Kesepian Yang Terbayar

1734 Kata
Ridho mengantar Cindy pulang ke rumah mertuanya atas permintaan Cindy. Katanya gadis kecilnya diminta pulang oleh mertuanya dan juga suaminya. Mau tidak mau Ridho mengantar Cindy sampai di sana. Memastikan kalau keponakan kesayangannya itu baik-baik saja sampai di Jakarta. Setiap pulang ia akan mengajak Cindy menggunakan pesawat agar sedikit memakan waktu. Di dalam taksi menuju rumah mertuanya. Ada pesan masuk. “Siapa?” Cindy menoleh usai pamannya bertanya. Itu adalah pesan dari Reyhan yang mengatakan kalau dia tidak bisa menjemput ke bandara. Memangnya kapan Reyhan peduli? Seingat Cindy untuk makan pun suaminya tidak pernah peduli lagi. Andai bukan mengingat ancaman dari Reyhan mengenai ayahnya yang akan hidup sengsara, Cindy tidak akan pernah mau untuk pulang lagi ke rumah mertuanya walaupun dia disayangi. Sampai di rumah mertuanya, Cindy turun dari mobil. “Om langsung ke hotel, ya. Besok balik.” “Om mampir dulu. Nanti aku dimarahi sama Mama.” Ridho merasa tidak enak hati mampir ketika melihat rumah mertua Cindy yang sangat besar dan ternyata dari kalangan orang berada. Banyak perbedaan dari segi ekonomi dan juga keadaan keluarga mereka yang berbeda. Tapi di sini diterima, Cindy diterima oleh mama dan juga papa mertuanya. Diperlakukan seperti anak kandung sendiri tanpa dibeda-bedakan dengan Aisha yang statusnya adalah anak kandung. jajan, keperluan kuliah semua dipenuhi oleh mertuanya. Cerita-cerita Cindy selama ini tidak pernah dibantah oleh mertua. Apa yang dia ceritakan selalu didengar oleh kedua mertuanya. Memasuki halaman rumah usai sopir taksi pergi meninggalkan rumah. Kedua satpam yang berjaga setiap hari di sana menyambutnya dengan baik. Cindy yang membawa kopernya masuk. Mengetuk pintu seperti biasa sebagai sopan santunnya selama di sini. Ia menganggap dirinya seperti tamu di rumah mertuanya sendiri. Cindy berusaha sebisa mungkin untuk tetap hidup dengan baik selama berada di rumah mertuanya. “Hey, udah pulang?” sambut mama mertuanya ketika dia pulang dipeluk melepas rindu yang mendalam. Ridho tahu bahwa keponakannya selalu membanggakan mertuanya yang baik. Baru pulang dari Sleman dan belum melihat kedatangan Ridho, sikap mama mertuanya Cindy terlihat cukup hangat dengan memeluk Cindy yang baru saja pulang. “Ma, aku bawa Paman aku ke sini.” “Aiiih, ajak masuk dong!” Cindy mengajaknya ke ruang tamu dan disiapkan minum oleh mertuanya Cindy. “Sebentar lagi saya mau pamitan Kak. Saya titip Cindy, ya.” “Besok aja, jauh lho ke Sleman. Di sini aja dulu. Nanti Papanya belum pulang nih. Nggak enak nanti kalau kamu pulang malah mertuanya Cindy nyalahin saya.” Ridho melirik ke arah Cindy dan merasa tidak enak berlama-lama di sini. “Nginap dulu, besok pulangnya. Lagian kan besok hari minggu, mana mungkin ada kantor yang buka. Cindy udah cerita kalau kamu kerja di salah satu instansi pemerintahan. Jadi nggak mungkin kan kerja besok?” Ridho diam walaupun sebenarnya dia ingin pulang dengan segera karena merasa tidak nyaman sekali ada di sini. Rumah ini cukup besar, lebih besar dari rumahnya Ramli yang tidak ada apa-apanya. “Ma, Kak Reyhan belum pulang?” “Belum, kemarin dia nanyain kamu kapan pulang. Tadinya mau jemput kamu ke Bandara. Tapi dia lagi rapat sama Papa kamu. Jadi nggak bisa jemput tuh.” “Iya dia juga chat sih tadi katanya nggak bisa jemput.” “Dia beliin kamu mobil. Katanya nggak usah naik angkutan umum lagi. Kamu juga nggak pernah mau bareng sama Aisha, padahal satu kampus.” Reyhan membelikan Cindy mobil? Apa suaminya yang gila sudah waras? Tidak seperti biasanya Reyhan bersikap seperti itu dan membelikan dia mobil, biasanya jangankan untuk mobil. Dia dan Reyhan sering bertengkar. Bahkan Cindy tahu kalau suaminya tidur dengan wanita lain. Malam harinya pamannya tidur di kamar yang jaraknya dua kamar dari tempat Cindy dan Reyhan. Mereka tidur di kamar yang sama, perlakuan Reyhan juga tidak separah dulu. Waktu makan malam juga Reyhan menghargai adanya paman Cindy di sana. Usai mengeringkan rambut, Reyhan berbaring di tempat tidur. “Kamu betah amat di sana?” Cindy menoleh ditanya hal demikian oleh suaminya. “Di sana kan kampung Ibu.” “Mama hampir bunuh aku karena nggak jemput kamu. Aku sibuk kerja. Lain kali kalau aku sibuk kamu jangan pergi segala. Aku kena sasaran Mama terus soalnya.” Cindy meletakkan ponselnya. “Mobil yang Mama maksud, itu kenapa kakak beliin?” “Tanggung jawabku.” “Tapi kakak sering ngomong nyakitin hati.” “Biasa aja.” “Tuh kan mulai lagi.” “Kamu sakit hati emang?” “Sakit kalau kakak jutek.” “Tapi nggak ada maksud apa-apa kok.” “Tapi nyebelin aja.” Reyhan mencengkram wajah Cindy lalu menjepit hidungnya. “Udah ngomelnya?” Cindy cemberut melepaskan tangan Reyhan dari wajahnya. “Kakak seriusan itu beliin mobil buat aku?” “Belajar nyetir, kamu kuliah bawa mobil. Nggak usah naik angkot segala. Panas banget. Kalau waktu libur ya belajar, ada tempat kursus, bikin SIM, kamu udah cukup umur buat bikin SIM.” “Belum ada duit.” “Duit apa? Udah ditransfer ke rekening kamu seminggu lalu.” “Kakak ngirim?” “Nafkah kamu, ucapan aku waktu itu jangan diambil hati. Itu jatah kamu nanti selama sebulan.” “Berapa emangnya?” “Nggak banyak, sepuluh juta buat kebutuhan kamu kuliah. Printer ada di kamar juga, kamu pasti butuh printer untuk tugas nanti.” “Kakak belikan?” “Ya iya.” Cindy masih tidak menyangka kalau suaminya tiba-tiba bisa berubah seperti ini. Dia memegang dahi suaminya. “Apaan ini?” “Mana tau kakak demam.” “Demam apanya? Sehat gini kok.” “Kakak aneh.” “Suami baik dibilang aneh, suami jutek malah cemberut. Mau kamu apa?” “Bingung, makanya nanya. Biasanya nggak gini. Terus kakak juga waktu itu sama wanita lain.” Reyhan menutup bibir Cindy. “Jangan bahas itu lagi. Aku nggak mau bahas yang bisa bikin kita retak.” “Retak?” “Kamu bayangin suami kamu lagi hubungan badan sama orang lain. Terus sekarang tidur di samping kamu. Bagaimana perasaan kamu?” Cindy terdiam sejenak. Cukup masuk akal kalau dipikir-pikir. “Ya juga sih.” “Kamu datang bulan nggak?” “Hmm iya.” “Seminggu lagi kita lakuin. Ingat kamu yang nawarin waktu kita teleponan.” “Eh?” “Nggak ada penolakan. Aku nggak mau nyari wanita pelampiasan. Punya istri nggak bisa ngasih kepuasan.” “Siapa bilang?” “Ya udah tunggu jeda kamu datang bulan, kita lakuin.” “Tapi kan…,” “Nggak ada kata tapi. Kamu juga mau kok.” “Nggak mau kak.” “Aku bilangin ke Mama.” “Kakak ngajakin gituan cuman untuk sembunyi dari mama?” “Nggak tuh. Karena memang aku berhak kan untuk sentuh kamu. Mau apain kamu aja aku boleh.” “Tapi asal jangan mukul kak.” “Cowok mana yang berani sama cewek? Apalagi main tangan.” “Tadi kakak bejek muka aku.” “Bukan, biar kamu nggak bawel lagi. Kamu kalau nanya nggak tanggung-tanggung. Di apartemen aku ngerasa gila karena kamu tanya terus. Kalau nggak tanya makan, kamu pasti tanya soal mandi. Baju, ini itu kamu tanyain. Kamu udah kayak HRD tau nggak, tukang tanya-tanya orang pas wawancara.” Cindy masih berusaha tidak percaya dengan suaminya. “Kakak pura-pura baik, ya?” “Nggak. Udah deh besok tuh baju di lemari udah banyak. Nggak usah pakai rok panjang kamu yang aneh itu. Pakai celana atau rok mini kek, seksi depan suami. Ngakunya istri, nggak bisa berpenampilan. Tuh lihat Aisha umur segitu udah pintar dandan. Kamu juga kek, lihat kamu tuh jijik tau nggak. Nggak dandan apa-apa.” “Kakak jijik beneran?” “Jijik lihat baju kumuh kamu yang biasa kamu pakai, rok panjang apalah itu. Baju kamu juga lecek gitu. Buang aja, tuh ajak Aisha belanja.” “Kenapa nggak kita yang belanja? Tadi ngaku suami, nyuruh istri dandan. Tapi nggak mau diajak belanja.” “Nanti.” “Kapan? Perasaan nggak pernah tuh jalan bareng sama istri.” “Bawel, mulutnya nyerocos mulu. Padahal udah cantik diajak ke salon terus sama Mama. Tapi penampilan gitu mulu.” Reyhan keceplosan memuji istrinya cantik. “Kakak bilang apa?” “Bawel.” “Nggak, itu yang tadi. pokoknya ada.” “Bawel, udah ayo tidur.” “Ya udah kakak tidur aja. Kenapa harus marah?” Reyhan menghela napas, ini seperti dia bicara dengan Aisha beberapa waktu lalu. Adiknya menyebalkan sekali memang. Berbeda sebelas tahun dengan istrinya. “Didi.” Cindy menoleh waktu Reyhan menyebut kata Didi. “Siapa Didi?” “Panggilan aku ke kamu.” “Kok Didi? Nggak bagus.” “Bisa kan nggak usah protes?” “Ya deh.” “Nanti kalau Mama tanya apa kita udah gituan. Kamu jawab aja udah, Mama lagi gencar banget nanya. Kamu kan lagi datang bulan. Terus untuk ngelakuinnya beneran, aku mungkin pikirkan nanti biar kamu nggak usah minum obat pencegah kehamilan. Aku yang kontrol diri.” Wajah Cindy merah seketika waktu Reyhan menyebut tentang hubungan itu. “Kak, bisa nggak kita tunda?” Reyhan menambah bantal agar kepalanya lebih tinggi dari ini. “Kenapa?” “Takut.” “Aku nggak perkosa kamu. Jadi nggak usah khawatir. Aku pelan kok.” “Pelan tapi tetap sakit.” “Kamu perawan emangnya?” “I-iya.” Reyhan menarik selimutnya lalu menutup bagian tubuhnya. “Tidurlah!” Semarah apa pun dia pada mamanya mengenai perjodohan ini, tapi Reyhan masih tetap menurut. Mencoba memaksakan diri menerima Cindy di sini. Mengingat air mata mamanya jatuh karena ulahnya. Reyhan sudah berusaha sebaik mungkin untuk membahagiakan mamanya. Satu-satunya wanita yang dicintai oleh Reyhan itu adalah mamanya. Menikah pun itu atas dasar permintaan mamanya. Kalau dia membuat Cindy pergi, otomatis itu akan membuat mamanya sakit hati juga. Perawan? Cindy bilang apa tadi? Reyhan tidak salah dengar kan kalau Cindy masih perawan? Sedangkan dia sudah pernah berhubungan badan dengan beberapa wanita. Tapi kalau kenyataannya memang begitu. Mungkin caranya bukan langsung mengajak Cindy, tapi melalui tahapan-tahapan di mana Cindy tidak terpaksa memberikan itu kepadanya nanti. “Kakak tidur?” “Belum, ya udah tidur. katanya besok paman kamu mau pulang. Mau ikut nganterin ke Bandara? Aku yang anterin.” Cindy tersenyum meski dipunggungi oleh Reyhan. Tapi pamannya dihargai di sini sudah cukup membahagiakan untuknya. Apalagi pamannya sudah jauh-jauh dari Sleman untuk mengantarnya pulang lalu suaminya bisa bersikap seperti ini. “Ikut.” “Ya udah tidur kalau mau ikut. Jangan bawel.” “Kakak yang bawel.” Reyhan berbalik dan menarik Cindy ke dalam pelukan. “Tidur atau diperkosa?”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN