11. Pergaulan Bebas

1861 Kata
Zara membuka matanya perlahan, Ia merasakan badannya tidak enak dan sakit di kepalanya atau lebih dikenal dengan Hangover. Hangover adalah sekumpulan gejala yang biasa muncul di pagi hari setelah mabuk atau telalu banyak minum minuman keras. Biasanya gejala hangover berupa sakit kepala, tidak enak badan, pusing, mengantuk, kebingungan, dan haus dan hal ini bisa bertahan seharian. Itulah yang menjadi alasan kenapa akhir-akhir ini Zara jarang masuk kuliah. Zara melirik ke jam wekernya di atas meja nakas, sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, sudah bisa dipastikan Zara meninggalkan kewajiban sholat Subuhnya. Semalam Ia pulang sangat larut. Jam malam yang selama ini menjadi aturan di rumahnya pun sudah tidak berlaku lagi untuknya. Apalagi saat ini Ia sering tinggal sendiri di rumah mewah yang berdiri di atas tanah seluas 700 meter persegi. Ayahnya masih jarang pulang ke rumah, membuat Zara seolah hidup sebatang kara di tengah kerasnya hidup di kota metropolitan. Sejak Bi Inah pulang kampung, Zara mengerjakan semuanya sendiri. Termasuk mencuci pakaian dan menyiapkan makan untuk dirinya sendiri. Walaupun Ia anak semata wayang dari keluarga yang berada dan semua kebutuhannya sudah terpenuhi oleh Ibu dan Assisten Rumah Tangganya, tapi Zara termasuk anak yang mandiri. Itulah yang selalu diajarkan Almarhumah Ibunya. Sesekali Zara diajarkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah ketika waktunya sedang senggang. Zara segera beranjak dari tempat tidurnya dan menuju ke arah dapur karena perutnya sudah memberikan kode untuk minta diisi. Ia membuka lemari es untuk mengecek bahan makanan yang tersisa sambil menahan sakit di kepalanya. Tapi tidak ada apapun di dalam lemari es, Ia lupa terakhir kali berbelanja bahan makanan seminggu yang lalu. Kemudian Ia berjalan menuju lemari di kitchen set, hanya ada mie instan yang tersisa. Hmmm, lagi-lagi mie instan, batin Zara. Tapi apa boleh buat, hanya itu yang bisa Ia makan pagi ini. Ia malas untuk keluar rumah. Membeli makanan lewat ojek online pun Ia urungkan karena Ia harus menghemat biaya pengeluarannya karena Ayahnya hanya pulang sekali waktu, itu pun tidak selalu memberinya uang. Zara membuat mie instan seadanya, tanpa bakso, tanpa sosis, dan tanpa telur. Ia makan sendiri di meja bar dengan perasaan yang campur aduk. Andai ada Bi Inah, pasti Ia tidak akan merasa kesepian seperti ini, pikir Zara. Lagi-lagi air mata Zara tak bisa dibendung hingga tetes-tetes air matanya jatuh ke dalam mangkuk mie instannya. Zara tidak perduli, Ia terus melahapnya. Entah apa rasa mie instan yang Ia buat, semua terasa hambar di lidahnya. Teringat kembali sebelum Bi Inah meninggalkan rumahnya. Dengan terpaksa Zara menyuruh Bi Inah pergi dengan nada bicara yang sedikit kasar. Ia kasihan pada Bi Inah jika terus menerus bertahan di rumahnya tanpa dibayar karena selama ini Bi Inah bersikeras ingin tetap tinggal menemani Zara. Zara tidak mau terlalu dalam menyeret Bi Inah dalam masalahnya. “Udah Bi, Zara pengen Bibi pulang sekarang!” teriak Zara kala itu. “Bibi mohon Mba… Bibi cuma pengen nemenin Mba Zara. Bibi ikhlas ngga dibayar. Bener Mba…” pinta Bi Inah. Ia merasa Zara sudah menjadi bagian dari keluarganya apalagi selama ini Ia begitu diperlakukan dengan baik oleh keluarga Zara, terlebih Diana, Almarhumah Ibu Zara. Hingga saat itu Bi Inah berjanji untuk menemani Zara sampai akhir hayatnya. Apalagi yang akan dilakukan Bi Inah selain mengabdi pada keluarga Zara. Bi Inah yang seorang janda yang ditinggal mati suaminya dan tidak memiliki anak. “Udah lah Bi. Zara juga ngga mau denger nasehat-nasehat Bibi. Zara pengen bebas Bi!” teriak Zara. Beberapa kali memang Bi Inah mengingatkan Zara ketika Ia mulai pulang larut malam karena sudah mulai bergaul dengan temannya yang bernama Alena. “Ya sudah Mba… tapi kalo ada apa-apa Mba Zara kabarin Bibi ya… kapan pun Mba Zara membutuhkan Bibi, Bibi siap balik ke sini lagi.” Kata Bi Inah dengan terisak. Bi Inah pun sebenarnya tahu Zara tak benar-benar ingin Ia meninggalkannya. Itu karena rasa bersalah Zara pada Bi Inah yang tidak bisa membayar gaji Bi Inah dengan layak, sementara Ia bekerja seolah tidak mengenal waktu. Kala itu Zara berusaha menahan tangisnya sampai Bi Inah benar-benar pergi dengan koper besarnya menggunakan taksi yang dipesan Zara menuju Terminal Pasar Minggu. Hingga taksi yang membawa Bi Inah sudah berlalu, tangis Zara seketika pecah. Tapi semua harus Ia hadapi karena itu sudah menjadi keputusannya. Zara pun sudah mengancam Bi Inah untuk tidak memberitahukan kepada keluarganya di Medan tentang apa yang terjadi dalam kehidupan keluarganya, terutama Tante Rena karena biasanya Tante Rena yang selalu memantau keadaan Zara melalaui Bi Inah. Selesai menghabiskan mie instannya Zara kembali naik ke kamarnya. Ia kembali merebahkan tubuhnya di atas tenpat tidur karena efek alkohol semalam yang masih menguasai tubuhnya. Kuliahnya hari ini lagi-lagi Ia abaikan. *** Esok paginya, seperti biasa Zara harus menyiapkan sarapannya sendiri sebelum Ia berangkat ke kampus. Saat ini kuliah bukanlah menjadi kebutuhan untuk Zara, tetapi hanya kegiatan untuk mengisi waktu luangnya, tidak ada lagi target yang Ia kejar, semua berubah seiring dengan pergaulannya yang kian bebas. Setelah menghabiskan sarapannya yang ala kadarnya, Zara bersiap pergi ke kampus. Seperti biasa Ia mengambil sampah di dapur dan dibawanya ke tempat sampah di depan rumah untuk diambil petugas sampah, setelah itu Zara mengunci semua pintu di rumahnya baru Ia bisa berangkat ke kampus. Sampai di kampus, setelah memarkirkan kendaraannya, Zara langsung berjalan menuju ke ruang kelasnya. Di selasar Ia bertemu dengan Cintya dan Della. “Hai Ra!” sapa Cintya dengan ceria. Reflek Della menyenggol Cintya dengan sikunya. “Kenapa sih, ngga papa kali… Dia kan temen kita juga.” Ujar Cintya pada Della. Zara yang sedang fokus dengan telepon genggamnya sambil berjalan tertunduk langsung mendongakkan kepalanya. “Eh hai…” kata Zara pelan lalu kembali fokus dengan telepon genggamnya sambil terus berjalan. “Ra!” panggil Cintya dengan keras, membuat Zara tiba-tiba terhenti dan menoleh ke arah Cintya. Tak hanya Zara, tapi juga beberapa Mahasiswa lain yang mendengar suara keras Cintya. “Lo kenapa sih? Lo udah ngga anggep kita temen lagi?” tanya Cintya sambil mendekat ke arah Zara yang masih berdiri mematung. “Maksud lo?” tanya Zara heran tiba-tiba Cintya begitu emosional terhadapnya. “Udah Cint… kita ke kantin aja yuk.” Ajak Della buru-buru. Ia takut karena selama ini Ia pun baru melihat Cintya semarah itu. “Bener-bener lo udah berubah Ra. Udah bukan Zara yang kita kenal.” Ucap cintya. “Udah Cint… udaaahh…” kata Della sambil memegang kedua bahu Cintya dari belakang. “Diem lo Dell…” bentak Cintya pada Della yang berusaha mengahalanginya. “Lo tau sendiri kan Ra pergaulan Alena seperti apa?? Eh, sekarang malah lo ikutan-ikutan. Bener-bener gue ngga habis pikir. Lo sendiri yang bilang mabuk itu haram, bikin perasaan lebih baik tapi itu cuma sesaat!” teriak Cintya hingga membuat beberapa Mahasiswa kembali menatap ke arahnya. Di serang dengan berbagai pertanyaan dan pernyataan seperti itu membuat Zara merasa malu. Ia melirik ke kanan dan ke kiri, Ia menyadari saat ini mereka telah menjadi pusat perhatian. “Kenapa sih lo? Ngga jelas! Apa yang gue lakuin bukan urusan lo!” kata Zara sambil berbalik dan meninggalkan Cintya dan Della. “Tuh kan Cint… gue kan udah bilang ngga usah ikut campur.” Kata Della dengan nada polos dan ketakutan. “Kesel gue Dell…” jawab Cintya. “Ya udah yuk kita ke kantin aja…” ajak Della sambil menarik tangan Cintya. Cintya hanya bisa pasrah mengikuti kemauan Della sambil terus menatap Zara yang semakin menjauh. Sementara Zara dengan cueknya terus berjalan meuju ruang kelasnya. “Ra…” panggil Tiara yang baru datang sambil melingkarkan tangannya ke bahu Zara. “Napa lo? Girang banget.” Tanya Zara saat melihat Tiara senyum-senyum sendiri. “Bokap gue habis menang tender besar… dan tau dong gue kecipratan juga. Pokoknya gue mau traktir kalian deh ntar malem. Gimana?” tanya Tiara. “Mmmm… oke deh.” Jawab Zara. “Lo ngga seneng amat sih…” protes Tiara. “Trus gue mesti jejingkrakan gitu?” “Ya ngga gitu juga…” Pertemanan mereka kini semakin dekat. Tiara yang tadinya tidak begitu menyukai Zara, saat ini justru Tiara lah yang selalu berusaha mendekati Zara. Zara pun menikmati pergaulannya saat ini. Ia merasa kini Ia jauh lebih tenang dan percaya diri. Beban yang Ia rasakan pun sedikit berkurang ketika Ia menikmati dunia malamnya. *** Zara sangat terkejut saat kembali dari kampus. Dilihatnya dua mobil terparkir di halaman rumahnya. Satu mobil milik Ayahnya dan satu lagi tidak Ia kenal, sebuah mobil Mitsubishi Pajero sport berplat D. Mobil siapa tuh? Tanya Zara dalam hati. Selama ini Ia tak pernah melihat teman Ayahnya mengendarai mobil seperti itu. Ia pun segera memarkir mobilnya di samping mobil asing itu. Tepat ketika Zara turun dari mobilnya, Ayahnya keluar dari dalam rumah bersama dengan sepasang pria dan wanita dengan pakaian yang elegan. Sudah bisa ditebak mereka adalah pasangan suami istri. Zara menghentikan langkahnya dan kembali masuk ke dalam mobil, menunggu sampai tamu Ayahnya pergi. “Ya udah, gitu aja ya Pak Herman… nanti saya hubungi lagi via telepon.” Kata pria itu sambil terus berjalan menuju mobilnya diikuti sang wanita. “Iya, baik Pak Yoseph… saya tunggu kabarnya…” kata Herman dengan wajah ramah. Wajah yang sudah lama tidak Zara lihat. Zara hanya menatap dingin dari balik kaca mobil hingga mobil Pajero sport itu pergi meninggalkan halaman rumahnya. Zara turun dari mobilnya dan mengejar Ayahnya yang baru saja masuk kembali ke dalam rumah. “Siapa itu Pah…?” Tanya Zara. “Orang yang mau beli rumah kita… kamu kemasi barang-barang kamu… minggu depan kita pindah dari sini.” Jawab Herman yang seolah tidak ada beban dan rasa bersalah sedikit pun. Seperti mendapat serangan petir di siang bolong, Zara hanya bisa terbengong mendengar ucapan Ayahnya. Tapi Ia tak berani membantah sedikit pun perkataan Ayahnya. Ia tak mau hubungannya semakin buruk dengan Ayahnya. “Kita pindah kemana Pah?” tanya Zara dengan menahan perasaannya yang hampir meledak. “Di daerah Depok. Lagian kan lebih deket sama tempat kuliah kamu…” jawab Herman santai. “Ya udah Pah…” kata Zara yang tak berani bertanya lebih jauh. Ia pun naik ke kamarnya di lantai dua. Ia melempar tas ranselnya ke atas tempat tidur. Ingin rasanya Ia berteriak melampiaskan apa yang selama ini Ia alami dan sekarang Ia harus kehilangan rumah yang sudah lebih dari lima belas tahun Ia tempati. Terlebih banyak kenangan yang sudah terukir di tempat ini. *** Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Zara mengambil telepon genggamnya yang tergeletak di atas meja belajarnya. Malem ini jadi kan kita jalan?, tulis Zara di pesan singkat. Naahhh, gitu donk yang semangat… gue udah bilang sama Alena, Marsya, sama Celline. Setengah jam lagi kita ketemu di tempat biasa ya. Balas Tiara dengan cepat. Oke…, balas Zara. Zara segera mencuci mukanya dan berganti pakaian. Sebuah dress warna hitam di atas lutut dengan tali pundak menjadi pilihannya outfit nya malam ini. Kini penampilan Zara sudah mulai berani. Ia tak malu lagi memamerkan bagian tubuhnya yang selama ini Ia tutup-tutupi. Ia meraih kunci mobilnya dan mengendap menuju garasi mobil. Dengan cepat Ia malajukan mobilnya berharap Ayahnya tidak mengetahui kepergiannya. Malam ini Ia ingin meluapkan segala emosi dan melupakan sejenak kehidupannya yang semakin membuatnya gila!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN