membuka sendiri tanpa disentuh. Ia tak menyadari ada dua pasang bola mata yang terus memperhatikannya. Mereka adalah Sintya dan Della, teman satu Fakultas dengan Zara namun berbeda jurusan. Mereka saling mengenal saat ketiganya disatukan dalam satu kelompok ketika Ospek tiga setengah tahun yang lalu. Mereka terbilang cukup dekat walaupun Zara hanya menganggapnya sebagai teman biasa.
“Dell… tuh Zara.” Kata cintya sambil berbisik. Della hanya mengangkat kedua bahunya, petanda Ia tak ada niatan untuk melakukan apapun. Ia ragu untuk sekedar menyapa Zara karena sejak kejadian nahas yang menimpa Ibu Zara, Zara menjadi pribadi yang berbeda. Beberapa kali Della berpapasan dengan Zara namun Zara membuang muka seolah tak melihatnya padahal jelas-jelas mereka sempat bertatap mata sepersekian detik, tak mungkin Zara tak melihatnya.
Cintya hanya mendengus, seolah kesal dengan reaksi gadis berkacamata itu, gadis lugu yang sering dicibir oleh teman-temannya atau lebih populernya disebut cupu. Tapi tidak untuk Zara, yang tidak pernah sekalipun membeda-bedakan teman. Semua sama di matanya, tak pernah sekalipun Ia memilih-milih dengan siapa Ia bergaul walaupun Ia terbilang populer di kampusnya karena paras cantiknya, pribadi yang supel, ceria, dan tentu saja karena prestasi akademiknya.
Zara menuju ke rak buku dan mencari beberapa buku referensi yang Ia perlukan untuk bahan revisinya, lalu menuju sofa yang tak jauh dari tempat duduk Cintya dan Della. Ia meletakkan tas ranselnya di lantai, mengambil laptop Asus Zenbook Pro Duo nya dan meletakkannya di atas meja.
Zara mengambil napasnya dalam-dalam.
Fokus Ra! Fokus!, batin Zara mensugesti dirinya sendiri.
Setelah itu Zara sibuk dengan buku-buku dan laptopnya.
Cintya dan Della hanya menatapnya dari jauh. Ingin rasanya menyapa dan menghiburnya, Zara pasti butuh teman untuk bisa berbagi dan menemaninya di saat-saat seperti ini. Mereka tidak tahu, apa yang sebenarnya Zara rasakan jauh lebih berat dari apa yang mereka pikir. Namun sepertinya Zara sendiri yang menolak siapa pun untuk mendekatinya. Ia merasa jauh lebih nyaman seorang diri, menikmati setiap masalahnya tanpa campur tangan orang lain. Ia tak menyadari bahwa itulah yang membuatnya semakin terpuruk, memendamnya seorang diri.
“Zara kenapa jadi gitu sih Cint?” tanya Della dengan wajah polosnya sambil membetulkan kacamatanya yang melorot dengan telunjuknya.
“Ya udah lah biarin aja, mungkin emang Zara lagi pengen sendiri.” Jawab Cintya dengan nada sedih. Ia melirik ke arah Zara dengan pandangan sendu.
“Atau jangan-jangan kita punya salah ya sama Zara?”
“Ih lo mah terlalu perasa. Kan udah jelas Zara kaya gitu sejak Mamahnya meninggal. Mungkin Dia masih sedih.”
“Ya semoga Zara cepet baikan ya Cint, biar kita bisa ngobrol lagi kaya dulu…”
“Iyaaa… Aamiin…” kata Cintya.
“Eh, Sssstttt…” tiba-tiba Cintya memberi kode pada Della untuk melihat ke arah pintu masuk dengan lirikan matanya. Della langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Dilihatnya Alena bersama genk-nya masuk ke dalam perpustakaan. Sesuatu yang sangat langka terjadi dalam tujuh semester kuliahnya.
Di FEB siapa sih yang tidak mengenal Alena dan genk-nya? Gadis-gadis populer, bukan karena prestasinya, tapi karena penampilan mereka yang centil, terlihat modis dengan barang-barang branded, dan tentu saja karena kekayaan orangtua mereka.
“Mau ngapain sih mereka ke sini? Pasti deh bikin berisik.” Kata Della yang sudah paham betul dimana ada mereka pasti selalu membuat gaduh dengan suaranya yang centil dan cempreng.
“Liat aja mau ngapain, paling cuma buat gaya-gayaan doang.” Ucap Cintya yang lebih ceplas-ceplos.
“Elo kali tuh… gue mah enggaaa…” kata Alena yang diikuti tawa teman-teman geng-nya. Tepat seperti dugaan Cintya dan Della, terdengar suara cempreng Alena dengan gaya khasnya yang membuat seluruh Mahasiswa yang ada di dalam perpustakaan menoleh ke arah mereka, termasuk Zara yang sedang serius menyelesaikan revisi skripsinya.
“Eehhh…Hussssssttttttt….!” Kata Marsya teman satu genk-nya sambil meletakkan telunjuk di depan bibirnya, membuat yang lain menyadari kegaduhan yang ditimbulkan.
Sementara Zara hanya melirik mereka seolah tidak perduli, lalu kembali fokus mengetikkan sesuatu di laptopnya. Ia tidak mau mood yang sudah Ia bangun dengan susah payah rusak begitu saja.
Alena dan ketiga temannya duduk di sofa paling ujung yang masih kosong. Setelah meletakkan tasnya di atas kursi, Marsya bangkit dari tempat duduknya dan menuju rak buku untuk meminjam beberapa buku untuk penunjang Tugas Akhirnya, sementara yang lain asyik bermain telepon genggam sambil mengobrol.
Zara menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa, tiba-tiba saja konsentrasinya buyar. Ia menutup wajahnya dengan buku yang sedang Ia baca. Hingga tiba-tiba Alena mendekatinya dan menepuk pundak Zara.
“Hai Ra!” Seru Alena. Ia tersadar dan langsung menutup mulutnya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Reflek Zara menarik bukunya dan memperbaiki posisi duduknya.
“Ngapain lo di sini?” tanya Alena.
“Lo ngga liat gue lagi ngapain?” kata Zara sambil mengarahkan pandangan ke layar laptopnya.
“Lo kenapa sih? Akhir-akhir ini kayaknya lagi banyak pikiran deh.” Kata Alena dengan mengambil posisi duduk di samping Zara.
“Ngga juga…” jawab Zara singkat.
“Udah deh ngga usah bohong, gue tau kok lo lagi banyak pikiran. Eh ntar malem kita mau jalan. Ikut kita aja yuk… siapa tau pikiran lo jauh lebih tenang.” Bujuk Alena.
“Ngga deh… gue lagi ngejar selesein skripsi gue.” Jawab Zara dengan sedikit cuek. Entah kenapa Akhir-akhir ini Alena terlihat begitu bernafsu mengajak Zara pergi bersama genk-nya.
Cintya dan Della diam-diam mendengarkan pembicaraan mereka.
“Alena tuh ngapain sih ngajak-ngajak Zara… pasti deh ngajakin ngga bener.” Bisik Cintya sambil melirik ke arah Alena.
“Iya… untung aja Zara nolak ajakannya. Gue takut Zara jadi ikut-ikutan ngga bener.” Tambah Della.
“Iya Dell…”
Sudah menjadi rahasia umum jika Alena memiliki pergaulan yang bebas. Mungkin karena kesibukan kedua orangtuanya yang sering ke luar kota bahkan keluar negeri untuk mengurus bisnis mereka atau sekedar jalan-jalan. Itulah yang membuat Alena kurang mendapat perhatian dan kasih sayang walaupun segala kebutuhannya terpenuhi.
“Ya udah… kalo lo berubah pikiran kabarin gue ya…” kata Alena yang sepertinya tidak menyerah walaupun Zara selalu menolak ajakannya. Ia pun kembali menghampiri teman-teman genk-nya.
Zara tak menjawab ajakan Alena dan kembali fokus ke laptopnya.
“Lo ngapain sih Al ngajakin Zara mulu, jelas-jelas Dia kemarin udah nolak.” Tanya Tiara yang sempat mendengar percakapan mereka.
“Kasian gue liatnya… kayaknya Dia stres berat deh gara-gara ditinggal nyokapnya. Yaaa… kali aja Dia mau kita ajakin biar lebih seru aja kalo lebih rame.” Kata Alena.