Di kediaman keluarga besar Afnan, Cindy terlihat akur dengan semua anggota keluarga di sini. Sikap Cindy juga sangat disukai oleh Afnan dan juga Diana, dia sopan. Meski umurnya terbilang muda, tapi Cindy tahu bagaimana harus bersikap dengan orangtua.
Afnan juga suka sekali bercanda dengan menantunya meski terlihat menantunya masih teramat canggung. Reyhan belum pulang dari luar kota untuk bisa membuat Cindy lebih baik lagi dibandingkan harus canggung terus menerus.
Terdengar suara mobil masuk ke halaman rumah mereka. “Pa, Reyhan pulang.”
Cindy menoleh mendengar mama mertuanya menyebut kata Reyhan yang pulang dari luar kota. “Eh, Kak Reyhan padahal nggak balas chat aku, Ma.” Jawab Cindy tiba-tiba.
Afnan dan Diana sudah terbiasa dengan sikap anaknya yang keras kepala. Tidak peduli terhadap Cindy yang kadang membuat Afnan dan Diana khawatir tentang hubungan keduanya. “Cindy, kalau nanti semisal Reyhan minta jatah, Mama harap kamu bisa kasih.”
“Jatah? Cindy kan belum kerja, Ma.”
“Maksud Mama hubungan suami istri. Tapi minta Reyhan jangan hamili kamu dulu. Mama khawatir aja sih sama sikap dia di luar sana nantinya. Mama minta tolong, ya!”
Sebenarnya belum siap bagi Cindy untuk melayani Reyhan kalau untuk hal itu. Tapi kalau sudah mertuanya yang meminta, dan itu juga demi kebaikan rumah tangganya. Mau tidak mau dia akan berhubungan badan dengan Reyhan. Membayangkannya saja sudah membuat Cindy geli dan takut, bahkan dia malu berhadapan dengan suaminya jika kenyataannya seperti itu.
“Iya, Ma. Cindy usahakan.”
Braaak.
Reyhan terdengar membanting pintu mobil dan masuk begitu saja. Diana memberi kode pada menantunya agar menyusul ke kamar untuk mengejar Reyhan.
Baru saja sampai di kamar, Cindy menghampiri suaminya. “Kakak sudah makan? Mau aku siapkan air untuk mandi? Atau kakak mau istirahat.”
Geram dengan pertanyaan istrinya, Reyhan ingin mengumpat karena dia sedang lelah dan malah ditanya seperti itu oleh istrinya. “Kak, kakak mau makan atau ...,”
“Kenapa kamu menyebalkan sekali, hah? Kenapa kamu selalu ikut campur? Kapan kamu berhenti untuk menggangguku?” bentak Reyhan sampai Cindy terkejut dengan ucapan suaminya.
“Aku tanya karena Mama yang minta.”
“Kamu tahu aku capek, tapi kenapa kamu masih nanya seperti itu? Harusnya suami pulang kerja itu kamu sambut senyum atau apa kek, bukan pertanyaan sinting seperti barusan. Kalau kamu nggak becus jadi istri, mending kamu keluar dari rumah ini. Nggak usah balik lagi. Nyesel tahu nggak nikahi kamu.”
Cindy menjatuhkan ponselnya ketika Reyhan berkata seperti itu. “Kakak nyesel?”
“Iya? Asal kamu tahu, kamu itu cuman beban di sini, Cindy. Kamu seharusnya nggak ada di sini. Kamu cuman nambah beban pikiran aku yang bahkan sama sekali aku nggak mau lihat muka kamu di sini, setiap kali lihat kamu aku ngerasa benci sama kamu.”
“Kakak mau Cindy pergi?”
“Iya kamu pergi dari sini sekarang juga! Biarkan aku sendirian tanpa ada kamu. Tanpa ada benalu yang hidup di sini lagi denganku. Tanpa ada orang yang mengatur hidupku seperti orang yang selalu dikendalikan. Aku nggak bahagia sama kamu, paham?” Reyhan membentak istrinya sampai Cindy mengangguk dengan air mata yang berlinang. “Nggak perlu drama nangis segala, lebih baik kamu keluar saja dari rumah ini. Kamu nggak penting, kamu nggak …,”
Braaaak
Pintu dibuka oleh papanya dan Reyhan melihat langkah papanya sangat cepat.
Plaaaak
“Kurang ajar! Siapa yang suruh kamu bentak dia, hah? Dia istri kamu. Sampai kapan kamu terus bersikap seperti ini, Reyhan? Sampai kapan kamu bisa liat dia sebagai istri kamu? Kamu sedikit saja bisa ngertiin dia. Mama sama Papa selalu berharap kamu sama dia bisa hidup bahagia.”
Diana menangkap tubuhnya Cindy ketika gadisnya hendak kabur dari kamar. “Jangan pergi, kamu di sini istrinya. Kalau kamu keluar, artinya kami nggak bisa didik Reyhan untuk mempertahankan rumah tangga dan juga orangtua kamu pasti kecewa.”
Cindy juga tidak tahu ke mana harus pergi kalau seandainya dia pergi dari rumah ini. Pulang ke rumah orangtuanya sudah pasti akan membuat masalah besar lagi. Dia memeluk mama mertuanya dengan perasaan teramat sakit dan tidak tahan lagi dengan sikap Reyhan. “Reyhan, bisa kan kamu sedikit saja buat Mama sama Papa tenang. Papa sama Papa tuh selalu berharap kamu selalu baik sama dia, lho. Papa sama Mama nggak mau lihat dia sedih. Kamu sendiri kan tahu kalau Mama sama Papa udah sayang banget sama dia. Minimal kamu kasih kebahagiaan gitu buat dia. Papa kamu marah juga sama ulah kamu.”
“Aku nggak ada perasaan, Ma. Tolong jangan paksa.”
“Di rumah apa perlakuan kamu terus seperti ini? Jika iya, kamu jangan pulang dulu deh! Biar kamu di sini dulu. Mama kenapa khawatir kamu malah nyakitin dia lebih dari ini nanti.”
Aisha masuk ke dalam kamar dan melihat mamanya sedang memeluk Cindy. “Kakak perasaan nggak pernah baik sama istri. Minimal baik kek, jangan bentak terus! Kakak apaan sih jadi cowok beraninya sama cewek. Kalau cewek bayaran kakak malah kakak sopan banget, sama istri sendiri diperlakukan seperti ini. Ingat kak, berapa kali ada cewek datang ke sini minta tanggung jawab dan ujung-ujungnya kakak nggak salah. Kakak punya istri tapi diperlakukan kayak keset tahu nggak.”
Diana masih menenangkan menantunya, ucapan Aisha tadi terlihat mampu membuat Reyhan marah dengan perkataannya. “Kamu kenapa omong kosong begini?”
“Siapa yang omong kosong? Kenapa kakak nggak besyukur banget punya istri cantik, tapi malah kakak sia-siakan.”
“Karena perasaan nggak bisa dipaksakan, jangan ngajarin lah. Kamu nggak tahu apa-apa sama urusan orang dewasa.”
“Oh gitu? Kakak ngerasa dewasa ya? Aku pikir kakak ngerasa kayak bocah SMP yang kalau marah malah ngambek. Istri sendiri kak, ini istri kakak.”
“Siapa yang sudah meminta dia untuk jadi istri kakak, hah? Siapa yang sudah paksa dia? Nggak ada, dek. Nggak ada yang paksa dia untuk di sini. Dia mau apa aja terserah.”
“Sekali lagi kamu ngomong gini, Papa hajar kamu, Reyhan.”
Afnan geram sekali dengan tingkah putranya. Meski dia dan istrinya memaksa Reyhan menikah waktu itu. Tapi ada tujuannya, dia tidak ingin lagi mendengar tentang wanita datang meminta pertanggungjawaban ke rumah mereka. “Reyhan, kenapa kamu jadi orang mengerikan gini sih?”
“Mama kenapa paksa aku nikah sama dia, Ma? Aku nggak ada perasaan.”
“Ada, Reyhan. Kamu belum coba saja jatu cinta sama, Cindy.”
“Terserah.”