1. Prolog
Zara mengambil koper pakaian di gudang yang terletak di lantai dua rumahnya, koper yang biasa Ia dan keluarganya gunakan ketika melakukan perjalanan jauh dan harus menginap. Zara menaiki bangku kayu untuk menjangkau koper di atas lemari, lalu membawanya ke kamar Diana. Sore itu Zara baru saja pulang dari kuliahnya ketika Diana memberitahunya bahwa Ia harus pulang ke kampung halaman mereka di Medan dengan penerbangan besok pagi. Tanpa sempat berganti pakaian, Zara membantu ibunya mengemas barang-barang yang akan dibawanya.
“Kenapa mendadak gini si mah? Zara kan juga pengen ikut.” Tanya Zara sedikit protes sambil membersihkan sedikit debu yang menempel di koper.
“Ini kan ngga direncanakan sayang, baru aja sejam yang lalu om Bimo telfon ngabarin kalo kakek sakit.” Jawab Diana sambil memilah-milah baju dari dalam lemari.
“Trus Zara sendirian lagi dong di rumah?” tanya Zara lagi, karena baru saja seminggu yang lalu ayah dan ibunya pergi ke semarang selama 2 hari untuk urusan bisnis.
“Papah ngga ikut kok sayang…besok papah masih ada meeting yang ngga bisa ditinggal. Jadi Mamah langsung aja pesan tiketnya. Pesawatnya besok jam 7 pagi. Kamu mau ikut antar mamah kan?” Tanya Diana.
“Pasti dong mah. Pasti Zara kangen banget deh sama Mamah… Mamah ngga akan lama kan di Medan?” Dengan manja Zara menyenderkan kepalanya di bahu Diana sambil memeluknya.
“Engga sayaaangg… kalau kakek sudah sehat Mamah langsung pulang kok, mamah janji.” Jawab Diana sambil membalas pelukan putri kesayangannya itu. Diana membelai lembut rambut Zara dan menciumnya. Dia tau betul Anak gadisnya itu tidak bisa jauh darinya.
Zahara Adzkiya adalah putri dari pasangan Herman dan Diana, lahir dari keluarga terpandang dan berkecukupan. Hidupnya nyaris sempurna, cantik, pintar, keluarga yang utuh dan bahagia. Sebagai anak tunggal, Zara begitu diperhatikan dan dimanja oleh kedua orangtuanya. Walaupun begitu, Zara adalah gadis yang mandiri. Kesibukan kedua orangtuanya mengurus bisnis property membuat Zara kerap kali ditinggal kedua orangtuanya ke luar kota untuk urusan bisnis. Di rumah, Zara hanya ditemani Bibi yang mengurusnya dari Zara masih bayi, namanya Bi Inah, sosok yang luar biasa berjasa bagi keluarga Zara. Bi Inah lah yang mengurus keperluan keluarga mereka semenjak Herman dan Diana memilih untuk hijrah ke Jakarta untuk mengadu nasib di awal pernikahan. Bi Inah lah yang memilih untuk tetap bekerja tanpa dibayar saat bisnis mereka sedang terpuruk dan tidak bisa memberi gaji yang layak. Bi Inah tidak tega harus meninggalkan Zara kecil karena Zara begitu dekat dengan Bi Inah, karena itu Bi Inah sudah dianggap keluarga oleh Herman dan Diana.
Zara dan Diana baru saja selesai mengepak baju ke dalam koper ketika sebuah mobil berhenti di halaman rumahnya.
“Itu pasti papah pulang…” kata Zara sambil melihat ke halaman rumah melalui jendela kamar.
Segera Bi Inah membukakan pintu untuk majikannya itu. Seperti biasa Bi Inah membawakan tas kerjanya dan bersiap memasak untuk makan malam.
“Bi… Bi… hari ini ngga usah masak ya Bi… nanti kita mau makan malam di luar. Nanti Bibi kita bungkusin aja, tapi mungkin agak maleman ya Bi.” Kata Herman sebelum Bi Inah menghilang ke arah dapur.
“Oh iya pak… ngga papa.” sahut Bi Inah. Bi Inah memang tidak pernah mau diajak untuk pergi bersama keluarga Herman, kecuali untuk urusan yang penting dan mendesak. Bi Inah tidak mau mengganggu quality time mereka.
“Papaaaahhh…” teriak Zara keluar dari dalam kamar orangtuanya dan memeluk Herman. Begitulah Zara, selalu menyambut dengan ceria saat kedua orangtuanya pulang bekerja.
“Eehh… anak papah… lho kok belum mandi sih masih pake baju kuliah begini?” tanya Herman. Biasanya jam segini Zara sudah mandi sore dan asyik di depan televisi sambil makan camilan.
“Iya soalnya Zara habis bantuin mamah beres-beres baju dulu.” jawab Zara dengan mimik muka sedih. Herman sudah paham betul sikap anak gadisnya itu jika Ayah atau Ibunya akan pergi keluar kota untuk beberapa hari. Herman hanya membelai rambut Zara sambil tersenyum.
“Zara mandi dulu gih... udah sore…” kata Diana menghampiri Suami dan Anak gadisnya. Zara melepaskan pelukan ayahnya, mengambil tas ransel kuliahnya yang masih tergeletak di sofa ruang keluarga lalu berjalan menuju ke kamarnya.
“Gimana Pah meetingnya, lancar?” tanya Diana karena tidak bisa mendapingi suaminya saat meeting tadi.
“Alhamdulillah lancar mah…banyak Investor Asing yang tertarik untuk menanam modal di perusahaan kita Mah. Dari awal papah udah optimis proyek perumahan Real Estate masih prospektif mengingat tingginya backlog perumahan dan kebutuhan rumah yang masih tinggi.” jelas Herman dengan penuh semangat.
“Kita pasti untung besar kali ini.” Herman menambahkan.
“Alhamdulillah ya pah…berkat doa dan usaha kita. Tapi jangan lupa…….” belum juga Diana selesai bicara, Herman sudah menimpali.
“Sedekaaaahhh…” kata Herman sambil mendekatkan wajahnya ke wajah istrinya. Diana memang selalu mengingatkan suami dan anaknya untuk selalu bersedekah jika diberi rejeki yang lebih. Dengan bersedekah, selain kita mendapatkan pahala berlipat ganda, sedekah juga sebagai penghapus dosa, dan yang pasti sebagai naungan di hari akhir jika kita benar-benar ikhlas.
“O ya mah, papah udah bilang ke Bi Inah ngga usah masak, nanti kita makan malam di luar. Jadi nanti habis sholat maghrib kita langsung berangkat.” kata Herman mengutarakan rencananya.
“Iya Pah, biar nanti Mamah yang bilang ke Zara. Ya udah papah mandi juga sana... tuh baunya bikin Mamah mau pingsan.” kata Diana sambil mengendus tubuh suaminya. Diledek begitu membuat Herman jadi terpancing.
“Tapi suka kan Maahhh…?” tanya Herman dengan suara genit sambil memeluk Diana dan menciumi lehernya. Sontak Diana berteriak kegelian mendapat serangan tak terduga dari suaminya itu.
“Aduhhh Pahhhh… udaahh… udaahh… ampun Pah… ngga enak lah takut dilihat Bibi.” bisik Diana menghentikan aksi Herman.
“Ya udah yuk temenin papah mandi…” bisik Herman sambil menarik tangan Diana menuju kamar mandi di dalam kamarnya. Diana hanya bisa pasrah memenuhi keinginan Suaminya itu sebelum Ia meninggalkannya untuk beberapa hari.
***
Setelah mandi Zara Menuju ke kamarnya, membuka tas ransel kuliahnya dan mengambil draf skripsi yang baru diambilnya dari Dosen Pembimbing. Zara membuka lembar demi lembar draf skripsinya. Yes! Tinggal revisi dikit lagi kelar deh, batin Zara. Zara adalah mahasiswi semester tujuh di Universitas Indonesia. Dia mengambil kuliah di Fakultas Ekonomi bisnis agar dapat melanjutnya usaha kedua orangtuanya. Zara ingin memberikan kejutan kepada kedua orangtuanya dengan berita kelulusannya. Di semester 7, Zara sudah mengambil mata kuliah Tugas Akhir, jadi jika proses skripsinya berjalan lancar ia bisa menyelesaiakan kuliahnya tepat 3,5 tahun, sehingga Zara merahasiakan ini dari kedua orang tuanya. Pasti keduanya sangat bangga dengan pencapaian Zara. Zara memang anak yang cerdas dan berprestasi, dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas Zara selalu mendapatkan peringkat pertama. Hmm…Zara membayangkan bagaimana ekspresi kedua orangtuanya nanti saat menerima undangan wisuda, Zara membayangkan sambil senyum-senyum sendiri.
Tok! Tok!
Krek!
Suara pintu membuyarkan lamunan Zara. Diana muncul dari balik pintu dan masih sempat melihat Zara senyum-senyum sendiri. Diana jadi penasaran apa yang sedang dipikirkan oleh putrinya itu.
“Hayooo… Zara lagi mikirin apa? Mamah liat lho Zara tadi senyum-senyum sendiri.” tanya Diana sambil memandang putri cantiknya itu dengan wajah penuh tanya. Zara menahan senyum sambil menutup mulutnya dengan tangan, tangan lainnya dengan cepat menyembunyikan draf skripsinya.
“Jangan-jangan anak Mamah lagi jatuh cinta nih.” Goda Diana.
“Iiihh…engga mamaaahh….” Jawab Zara spontan menyangkal tuduhan Diana.
“Pokoknya Mamah tenang aja…nanti juga mamah tau kok. Zara punya kejutan untuk Mamah dan Papah.” lanjut Zara dengan wajah berbinar-binar.
“Oke, kalo gitu Mamah tunggu kejutannya. Semoga mamah benar-benar terkejut ya.” Jawab Diana sambil melipat tangan di d**a, seolah menerima tantangan putrinya.
“Ya pasti dong Mah.” Jawab Zara penuh percaya diri dengan mengacungkan ibu jarinya.
“Ya udah, sholat Maghrib dulu habis itu siap-siap ya, Papah mau ajak kita makan malam diluar.” Kata Diana sembari keluar dari kamar Zara.
“Siap Mah.” Jawab Dara singkat.
Zara bergegas mengambil air wudhu dan menunaikan sholat magrib. Setelah itu berganti pakaian dan siap untuk berangkat. Zara menghampiri kedua orangtuanya yang sudah menunggu di ruang keluarga. Kemudian mereka pun berangkat ke restoran Chinese Food favorit mereka di daerah Pondok Indah. Sampai di depan restoran, Herman turun dari mobilnya dan berlari ke sisi pintu lainnya membukakkan pintu untuk anak dan Istri tercintanya.
“Wah, tumben ni Papah udah kaya sopir pribadi aja.” Kata Zara.
Herman mengulurkan tangannya untuk Diana, Diana menyambutnya dengan wajah tersipu mendapat pelakuan seperti ratu yang turun dari kereta kencana. Hufftt, Zara mendengus sambil memalingkan wajahnya melihat keromantisan kedua orangtuanya. Kemudian mereka berjalan memasuki restoran dengan disambut suara lembut waitress di depan pintu.
“Selamat malam Bapak, Ibu, Kaka… Untuk tiga ora ya pak? Silahkan…” kata waitress sambil mengarahkan ke meja di sisi sebelah kanan, lalu menyerahkan buku menu. Herman memesan beberapa menu yang tersedia. Herman sudah tau betul kesukaan Istri dan anak semata wayangnya itu tanpa harus bertanya kepada mereka.
“Ditunggu pesanannya pak.” Kata waitress sembari mengambil buku menu di atas meja dengan ramah.
“Terimakasih Mba…” jawab Herman tak kalah ramah.
Lima belas menit kemudian pesanan datang. Dalam hitungan detik meja sudah terisi penuh dengan Nasi Hainan, Fuyunghai, Kwetiau, Sapo Tahu, Wonton Soup, Dimsum Ayam, dan masih ada beberapa menu lainnya. Tak lupa Herman juga sudah memesan dua menu untuk dibawa pulang, tentu saja untuk Bi Inah. Zara dan Diana terbengong dan saling tatap melihat banyaknya menu yang dipesan.
“Ngga salah nih pah?” tanya mereka berbarengan.
“Engga dong.” jawab Herman santai. “Sesekali ngga papa lah, kita makan besar sebelum Mamah pergi, sekaligus juga untuk perayaan proyek kita yang sukses besar.” lanjutnya.
Mereka pun mulai menyantap hidangan makan malam mereka.
“Assalamualaikum Herman.” suara berat seorang lelaki paruh baya mengejutkan mereka, reflek semua menoleh ke sumber suara.
“Waalaikumsalam. MasyaAllah, Andi?” jawab Herman dengan setengah bertanya karena merasa tidak begitu yakin dengan sosok di depannya itu.
“Wah, luar biasa masih inget juga nih kamu. Iya ini aku Andi” Andi meyakinkan Herman. Sontak Herman langsung berdiri dan mereka saling berpelukan selayaknya dua orang sahabat yang sudah lama tak berjumpa. Terlihat Andi datang berdua bersama seorang perempuan yang usianya sepertinya tidak terpaut jauh. Merasa Istrinya diperhatikan, Andi menyadari bahwa Ia belum mengenalkan Istrinya.
“O ya, ini istri saya.” Istri Andi mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Begitu juga dengan Herman, langsung mengenalkan Istri dan anaknya.
“Ini Istri dan anak semata wayang kami. Anak kamu berapa? Kok ngga diajak?” Tanya Herman.
“Wah, cantik ya anak gadisnya, bisa juga nih Mah kita kenalin ke anak kita.” Andi mulai bercanda sambil melirik Istrinya, Istri Andi hanya tersenyum sambil mencubit pinggang suaminya itu.
“Boleh… boleh…” jawab Herman sambil tertawa. Zara hanya tersenyum tipis mendengar pembicaraan Ayahnya sambil terus menikmati makan malamnya.
“Anakku dua. Keduanya laki-laki. Biasalah anak laki-laki kalo udah besar udah susah diajak keluar, udah sibuk sama urusan mereka sendiri.” Andi melanjutkan menjawab pertanyaan Herman.
“Ayo gabung aja disini, kebetulan kita pesan menu banyak.” Ajak Herman agar mereka lebih enak untuk mengobrol.
“Kita baru aja selesai makan, tuh di sana (sambil menunjuk meja di sudut belakang), makanya waktu kamu dateng aku perhatiin terus, ternyata emang bener itu kamu. Kita udah mau pulang kok, kapan-kapan lagi kalau ada kesempatan kita bisa ngobrol lebih santai.” kata Andi sambil berpamitan pulang.
Herman dan Andi adalah teman satu angkatan saat mereka kuliah di Bandung. Saat itu Herman adalah mahasiswa perantauan dari Medan dan kebetulan Herman kost di salah satu saudara Andi, sehingga dulu mereka cukup dekat.
Herman kembali melanjutkan makan malamnya bersama anak dan istrinya, berbincang hingga larut malam.