3

1516 Kata
Pink mengelap meja dan kursi sebelum café buka. Ia dengan giat melakukan tugasnya dengan pantauan manager café, Rafael. Rafael masih muda, mungkin masih berusia 32 tahun. Tugas Pink sendiri hanyalah sebagai pramusaji. Tapi di café ini para pekerjanya sangat menyenangkan, apalagi pemilik café, Samuel yang juga masih muda, berkarisma dan kaya raya. Saat itu Pink sedang membutuhkan pekerjaan dan café ini baru saja buka. Tanpa pikir panjang ia langsung melamar dan diterima menjadi pegawai kontrak. Sebuah keberuntungan yang jarang sekali didapatkan di masa sulit seperti ini. “Pink, jangan lupa ya, kalau ada yang pesan lasagna jangan dilayani dulu. Perintah Pak Samuel,” kata Rafael. “Iya Pak,” jawab Pink sambil membersihkan meja kasir. “Eh, kamu tahu berita belakangan ini?” “Apa Pak?” tanya Rini, petugas kasir yang berdiri di samping Pink. “Itu, si Bintang, gimana sih. Kan rame ceritanya. Kalian tahu nggak sih? Dia itu temennya temenk. Rumornya emang dia itu dicelakai tapi enggak tahu sama siapa,” Rafael bercerita sambil melirihkan suaranya. Pink mengendus dan menghembuskan nafas panjang karena sejak kemarin hanya berita Bintang yang menjadi pembicaraan semua orang. “Jangan gitu Pak, nanti arwahnya denger terus nyamperin kita loh,” kata Pink agar mereka berhenti membicarakannya. “Ah, jangan nakut-nakutin gitu dong Pink!” kata Rini sewot karena Rini memang penakut. “Tapi kalau benar dia datang dan meminta pertolongan pada kalian, apa yang akan kalian lakukan?” tanya Pink penasaran meskipun ia tidak ingin berurusan dengan hal itu. Rafael berfikir sejenak dan berkata, “Kalau posisiku, aku sedikit mengenal dia meskipun tidak intens. Aku bertemu denganya beberapa kali saja dan dia orang yang menyenangkan meskipun sedikit cablak. Tapi melihat akhir dia yang tragis, aku jadi kasihan dan ingin membantunya, iya nggak sih? Kata temen aku nih dia setiap bulan selalu menyisihkan penghasilannya untuk membiayai anak yatim piatu di beberapa panti asuhan. Kalian pernah tahu stasiun televisi yang memberitakan hal seperti ini?” Pink dan Rini menggelengkan kepalanya.  “Memang enggak ada yang tahu, hanya orang-orang dekatnya saja. Dan itulah sisi baik Bintang. Dia juga enggak sombong orangnya. Malah kata temen aku ada salah satu anak panti yang disekolahin Bintang ke Malaysia loh karena anak itu memang berprestasi,” lanjut Rafael. “Kalau dia sebaik itu, kenapa bisa ada yang mencelakainya?” tanya Pink polos. “Pink, dunia ini kejam tahu nggak. Kamu mungkin masuk ke tempat yang tepat, yang hanya ada sedikit orang yang tidak menganggapmu atau tidak menyukaimu. Tapi Bintang beda, dia terkenal, tampan, banyak produser film yang pengen dia main di film mereka dan pastinya banyak yang enggak suka sama Bintang.” “Jelas Pak. Sudah jelas. Kita lihat aja siapa yang paling diuntungkan dari kepergian Bintang,” ujar Rini. Obrolan mereka dihentikan oleh bunyi pintu yang terbuka. Di balik pintu muncul seorang laki-laki berusia 35 tahun. Ia berkulit gelap dan rambut gondrongnya dikuncir kebelakang. Tato naga terlihat di lengan atas sebelah kiri yang sebagian tertutup lengan kaus warna putihnya. “Pagi Chef!” sapa Rafael. “Lagi ngobrolin apa? Serius amat kayaknya. “Ini Chef, lagi ngobrolin beritanya Bintang itu lo.” Pink melihat sosok lain di belakang Chef Raymon. Ia kenal sepatu dan celana jeans yang dikenakan sosok itu. “Guys, bisa enggak kita ngobrolin yang lain aja?” tanya Pink sambil memandang sosok di belakang Chef Raymon yang terlihat kikuk dan keheranan. Sosok itu adalah Bintang. Bintang melihat Pink dan tersenyum lebar, senyum yang sama sekali tidak menakutkan. Ia melihat Pink seperti sedang melihat teman lama yang sudah lama ia rindukan. Bintang kemudian menghampiri Pink yang menunjukkan ekspresi ketidaksukaannya atas kehadiran Bintang yang hanya bisa dilihat olehnya. Bintang berjalan seperti melayang dan kemudian menembus tubuh Chef Raymon yang ada di depannya. “Ternyata ada yang membicarakanku di sini, makanya aku bingung kenapa bisa tiba-tiba ada disini padahal aku tadi sedang tiduran di dalam kamarmu,” ujar Bintang yang tak dihiraukan oleh Pink. “Tadi pagi juga gitu, aku tiba-tiba pindah ke halte bus. Tapi aneh sekali, aku hanya berpindah jika yang membicarakan diriku berada dekat denganmu. Kalau enggak, aku enggak pindah. Kenapa ya?” “Mana aku tahu,” gumam Pink. “Kenapa Pink?” tanya Raymon. “Iya nih Pink dari tadi aneh,” kata Rini. “Enggak, aku pernah dengar kalau kita membicarakan orang yang udah enggak ada, dia bakal nyamperin kita. Masak pada enggak pernah tahu sih?” “Kan, dia dari tadi bicara itu terus Chef. Udah ah, aku cek bahan di belakang aja,” kata Rafael sambil pergi ke dapur yang diikuti dengan Raymon. “Tapi bener loh kata Pink, hati-hati ya kalau di belakang,” bisik Raymon pada Rafael. “Ya elah Chef, kenapa nakutin gitu sih?” *** Di rumah duka Bintang, Pak Santos terduduk lemas di depan peti yang berisikan raga Bintang. Peti itu sudah ditutup rapat dan tak seorangpun boleh membukanya karena keadaan raga Bintang yang tidak utuh. Para pelayat meletakkan bunga mawar merah di sisi peti. Pak Santos terlihat sedih, wajahnya muram dan tatapannya kosong. Seseorang kemudian menghampirinya, ia menepuk pundak Pak Santos dan membantunya berdiri. “Sudah waktunya dimakamkan Pak,” ujar pria itu lembut. Pak Santos mengangguk dan menyingkir dari sana. Ia ingin membantu mengangkat peti tersebut tapi badannya terasa lemah menahan kesedihan. Bintang bagai anak kandungnya karena Pak Santos tidak memiliki keluarga. Ia sampai saat ini masih belum menikah dan tinggal berdua dengan Bintang di rumah yang mereka bangun dengan kerja keras. Lima laki-laki datang membantu pria yang tadi menepuk pundak Pak Santos. Mereka berenam mengangkat peti dan membopongnya ke ambulance jenazah yang telah terparkir di halaman rumah. Di luar banyak penggemar Bintang yang ikut menunggu pemakaman Bintang. Tangis mereka pecah saat peti Bintang diusung keluar.  Pak Santos masuk ke dalam ambulance dan duduk di samping peti. Ia mengelus penutup peti dan mengandaikannya seperti sedang mengelus tubuh Bintang. Ia ditelan kesedihan mendalam dan akan berpisah selamanya dengan Bintang. Air matanya menetes perlahan lalu ia mengusapnya. Tak ada kata-kata yang terucap dari mulut Pak Santos. Ia terus diam. Ambulance berangkat menuju tempat pemakaman yang tak jauh dari kediaman Bintang. Jaraknya tiga kilometer. Pemakaman itu terletak di sisi jalan besar dengan pagar besi disekelilingnya. Dari jauh telihat puluhan orang sudah menunggu disana. Saat ambulance telah berhenti, petugas pemakaman membuka pintu belakang ambulance dan mengeluarkan peti lalu membopongnya menuju liang lahat yang telah disiapkan. Tempatnya ada di baris ke lima dari jalan masuk pemakaman. Deretan makam disana tertata rapih dan diselimuti rumput hijau. Suasana sore yang sendu menambah keharuan saat peti di masukkan ke liang lahat. Pak Santos terduduk lemas, tangannya terkatup dan bibirnya memanjatkan doa untuk Bintang. Petugas pemakaman mulai mengisi liang tersebut dengan tanah sampai peti tidak terlihat lagi. tangis Pak Santos dan penggemar Bintang yang hadir di pemakaman hari itu tak bisa dibendung terutama saat pemuka agama memberikan doa terbaiknya untuk mendiang Bintang. Pink yang telah menyelesaikan shiftnya berjalan menuju halte bus karena angkot yang ia tumpangi mengalami pecah ban. Karena jaraknya tidak terlalu jauh, ia memutuskan untuk berjalan kaki. Ia melewati pemakaman tempat raga Bintang dimakamkan. Pink melihat kerumunan dari luar pagar, terlihat ada seorang penggemar Bintang yang jatuh pingsan dan ditolong oleh seorang pria. Pria itu menggendong gadis ke bawah sebuah pohon dan salah seorang temannya mencipratkan air ke wajahnya. Tak jauh dari gadis itu, ada dua orang laki-laki yang sedang berdiri sambil mengamati proses pemakaman. Pink melihat salah satu laki-laki membuka kacamata hitamnya hingga wajahnya terlihat dengan jelas sedangkan seorang lagi berdiri membelakangi Pink tapi Pink seperti pernah melihat sosok itu entah dimana. Gadis itu mulai membuka mata dan kemudian menangis sambil menyebut nama Bintang dengan keras. Deg! Jantung Pink seakan berhenti saat mendengar nama Bintang. “Jadi ini pemakaman Bintang?” gumamnya. Dan seketika itu Bintang yang tertinggal di café muncul perlahan dengan senyum cerianya. “Aku tadi sedang menyantap lasagna yang lezat, menyenangkan sekali,” ucap Bintang. Pink merasa tidak enak dan beranjak pergi dari sana tanpa sepatah katapun berharap Bintang mengikutinya. Awalnya Bintang tidak menyadari dimana ia sekarang sampai ia menoleh ke arah kerumunan yang berada dipemakaman. Langkah Bintang terhenti seketika. Ia melihat banyak orang yang ia kenal ada disana. Para pelayat yang telah selesai memberikan penghormatan terakhir pada BIntang satu persatu meninggalkan pemakaman. Mereka melewati arwah Bintang yang berdiri di tengah jalan pemakaman. Pink menoleh ke arah Bintang dan menghentikan langkahnya. Ia melihat Bintang dengan raut wajah yang berbeda dari sebelumnya yang biasanya ceria. Kini Bintang mematung sambil memandang makamnya sendiri yang mulai ditinggalkan para pelayat. Pink tak tega dengan pemandangan ini dan menunggu Bintang tanpa beralih dari tempatnya berdiri. Pink melihat air mata dari mata Bintang yang redup. Ia menagis saat melihat sosok Pak Santos yang terngah duduk di pinggir makamnya yang masih baru. Tiba-tiba hati Pink ikut merasakan sakit dan teringat mendiang ayahnya. “Apakah waktu itu ayah juga menangis seperti ini saat melihatku dari kejauhan?” tanya Pink dalam hati.  Pink kemudian menghampiri Bintang saat para pelayat sudah meninggalkan pemakanan dan menyisakan Pak Santos dan beberapa rekan Bintang saja. “Kau mau kesana?” tanya Pink. Bintang tidak menjawab. Ia malah menangis tersedu-sedu sampai terduduk. Pink tak bertanya apa-apa lagi dan menemani Bintang disana sampai ia selesai meluapkan kesedihannya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN