Kamar dengan pencahayaan lampu yang remang-remang. Biasanya ada seorang gadis di sini yang selalu menemani tidurnya setiap malam. Di dalam apartemen tempat tinggal bersama dengan istrinya. Reyhan menoleh ke samping dan tidak menemukan ada Cindy. Lebih baik gadis itu pergi dari hidupnya bukan? Perasaan Reyhan juga tidak ada sama sekali. Tapi sekarang melihat banyak barang berantakan. Mulai dari bekas makanan yang berserakan di lantai. Cindy yang selalu menjaga kebersihan, kamar mandi yang selalu wangi, air yang selalu terisi ketika dia ingin berendam.
Reyhan bersandar di tempat tidur lalu menghela napas saat harus membersihkan ini semua. Dia memunguti sampah yang ada di dekat tempat tidurnya. Bekas keripik kentang dengan kemasan tabung khasnya yang dimasukkan ke dalam plastik oleh Reyhan. Menyapu dan mengepel sendirian. Jika tidak ada Cindy di sini, dia tidak bisa percaya pada orang lain untuk membersihkan tempatnya. Takut kalau barang-barang pentingnya malah dibawa kabur oleh orang lain.
Pukul sembilan malam dia baru selesai membersihkan dan menyalakan robot otomatis yang menyedot debu di sini. Reyhan mandi dan kemudian pergi ke rumah mamanya. Dia sempat bertengkar dengan sang mama waktu tidak menghubungi Cindy sama sekali. Yang bahkan Reyhan diminta menjemput Cindy ke Sleman. Tangerang ke Sleman? Mamanya sudah cukup gila untuk menjemput Cindy ke sana. Memang benar kalau mamanya memang benar-benar sedang dalam keadaan tidak bisa berpikir jernih meminta Reyhan ke sana.
Tapi mau bagaimana lagi, kalau mamanya memang lebih sayang pada Cindy dibandingkan dirinya yang selaku anak kandung.
Dia belum makan malam, pikirnya bisa makan bersama dengan keluarganya. Aisha juga sering menyalahkan dia. Sejak malam itu Cindy tidak pernah lagi menghubunginya. Perasaan Reyhan malah biasa saja, kadang berpikir untuk bercerai. Tapi percuma kalau dia bercerai yang akan menghancurkan keluarganya sendiri. Apalagi papanya yang memegang teguh tentnag kesetiaan.
Hanya menunggu waktu di mana Reyhan bisa menerima Cindy bukan? Walaupun sudah lama menjalin rumah tangga. Tapi Reyhan tidak ada keinginan untuk menerima sang istri di dalam rumah tangganya.
Malam itu dia pergi ke rumah orangtuanya karena lapar yang tidak bisa ditahan lagi. Kalau makan di luar pasti percuma. Karena dia menginginkan masakan sang mama.
Reyhan menyalakan mesin mobil dan malah ada panggilan masuk dari wanita simpanannya. Reyhan masih bermain dengan wanita lain meski sudah mendapatkan izin menyentuh Cindy, tapi dengan syarat tidak hamil. Sayangnya Reyhan yang tidak ada keinginan untuk menyentuh sang istri. Tidak ada kepuasan yang bisa dia dapatkan dari bocah ingusan yang dia pikir tidak akan memberinya kepuasan sama sekali. Apalagi mendengar cerita Aisha, Cindy masih perawan. Terdengar lucu bukan? Reyhan tidak pernah peduli antara perawan atau tidak, yang penting dia puas dan juga bisa merasakan kenikmatan yang cukup baik dalam bercint@.
“Ada apa menghubungiku?”
“Aku butuh uang.”
Reyhan menutup teleponnya ketika dia tahu kalau simpanannya pasti hanya ingin uang. Dia segera menyetir ke rumah sang mama.
Sampai di sana pintu terbang masih tidak ditutup. Dia menoleh ke tempat pos satpam rumahnya, dua orang yang sedang merokok dan bermain catur. “Pak, Mama di dalam?”
“Mereka baru pulang, Tuan Muda.”
“Mereka pergi ke mana memangnya?”
“Pergi ke rumah sakit. Nona Muda sakit.”
Reyhan mengangguk dan melajukan mobilnya untuk ditempatkan di tempat parkir. Lalu memberikan kunci mobil pada salah satu sopir yang baru saja memasukkan mobil papanya. “Sekalian, Pak.”
Sopirnya mengambil kunci mobil.
Reyhan masuk ke dalam rumah dan ke kamarnya Aisha. “Aisha kenapa, Ma?”
“Asam lambungnya naik. Mama sama Papa baru pulang. Kamu tumben pulang.”
Reyhan melihat adiknya berbaring di tempat tidur. “Aku lapar, Ma. Mama masak?”
“Iya, Mama masak. Mau mama panaskan lauknya?”
“Boleh, Ma.”
“Ya udah kalian makan aja, ya. Papa mau istirahat, biarin Aisha di sini.”
Reyhan tahu semarah apa pun mamanya, pasti akan berdamai lagi dengan Reyhan. Kemudian dia keluar dari kamar Aisha untuk pergi ke dapur. Reyhan menunggu mamanya memanaskan masakan. “Reyhan, kamu mau dimasakin yang lain juga nggak? Mama cuman masak tempe, sayur sama telur aja.”
“Nggak usah, Ma.”
“Dagingnya tadi habis sama Aisha.”
“Nggak apa-apa.”
Sampai Reyhan selesai makan. Mamanya masih ada di sana untuk menemaninya. Reyhan bersandar di kursi tempat makan mereka, sedangkan mamanya baru saja selesai merapikan meja makan. “Rey.”
“Iya, Ma?”
Diana sebenarnya sangat rindu pada Cindy, sudah dua minggu ini tidak pernah ada kabar. Bahkan Cindy tidak bisa dihubungi sama sekali. “Apa nggak ada sedikit saja rasa rindu kamu sama, Cindy?”
Reyhan mengangkat kepalanya melihat mamanya meneteskan air mata. “Kenapa Mama nangis?”
“Mama cuman kasihan sama dia. Kamu perlakukan tidak baik di sini. Apa dia berpikir untuk tidak pulang? Alasan dia pergi ke Sleman cuman jadi alasan?”
Reyhan terdiam sejenak. Kalau dia ingin jujur, jelas dia juga tidak punya perasaan apa-apa pada istrinya. “Ma, dari awal kan Mama tahu. Aku nggak ada perasaan sedikit pun sama Cindy.” Reyhan bicara dengan nada rendahnya.
“Mama tahu. Mama yang paksa dia untuk nikah sama kamu. Tapi bisa kan kamu hargai dia, sedikit saja.”
“Aku pengen udahan sama dia, Ma.”
Reyhan hanya tidak ingin terikat dengan pernikahan. Apalagi dengan adiknya Mona. Dia masih memikirkan Mona sampai sekarang. Kalau Mona datang, jelas di akan memilih Mona dibandingkan dengan Cindy. “Sedikit saja kamu hargai nanti kalau dia pulang. Mama cuman nggak enak sama Ayahnya. Mama sama Papa lamar Mona, tapi dia pergi ninggalin kamu. Demi nama baik keluarga, Papa sama Mama minta Cindy nikah sama kamu. Mama capek lihat kelakuan kamu tidur sana sini sama wanita lain. Datang-datang perut besar dan minta tanggung jawab. Mama malu, Mama nggak tahu mau ngomong apa sama kamu. Sekarang kamu punya istri.”
“Meski punya istri, perasaan aku tetap sama Mona, Ma.”
“Dia ninggalin kamu.”
“Dia ninggalin ada alasan.”
“Rey, sekali ini aja. Kamu sama dia udah sah jadi suami istri. Kamu mau tiduri Cindy juga nggak masalah. Mama udah bilang kalau kamu udah boleh sentuh dia. Kamu bisa apa-apain dia. Mama larang kamu hamili dia karena dia itu punya cita-cita, kalau cita-cita dia terwujud, kamu yang bakalan bangga juga jadi suami.”
“Kalau misalnya udahan sampai sini gimana, Ma? Aku capek sama dia.”
“Reyhan … kamu punya buku nikah sama dia. Dia sudah jadi istri sah kamu secara agama maupun hukum negara. Ceraiin dia itu nggak gampang, Reyhan. Kamu nggak bisa ceraikan dia kalau nggak ada masalah.”
“Ma, please jangan paksa lagi. Biarin dia hidup sendiri. Cindy belum tersentuh.”
“Batin dia lelah, Reyhan. Mama ingin kamu buka hati, Rey. Mama tahu Cindy hargai kamu jadi suaminya. Tapi kamu bisa lakukan itu juga untuk dia. Mama yakin kamu sama dia bakalan sama-sama. Nggak ada kata cerai, Rey. Mama nggak mau kamu malah kayak gini. Aisha cerita, kalau Cindy nggak pernah diperlakukan baik. Dia sering jalan kaki ke sekolah. Kalau dia cerai sama kamu, apa dia bisa hidup tenang? Bisa kuliah seperti sekarang? Yang Mama yakini kalau dia bakalan berhenti kuliah.”
“Aku bakalan biayai dia sampai selesai. Asal jangan ada di hidupku, Ma.”
“Rey, dengerin Mama sekali aja!”
“Mama yang harus dengerin anak Mama sendiri. Mama pikir Reyhan bahagia sama dia? Batin Reyhan juga tersiksa, Ma.”
“Kamu bisa, Rey. Mama yakini itu.”
“Mama yang ngomong gitu. Yang jalani itu aku. Beda sebelas tahun sama dia, bukankah itu hal yang konyol?”
“Reyhan, Mama sama Papa ngerti. Mama ngerti sama kamu. Tapi Mama hanya lihat dari sudut pandang Cindy yang hidup di keluarganya. Apa bisa kamu sedikit saja bertanggung jawab?”
Reyhan menghela napas panjang. “Mau Mama apa?”
“Hargai dia kalau dia pulang. Terserah kamu di luar mau seperti apa, Reyhan. Tapi tolong di depan dia kamu baik. Meskipun itu pura-pura, asal hatinya selalu baik-baik aja.”
Reyhan mengangguk karena itu hanya pura-puar bukan? “Iya, aku turuti, Ma.”
Diana berharap meski itu pura-pura. Tapi bisa membuka hati Reyhan secara perlahan untuk bisa menghargai Cindy. Tahu kalau mungkin Cindy pergi untuk menenangkan hatinya.