Libur semester, Cindy tidak tahu cara menghabiskan waktunya di rumah ini. Rencananya adalah pulang ke kampung halaman sang ibu. Di sana dia bisa bertemu dengan sepupunya dan juga paman yang selalu perhatian padanya. Kalau dia pulang ke rumah orang tuanya, Cindy sendiri tidak yakin bisa mendapatkan perhatian seperti yang dilakukan nenek, paman dan juga semua sepupunya.
Sementara itu dia sudah bersiap-siap terlebih dahulu sebelum meminta izin ke kampung.
Sebelum makan malam, mereka menunggu satu sama lain. “Ma, Pa, aku izin ke rumah Nenek boleh?”
“Kapan?”
“Besok, Ma. Tapi seminggu.”
Diana menganggukkan kepalanya mengizinkan menantunya bertemu keluarganya. Sejak menikah Cindy tidak pernah ke mana-mana dan hanya fokus pada rumah tangga dan juga kuliahnya. Sekarang dia bisa pulang ke rumah sang nenek untuk melepas rindu. “Izin sama suami kamu. Mama sama Papa sih setuju.” jawab Afnan memberikan izin pada menantunya untuk pulangke rumah keluarganya.
Sebelum pulang ke sana, sudah pasti Cindy akan membeli banyak sekali mainan untuk adik-adik sepupunya di sana. “Kak, aku mau ...,”
“Iya pergi aja, sekalian nggak usah pulang.” Reyhan malah berkata dengan kasar.
Cindy juga sebenarnya sudah lelah dengan perlakuan ini. Andai dia tidak memikrikan bagaimana malu orangtuanya nanti ketiak dia pergi dari rumah dan juga kasih sayang mertuanya yang memaksa dia untuk tetap di sini, Cindy sudah pergi dengan perasaannya yang tidak bisa dikendalikan lagi karena sudah teramat sakit oleh ucapan sang suami.
“Punya mulut usahakan yang baik, Reyhan. Punya mulut kok kayak ibu-ibu tukang gosip nyeletuk gitu.” sindir Afnan.
“Papa kan udah izinin, ya udah biarin aja dia pergi. Aku nggak masalah kalau dia nggak pulang.”
Entah harus bagaimana lagi mereka mendidik Reyhan supaya bisa menerima Cindy di sini. Mereka sudah berharap besarpada Cindy dan Reyhan agar bisa hidup layaknya suami istri sesungguhnya. Tapi sulit sekali untuk membuat Reyhan sadar tentang rumah tangganya.
“Kamu nggak butuh barang yang mau dibawa gitu, Cindy?”
“Hmm, nanti setelah makan malam mau pergi beli ke toko depan, Ma.”
“Besok diantar sopir, ya.”
“Nggak usah, Ma. Besok mau naik bis aja.”
“Punya suami nggak ada gunanya, ya.” Afnan malah blak-blakan bicara seperti itu untuk membuat Reyhan tersinggung agar sedikit saja perhatian pada istrinya.
“Punya orang tua kok maksa anaknya nikah. Waktu menantunya nggak dihargai malah marah terus.”
Tidak ingin jika ada perkelahian antara Reyhan dan orangtuanya. “Nggak apa-apa, Pa. Besok Cindy bisa pergi sendiri kok. Nanti kan pakai bis ke sana.”
“Rumah nenek memangnya di mana?”
“Sleman, Pa.”
“Apa nggak pakai pesawat aja kamu?”
“Nggak usah, Pa. Cindy udah biasa kok ke sana pakai bis.”
“Sleman belasan jam lho kalau kamu pakai bis, Cindy.”
Tahu kalau dia akan lama dengan jalur darat. Cindy sudah terbiasa naik kendaraan umum. Bahkan dia sudah dibiarkan pergi sejak SMP dan pergi sendirian ke sana. Dia tidak manja, dia malah lebih rela menghabiskan banyak waktu diperjalanan untuk bertemu dengan keluarga besar.
“Cindy benerang nggak mau pakai pesawat? Papa pesanin tiket, besok Papa yang antar ke bandara.”
“Manjain aja terus, Pa. Nanti kebiasaan.”
Sebisa mungkin Cindy menahan air amtanya untuk tidak keluar dengan ucapan Reyhan. Sudah sering sekali dia mendapat perlakuan seperti ini.
Usai makan malam dan sudah membeli barang juga untuk sepupunya di kampung halaman ibunya.
Dia sudah beres-beres untuk barang tambahan.
Di ruang tengah, ada mama dan papa mertuanya di sana. “Pa, Ma.” Perlahan dia mendekat dan duduk di sofa.
“Kenapa sayang? Sini duduk dekat, Mama.”
Dia ingin lebih lama di sana, Cindy ingin meminta izin kepada mertuanya untuk menenangkan diri di sana. “Cindy boleh di sana sampai selesai libur?”
“Apa nggak kangen sama, Mama?”
“Kangen, Ma. Tapi pengen sama keluarga dulu.”
“Biarin aja, Ma. Daripada dia di sini sakit hati terus sama, Reyhan.”
Diana tidak akan protes kalau suaminya sudah memberikan izin. “Ya udah, kamu hati-hati. Besok Papa sama Mama anterin ke terminal, ya.”
Cindy kembali lagi ke kamar dan sudah melihat Reyhan tertidur di ranjang dengan posisi telentang sembarang. Hingga dia tidak punya tempat untuk tidur. Yang mau tidak mau dia akan tidur di sofa atau malah di bawah sekarang.
Ia mengambil bantal dan selimut. Reyhan sudah berulang kali mengusirnya dari sini secara kasar. Bahkan setiap kali dia pulang kuliah, Reyhan selalu bilang bahwa dia tidak perlu pulang lagi.
Lelah adalah harus tetap bersabar menghadapi suaminya. Andai bukan memikirkan harga diri keluarganya, Cindy juga akan pergi. Kadang dia berpikir bahwa diceraikan oleh Reyhan jauh lebih baik dibandingkan hatinya selalu saja sakit dengan ucapan yang nyeletuk dan menyakiti hati Cindy.
Dia berada di kamar mandi, menatap dirinya jauh lebih menyedihkan ketika berada di sini dibandingkan di rumah orangtuanya. Kalau di sana dia paling hanya dimarahi setiap kali pekerjaan rumah tidak dia selesaikan dengan baik. Tapi orangtuanya tidak pernah sampai mengusirnya, ibunya juga kadang sering memberikan uang belanja diam-diam tanpa sepengetahuan Mona. Meski sering menjadi sasaran ocehan dan jarang diberi uang, tapi Ibunya masih memberikan uang lebih kalau Cindy pulang ke kampung halaman.
Hanya sajja perlakuan mereka tidak pernah memperlihatkan kasih sayang yang baik.”
“Cindy mungkin nggak balik lagi ke sini, Ma. Pa.”
Dia bicara dengan bayangannya sendiri karena sudah sakit hati dengan ucapan Reyhan. Kadang pria itu meminta dia bekerja sendiri untuk mencari uang membiayai hidupnya di rumah ini. Seorang suami yang seharusnya tidak berlaku seperti itu.
Keesokan harinya, dia berpamitan ketika suaminya sedang bersiap-siap ke kantor. “Kak, aku berangkat sekarang.”
Tidak ada tanggapan.
Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita.
Sayangnya dia hanya bisa berkata di dalam hati mengenai itu. “Jangan berpikir untuk tidak pulang. Aku bisa menderita lebih dari ini karena kamu nanti. Orangtuaku tidak akan tinggal diam kalau kamu tidak pulang.”
“Iya.”
“Pergilah!”
Saat ia mengulurkan tangannya untuk bersalaman, Reyhan balik badan lalu pergi ebgitu saja tanpa mengulurkan tangannya. Pintu kamar pun dibanting sampai dia sendiri tidak bisa menahan perasaan ini lagi.
Cindy bersalaman kepada mertuanya ketika sudah tiba di terminal, Aisha juga ikut mengantarnya. “Nanti kabari kalau udah sampai, ya.”
Barang-barangnya sudah dimasukkan oleh kernet. “Ayo dek kita berangkat sekarang!”
Cindy melambaikan tangan ketika dia naik ke bus. Dia duduk pada kursi penumpang paling belakang. Terlihat kalau dia juga merasa disayang oleh mertuanya yang sampai rela mengantarnya. Dia berada di paling belakang dan duduk di pojok. Cindy bersandar dan air matanya menetes karena sudah lelah berada di rumah itu.
Tidak apa dia bercerai dengan Reyhan dibandingkan diperlakukan seperti itu bukan? Apalagi dia belum punya anak dan tidak ada beban lagi yang harus dia pikirkan kalau bercerai. Sebelum pergi jauh-jauh hari dia sudah memesan bus tujuan sleman melalui aplikasi.
Kadang dia merasa jijik terhadap hidupnya sendiri yang tidak menemukan kebahagiaan.
Cindy tahu meski ibu kandungnya sudah tiada, setidaknya ada sedikit kebaikan yang diberikan ibunya ketika dia ada di rumah. Dia tetap berusaha untuk menyayangi keduanya, walaupun dia tahu Mona jauh lebih disayang.
Cindy mengeluarkan ponselnya dan menghubungi pamannya, memberitahu bahwa dia sudah berada di dalam bus sekarang.
“Halo, Paman.”
“Sudah berangkat?”
“Sudah, ini sudah di dalam bus.”
Dia belum cerita kalau dia sudah menikah pada keluarga ibunya.
Setiap kali pulang dari Sleman, Cindy selalu diantar oleh pamannya, adik dari ibunya yang masih setia merawatnya. Kadang dia ingin tinggal di sana sampai kapan pun.
“Kok nangis?” Cindy tidak sadar dia menangis karena lelah dengan rumah tangganya bersama Reyhan.
“Cindy kangen, pengen cepat sampai sana.”
“Kami di sini nungguin kamu. Besok Paman jemput ke terminal.”
“Iya, Paman tetap aktifin nomor, ya.”
“Iya, Nak. Semoga sampai dengan baik-baik saja, ya. Kamu istirahat aja dulu di sana. Siapkan tenaga perjalanan jauh.”
Badannya juga sakit setelah semalaman tidur di sofa karena tidak ada tempat untuk tidur di ranjang. Dia akan kedinginan kalau tidur di lantai karena Reyhan menurunkan suhu pendingin ruangan, dia akan marah kalau Cindy mengatur suhunya. Dia juga berusaha untuk tidak keluar dari kamar itu untuk menyembunyikan masalahnya pada kedua mertuanya.
Setelah telepon di tutup, dia menatap foto ibunya di ponsel. Foto ibunya yang sangat mirip dengannya ketika masih muda. Tidak ada yang pernah tahu kalau Cindy merupakan bukan anak kandung Nuril. Wanita itu adalah ibu tirinya yang memiliki 0,01 kebaikan untuknya. Bahkan untuk makanan pun kadang dia hanya makan dengan lauk seadanya, kalau ada daging, sudah pasti disembunyikan dan hanya untuk Mona.
Namun ketika pulang ke Sleman. Nuril memberinya uang ongkos dan uang makan, itupun sudah sangat bersyukur. “Apa ini yang dirasain Ibu dulu waktu nikah sama, Ayah? Diabaikan, bahkan saat Ibu sakit, Ayah malah menikah lagi. Saat Ibu pergi, Ayah pun masih tidak berlaku adil untuk Cindy.”
berikan love kalian untuk Cindy ya. Hehehehe