CHAPTER 8

1475 Kata
Sebulan kemudian, Manaka baru berani pulang ke rumahnya sendiri. Ia tinggal di kampung itu untuk memikirkan kata-kata Aaron sambil menunggu luka di pahanya sembuh. Walaupun dia tak percaya kata putus Aaron. Heran saja, setelah semua kata-katanya, masa hanya kali itu saja bisa masuk ke dalam hati? Manaka masuk mengendap-endap, waspada untuk serangan dadakan. Namun ketika ia telah sampai di lantai atas, ia merasa tingkahnya itu konyol sekali. Ruangannya terlihat gelap, tak ada satu pun lampu yang menyala. Terasa dingin karena penghangat ruangan dibiarkan mati. Ada debu di atas perabotnya, tanda bahwa tak dihuni oleh Aaron. Ruangannya kembali seperti sediakala sebelum Aaron menumpang tinggal, kosong seperti khas rumah berandalan yang tinggal sendiri. Entah kenapa, malah membuat Manaka merasa kesepian. Padahal inilah yang dia mau, kehidupan bebas tanpa Aaron. Mereka sudah putus, sungguhan putus. Benar-benar tak akan bertemu lagi ...? Tunggu dulu!? Apa jangan-jangan Aaron bahkan sudah meninggalkan Jepang!? Lalu Manaka harus mencarinya ke mana? Tuan muda sok hebat itu bisa banyak bahasa, punya uang dan kekuasaan. Dia bisa di mana saja sekarang, di tempat yang bahkan tak pernah Manaka bayangkan sekalipun. “Apa yang kupikirkan? Siapa yang peduli dia ke mana! Malah bagus tak akan bertemu lagi!” Manaka mulai marah-marah sendiri, menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Tidur di sembarangan tempat seperti dulu, ketika tak Aaron yang akan menggendongnya ke atas tempat tidur tiap kali dia tidur sembarangan. Gagal mencoba untuk tidur, Manaka pergi ke dapur mencari minum. Namun saat ia membuka kulkas, isinya kosong. Air mineral pun tak ada. Yang benar saja? Memang dari dulu seperti itu kok. Apa masalahnya? Ia memutuskan untuk minum air keran, membuka lemari mengambil gelas. Saat itulah, Manaka terdiam lagi. Gelasnya yang dulu hanya ada satu, kini jadi banyak dengan bentuk yang lucu-lucu. Pastilah Aaron yang beli, memang siapa lagi yang berkeliaran di dapurnya setiap hari? “Bikin kesal saja! Kalau mau pergi, bawa barang-barangmu sekalian!” Ujung-ujungnya Manaka marah-marah sendiri lagi, minum dari keran langsung tanpa menggunakan gelas. Matanya lagi-lagi menemukan hal yang menambah rasa kesal, deretan daun teh koleksi Aaron. Berjejer rapi di rak kayu atas bak cuci. “Aku benci teh! Minum yang seperti ini kayak kakek-kakek saja!” Manaka lalu mengambilnya, membuang semuanya ke dalam tempat sampah. Selanjutnya ia memutuskan untuk tidur di kamar saja, tapi lagi-lagi ... gorden dan seprai yang Aaron beli membuat sakit mata. Belum lagi pajangan kamar, parfum dan jam tangan Aaron yang tertinggal di atas rak. “Ada lagi!?” teriak Manaka frustrasi, melemparkan parfum Aaron hingga pecah. Namun, aroma yang menyebar memenuhi kamarnya itu malah semakin mengganggu, mengingatkan Manaka akan sentuhan penuh tuntut pemilik aroma itu. Mereka hanya tinggal bersama selama empat bulan. Kenapa barang Aaron ada sebegini banyaknya? Manaka bisa gila kalau tinggal di sini lebih lama lagi! Pada akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke rumah ayahnya saja, sekalian melihat keadaan Yuki – adik tiri-nya. Namun sekali lagi, peninggalan Aaron begitu membuatnya tertekan secara mental. Manaka berpapasan dengan Emery. Kembaran Aaron yang sebenarnya tak begitu mirip, tapi di mata Manaka yang sedang kacau ... sosok Emery bagai cerminan Aaron versi wanita. Manaka baru ingat, kalau Emery memang tinggal di dekat rumah ayahnya. “Cih! Mainan Aaron rupanya. Aku benci laki-laki tua, jangan menatapku!” Emery sensian, terganggu atas tatapan tajam Manaka. Semua laki-laki dan perempuan di atas sepuluh tahun itu, baginya adalah orang tua. Emery benci mereka, apalagi yang bermuka sangar dan tua seperti Manaka. “Mulutmu busuk sekali, sama seperti kembaranmu,” balas Manaka ikut sensian. Tak bisa cari ribut dengan Aaron, dia jadikan Emery pengganti. Padahal jelas-jelas mereka itu kepribadian dan sosoknya berbeda. Hanya tinggi badan saja yang sama. “Kau buta? Jangan samakan aku dengan penipu itu! Pacar apa yang tak mengenal kepribadian pacarnya sendiri! Aaron memang berselera rendah.” Mulaikan, mulut jahat Emery bersuara. Kalau ditantang, ya dia membalas. “Aku bukan pacar saudaramu!” “Huh!? Maaf, aku lupa kau itu mainannya!” “Apa masalahmu! Kenapa bicara seperti padaku!” “Itu pertanyaanku! Kenapa kau menggangguku?” “Kau yang mulai bicara seenaknya!” “Bilang saja kau habis dibuang sama Aaron, makanya melampiaskan padaku!” Manaka langsung bungkam, tebakan Emery tepat sasaran. Tentu saja Emery segera sadar, dia menyeringai sombong. “Jadi benar? Kasihan.” Mengejek Manaka dengan ekspresi wajah menghina sekali. “Tutup mulutmu, dasar kurang ajar!” Selanjutnya tinju Manaka yang berbicara. Ia menyerang Emery dengan gegabah, sehingga Emery terpancing untuk berkelahi. Tinju Manaka, ditahan oleh kaki Emery. Gadis remaja itu tak pernah ragu menggunakan tubuhnya yang lentur, menaikan kaki hingga ke depan wajahnya. Lalu ia melompat dengan kaki satunya, memutar tubuhnya di atas udara untuk melakukan tendang berputar. Telak. Tendangan itu mengenai leher Manaka hingga pria itu jatuh menabrak pagar tembok rumahnya sendiri. Dipermalukan oleh gadis remaja lima tahun lebih muda darinya. “Sial! Gen kalian sialan sekali. Kekuatan itu ada dari lahir ya!?” Manaka mengumpat, menahan kesakitan di lehernya. Emery mendengus. “i***t. Bakat mungkin bisa didapat sejak lahir, tetapi teknik bela diri dan kekuatan didapat dari kerja keras. Sebelum kau menghakimi seorang gadis muda, bekerja keraslah terlebih dulu untuk memperbaiki kelemahanmu.” Kembaran Aaron itu bersikap sok dewasa, menasihati pacar adiknya dengan sombong. Emery bersedekap, menginjak pundak Manaka yang kini terduduk lemas. Pada saat itulah, seorang pemuda sepantaran gadis itu berlari menghampiri mereka sambil berteriak, “Apa yang kaulakukan, Ketua! Itu namanya penganiayaan!” “Cih! Kau lagi Hideaki! Mau aku bilang kami mengobrol juga kau tak akan percayakan!?” Emery berteriak balik, tapi sambil kabur. Lelah dengan semua ceramah dari pemuda itu. Kupingnya sudah panas, sebal juga diikuti setiap hari sepanjang ia memakai seragam, hanya demi menjaga nama baik sekolah. Alasannya tindak pencegahan masalah yang akan dilakukan oleh Emery, padahal orangnya sendiri tak pernah merasa berbuat masalah. “Iyalah! Mana ada mengobrol seperti itu. Lehernya memar dan kau menginjak bahunya!” “Itu namanya menasihati pacar adik, kau tahu apa?” “Jangan berbohong padaku!” Manaka terpaku, melihat bagaimana semangatnya mereka. Berlari kencang sambil teriak-teriak. Seakan energinya tak habis-habis, dasar masa muda. Setelah ditinggal sendiri, Manaka bangkit berdiri. Berjalan ke pintu gerbang sejauh 20 meter itu. Ia masuk tanpa memedulikan sapaan penjaga gerbang, pergi ke kamar yang sudah lama ia tinggalkan. Langsung menjatuhkan badan ke atas tatami, terlalu malas mengeluarkan futon. Manaka merasa kesepian. Semakin tak ingin dipikirkan, semakin pula bayang-bayang Aaron hinggap di benaknya. Padahal sampai pagi ini, dia masih tak peduli. Memaki Aaron selama di dalam kereta, sibuk memikirkan kalimat pembelaan diri dan alasan berselingkuh yang tepat. Namun, ketika ia telah memastikan Aaron benar-benar memutuskannya, hati Manaka tersama lompong, seakan isinya ikut dibawa pergi oleh Aaron. Manaka tak tahu kenapa. Biarpun ingin memastikan, dia juga tak tahu harus mencari Aaron ke mana. Jalan ke rumah tentara itu pun ia tak tahu, gara-gara pingsan sepanjang perjalanan datang dan tidur saat perjalanan pulang. “ARGH! ADA MENYUSAHKAN, TAK ADA KEPIKIRAN!” teriak Manaka putus asa, pukul-pukul tatami melepaskan stres. Tiba-tiba dia dapat wangsit. Ingat pada Emery yang masih bilang dia pacar adiknya – Aaron. Manaka lalu berdiri, berlari keluar menuju ke apartemen Emery. Kalau yang ini dia tahu, soalnya Yuki itu penguntit setia Emery dan Manaka pernah menemani Yuki membuntuti, hingga mengintip kegiatan Emery lewat jendela sepanjang hari. Baru kali ini Manaka bisa merasa bersyukur atas perbuatan kriminal yang ia lakukan. Menjadi penguntit pun, ternyata ada manfaatnya juga. *** Emery bersedekap dengan culas saat membukakan pintu, dikiranya itu kurir pengiriman figure yang ia pesan. Ternyata Manaka, tamu tak penting sekali. “Apalagi? Aaron tak tinggal di sini.” Ya sudah, sikapnya juga buruk. Berharap Manaka sadar diri sedang diusir dan pulang dengan sendirinya. Sayangnya Manaka tak pernah punya kesadaran diri, dia menyelinap masuk menyelip dari celah antara dinding dan badan Emery. “Aku tahu, kau sudah mengusirnya. Jadi Aaron tak bisa tinggal di sini lagi.” “Kau salah. Aaron sama tak tahu diri denganmu, dia tak pernah pergi mau diusir ratusan kali pun. Dia tak tinggal di sini lagi karena ingin tinggal denganmu. Kenapa? Aaron kabur dari rumahmu? Atau dicampakkan sungguhan?” “Kenapa?” Manaka bertanya dengan polos, ingin tahu kenapa Aaron malah memilih tinggal dengannya daripada rumah kakak yang selalu ia cemaskan. Selama ini Manaka kira karena Aaron tak diperbolehkan tinggal di sini, makanya menumpang di tempatnya. “Kalau bicara yang jelas. Apanya yang kenapa!? Kau itu sudah tua, jangan memancing emosiku terus. Bersikaplah layaknya orang tua!” Emery malah emosi, cengkeram kerah baju Manaka. Kesal, tak paham dengan pertanyaan sepotong-sepotong itu. “Ketua! Apalagi yang kauperbuat padanya!?” teriak Hideaki, rupanya dia sedang main ke sini. Atau kata lainnya, memaksa bertamu agar Emery mau mengerjakan tugas OSIS bersama dengannya. Tak bisa di sekolah, di rumah pun jadi. “Aku sudah bilang, Hideaki. Ini namanya pembicaraan dari hati ke hati dengan pacar adik yang bodoh!” “Jelas-jelas itu mengancam, turunkan dia, Ketua!” Astaga ... kepala Manaka sakit. Susah sekali berkomunikasi dengan anak muda terlalu bersemangat dan kasar seperti Emery.                                
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN