Menghabiskan waktu selama belasan jam di perjalanan untuk menuju Sleman, Cindy bersyukur kalau ternyata di sana ada pamannya yang sudah menunggunya begitu dia turun dari bus, dilihatnya dari jarak yang cukup jauh, dikenalinya tubuh tinggi dengan kulit putih yang bersedekap di tempat duduk yang tidak jauh dari bus tempat Cindy parkir.
Cindy menerima barangnya yang diberikan kernet bus, terdengar ponselnya berbunyi. “Halo Paman?”
“Paman udah sampai, kamu di mana?”
“Ini di belakang Paman. Baru turun dari bus.”
Pamannya berbalik, Cindy berhamburan ke dalam pelukan pamannya dan menangis. Kasih sayang yang diberikan pamannya jauh lebih besar dibandingkan ayah sendiri. “Ayo pulang, Nenek udah nungguin kamu di rumah.”
Cindy mengangguk cepat, pamannya mengambil barang yang dibawa Cindy. “Tumben bawa banyak barang. Apalagi sampai pakai gini.”
“Nanti Cindy cerita deh di sana.”
Ridho—pamannya Cindy. Adik kandung almarhummah ibunya Cindy yang selalu perhatian terhadap Cindy. Apa pun kebutuhannya selalu terpenuhi jika ada di Sleman, sayang selama di Jakarta, perhatian itu tidak pernah dia dapatkan di rumah sendiri. Dia tidak bisa ikut ke Sleman untuk tinggal di sana, meski dia ingin. Karena Ayahnya yang keras, orang di sana juga tidak ingin bertengkar dengan ayah Cindy karena sudah hafal dengan wataknya.
Mereka naik mobil avanza menuju rumah pamannya. “Mau berapa lama di Sleman?”
“Lama, Paman. Soalnya udah libur kuliah. Jadi lumayan waktu kali ini.”
“Kenapa waktu kelulusan SMA nggak datang? Paman udah nungguin sama Nenek.”
Cindy tidak berani jujur waktu itu bahwa dia sudah menikah dengan Reyhan, penyesalan terbesarnya ketika dia menerima paksaan dari ayahnya menikah dengan Reyhan waktu itu demi menyelamatkan nama baik keluarga. Nama baik keluarga memang terselamatkan, batin Cindy yang hancur tidak bisa diperbaiki oleh perlakuan Reyhan. Mertua yang baik, tapi suami yang sudah berkal-kali menghancurkan hatinya, mengusirnya, bahkan menghinanya, memintanya bekerja untuk biaya hidup. Cindy juga sudah lelah berada di sana. Hanya karena nama baik, dia harus merelakan hidupnya diperlakukan tidak adil.
Selama diperjalanan, Cindy malah tidur dan terlihat sangat kelelahan. Ridho yang ingin sekali merawat keponakan kesayangan yang dia miliki pasca meninggalnya sang kakak usai melahirkan. Mengingat perjuangan sang kakak ingin mendapatkan anak sangat sulit waktu itu, sampai Ayahnya Cindy menikah lagi dan memiliki anak dari wanita lain, begitu ikhlasnya ibu Cindy dimadu dan tetap baik terhadap suami, tidak pernah menceritakan kejadian sebenarnya, sampai pada meninggalnya Ibu Cindy, barulah mereka semua tahu bahwa Ayahnya Cindy sudah menikah lagi dan anaknya sudah besar.
Hak asuh yang memang sangat kuat berada pada ayahnya Cindy waktu itu, meski Cindy pernah sekolah di Sleman, tapi Ayah Cindy mengambilnya lagi. Dari segi ekonomi, Ramli memang tidak bisa diremehkan. Ketika berkunjung ke sana pun, Cindy tidak pernah menceritakan kejadian apa-apa. Padahal ingin sekali Ridho dan Ibunya mendengar cerita Cindy tentang kejahatan Ramli atau Nuril sesekali, tapi semua itu tidak pernah diceritakan Cindy. Mereka berharap Cindy cerita agar menjadi kekuatan mereka mengambil hak asuh, sayangnya tidak pernah sama sekali.
Sampai pukul setengah sepuluh, mereka baru sampai di rumah. Karena jarak halte dan rumah mereka cukup jauh. Ridho membangunkan keponakannya. Dan terdengar malas dan manja, sama seperti ibu Cindy dulu. “Kita udah sampai.”
Cindy menggeliat dan menguap, perlahan membuka pintu mobil. “Lihat jalan yang bener! Nanti jatuh.”
Sementara itu Ridho menurunkan barang Cindy. Keponakannya mencuci wajah di kran air yang ada di depan. Yang biasa dipakai Ridho mencuci mobil dan menyiram tanaman. Ridho bekerja di salah satu instansi pemerintahan, itulah mengapa dia ingin sekali merawat keponakannya dan membiayai pendidikan sang keponakan untuk bisa mengenyam pendidikan dengan baik. Karena bagaimana pun juga, sudah pasti perlakuan di sana beda. Apalagi kalau Ridho berkunjung ke Jakarta, mereka memilih menginap di hotel dan membawa Cindy dibandingkan tinggal di rumah Ramli.
Dan dia juga baru ingat kalau keponakannya berangkat pagi tadi, dia pikir Cindy berangkat jam lima sore lagi yang artinya bisa sampai keesokan harinya seperti yang sudah-sudah. Akan tetapi Cindy memilih berangkat pagi dan akhirnya sampai malam harinya.
Di dalam rumah, suasana terdengar sangat heboh ketika Cindy datang. Itupun sudah biasa, karena mereka semua pasti merindukan anak piatu itu. Apalagi kakak-kakaknya Ridho rela menginap kalau Cindy pulang ke Sleman, mereka juga punya pemikiran yang sama seperti Ridho, yaitu ingin mendapatkan hak asuh Cindy. Tapi tidak ada yang berhasil sampai sekarang hingga mereka menyerah.
Sampai pada waktu di mana Cindy pamitan mandi dan Ridho membawakan koper Cindy. Ibunya Ridho mengeluarkan barang-barang Cindy seperti biasanya untuk ditaruh di lemari. Cindy selalu diperlakuakn baik di sini. Karena hanya dia yang tumbuh tanpa seorang ibu kandung, tidak mendapatkan ASI eksklusif. Saat neneknya menarik baju, dompet Cindy terjatuh hingga KTP Cindy terjatuh juga. Status Cindy di sana sudah ganti menjadi kawin. “Ridho.”
Baru saja lelaki itu hendak keluar, dia berbalik ketika ibunya memanggil. “Iya, Bu. Ada apa?”
“Cindy cerita kalau dia udah nikah?”
Ibunya yang membawa KTP kemudian diambil oleh Ridho. Dia melihat status perkawinan Cindy yang sudah menikah di KTP. “Dia nggak cerita, Bu. Kalaupun dia nikah, pasti undang kita. Tapi ini kenapa malah ada KTP, apa salah ya KTP dia?”
Sementara itu Cindy masih mandi. Mereka mencoba untuk tidak berpikiran negatif dan menunggu Cindy yang cerita.
Malam itu Ridho memasak air, sementara itu ibunya menghangatkan lauk untuk Cindy makan. Sudah pasti kesayangan mereka lapar malam itu. Apalagi bukde Cindy membawakan makanan juga.
Tidak lama setelah masakan dipanaskan, Cindy keluar dari kamar dan menuju meja makan. Anak-anak yang lain sudah tidur, sedangkan di sana ada bukde dan pakde yang menemani di meja makan sambil minum teh bersama. Mereka selalu menyambut kedatangan Cindy dengan ramah. “Pakde, Bukde, Paman sama Nenek. Didi mau cerita tentang Didi udah nikah.” Didi, adalah panggilan kesayangan dari mereka semua untuk Cindy. Berbeda dengan pamannya yang masih senang menyebut nama Cindy, bukan Didi.
Ridho menghela napas dan melihat raut kecewa dari ibunya. “Sama siapa?”
“Namanya Kak Reyhan.”
“Kenapa nggak undang kami? Apa kamu lupa begitu saja sama kami semua? Kami dari Sleman ke Jakarta bisa pergi sama-sama. Kamu lupain kami?”
“Nggak gitu juga. Tapi ini kan dulu mendadak banget, terus nggak ada acara apa-apa.”
“Mendadak artinya kamu dijodohkan?”
Cindy menggigit bibir bawahnya ketika nada bicara pakde yang terdengar keras. Ini untuk pertama kalinya Cindy mendengar bentakan dari pakde. “Jujur! Kamu dipaksa nikah?”
Mau tidak mau Cindy mengangguk. “Atas dasar apa? Harta?”
“Didi nikah sama pacarnya Kak Mona, waktu akad Kak Mona kabur, Ayah paksa Didi gantiin Kak Mona.”
“Dari dulu Didi, kita nungguin kamu cerita begini. Tapi kenapa baru sekarang? Kamu relakan masa depan kamu di sana untuk kepuasan orangtua kamu sendiri. Terus gimana? Kamu lagi hamil?”
Cindy menggeleng. “Didi belum ngapa-ngapain kok.”
“Sejak kapan kalian nikah.”
“Sejak Didi lulus SMA.”
“Dan dia nggak nyentuh? Luar biasa sekali, kita tahu sendiri gaya Mona itu liar, dia wanita malam, dia bukan wanita bener. Nggak mungkin nggak pernah dicicipi sama suami kamu. Terus kamu dianggurin, perlakuan dia pasti buruk ke kamu, ya, kan?”
“Nggak kok, dia baik.”
Cindy bohong karena ini menyangkut Ayahnya.
Dreeeet
Pakdenya berdiri terdengar suara kursi waktu pakdenya berdiri. “Terserah kamu sajalah, Pakde mau ngomong juga percuma.”
Bukdenya ikutan pergi dan yang lainnya. Pamannya juga ikut pergi. Sedangkan sekarang hanya ada neneknya yang menemani waktu Cindy ingin makan. “Cerita sama, Nenek. Kenapa suami kamu nggak ikut?”
“Dia sibuk kerja, Nek.”
“Sibuk bukan jadi alaasn, apalagi ini adalah pacarnya Mona. Nenek ngerasa nggak adil aja pernikahan kamu sama dia.”
“Nenek nggak usah khawatir, Didi belum kabari Mama mertua. Soalnya dari tadi di bus udah dihubungi, ditanyain terus.”
“Kamu kabari dulu, terus makan. Biar nenek nyusul mereka dulu.”
Cindy mengangguk dan mengeluarkan ponselnya. Dia menghubungi mama mertuanya dengan sekali nada sambung langsung diangkat. “Halo, Nak. Kamu udah sampai?”
“Barusan sampai, Ma. Cindy mandi bentar terus telepon Mama.”
“Sudah makan, sayang?”
“Ini lagi makan, Ma.”
Cindy ingin menangis karena perhatian mama mertuanya yang lebih kepadanya membuatnya juga sulit pergi. Dia mendapatkan perlakuan seperti anak kandung di sana. Tapi hatinya juga sudah hancur karena Reyhan. “Ma, Mama kenapa belum tidur?”
“Papa sama Mama nungguin kabar kamu. Bahkan Mama sama Papa nggak bakalan tidur kalau kamu nggak ngabarin. Karena khawatir kamu pergi sendirian.”
Cindy tertawa menahan tangis. “Cindy nggak masalah, Ma. Mama sekarang istirahat, ya!”
“Kamu juga istirahat, sering-sering hubungi Mama, ya! Kabari tiap hari lewat chat. Minimal kamu ke Aisha.”
“Kak Reyhan udah pulang?”
“Aaaah dia …,” Cindy sudah tahu jawabannya bahwa suaminya belum pulang. “sepertinya dia sibuk.”
“Nanti Cindy telepon dia, Ma.”
“Ya udah kamu makan terus istirahat nanti, jangan langsung tidur. Minimal duduk dulu, nanti sakit perut lho. Kekenyangan soalnya.”
“Iya, Ma.”
Andai Reyhan yang perhatian seperti itu, betapa senangnya hati Cindy. Tapi sayangnya itu tidak sama sekali. Dia tidak mendapatkan perlakuan itu dari suaminya.
Usai makan, Cindy menaruh piring kotor di tempat pencucian piring karena biasanya dicuci besok pagi.
“Kamu istirahat, ya! Nenek mau istirahat juga. Pakde sama yang lainnya udah istirahat. Besok mau diajak ke makam Ibu kamu.”
Cindy mengangguk pelan.
Dia ke kamar menghubungi suaminya, mencoba mengirim pesan kepada Reyhan yang malah aktif beberapa jam lalu.
Reyhan pasti sibuk.
Pikir Cindy bahwa suaminya selalu sibuk bekerja.
Lama dia menunggu balasan, akhirnya dia menelepon Reyhan.
“Aaaaah, aaaah.” Suara desahan wanita yang membuat mata Cindy melotot karena terkejut dengan apa yang dia dengar. “Shiiit, aaaah.”
“Ada apa? Ngapain kamu nelepon jam segini?”
“Kakak sama wanita?”
“Bukan urusanmu.”
“Jawab! Kakak sama siapa?”
“Sedang bercint@, kenapa memangnya, puas dengan jawabanku?”
Meski dia tidak mencintai Reyhan, tapi jawaban tadi cukup membuat air matanya jatuh lagi. Reyhan malah menyentuh wanita lain. “Ssssh, oooh.” Reyhan juga mendesah bersamaan dengan wanita itu sampai Cindy menutup teleponnya.
Tidak lama setelah itu ada panggilan video masuk dari Reyhan. Namun latarnya sepertinya Reyhan ada di kamar mandi. “Kamu mau ngapain tadi?”
Dalam keadaan menangis, Cindy harus pura-pura tidak terjadi apa-apa saat dia sebisa mungkin menahan air matanya. “Kakak beneran sama wanita lain?”
“Buat apa punya istri kalau nggak bisa apa-apa?”
“Kakak kan tahu, Mama bolehin kita lakuin. Asal …,”
“Nggak n@fsu sama kamu. Malah kamu yang nawarin diri, murahan.”
Cindy berusaha tersenyum mendengar hinaan suaminya. “Kamu udah sampai?”
“Iya.”
“Ya udah.”
“Kak, ceraiin Cindy.”
Reyhan malah tertawa. “Mimpi, mau sampai kapan pun jangan harap. Dan berani nggak pulang, lihat Ayahmu. Apa Ayahmu bakalan hidup dengan tenang? Jangan harap, Cindy. Ayahmu akan menderita kalau kamu berpikiran untuk kabur, aku lihat kamu membawa hampir semua barangmu ke sana. Jangan berpikir kamu itu pintar, kamu itu sebenarnya bodoh, membuat jebakan untuk diri sendiri.”
“Sebenarnya apa yang kakak mau?”
“Mauku? Membuat kamu menderita sampai kamu mati. Karena kehadiran kamu dihidupku nggak ada gunanya. Kamu menambah bebanku, menambah sakit kepalaku karena bekerja. Ditambah lagi karena Mona yang pergi. Kamu hadir dan berharap bisa hidup enak? Terlalu tinggi harapan kamu, andai bukan karena Mama dan Papa, aku dari awal sudah cekik kamu. Ingat baik-baik, Cindy. Kamu nggak ada artinya, sekalipun status mengikatmu, tapi sampai kapan pun jangan berharap lepas. Kamu adalah tameng di keluarga aku.”
“Buat apa bertahan kalau kakak sendiri seperti orang nggak punya otak?”
“Yang nggak punya otak siapa? Kamu lho, kamu yang nerima perjodohan itu dan tiba-tiba ada di sana. Kalau kamu kabur juga, nggak bakalan ada. Yang artinya kamu juga harus menerima siksaan itu, kan? Ingat ya, kalau sampai kamu nggak pulang nanti. Jangan harap bisa lihat Ayah kamu lagi. Aku yang akan melempar Ayahmu ke kehidupan lainnya.”
“Kak.”
Cindy tercengang mendengar ancaman Reyhan yang pertama kali dia dengar. “Cindy, kamu sudah menang sebenarnya. Tapi kamu terlalu cari muka sama kedua orangtua aku. Aku begini juga karena kamu, tentang wanita tadi? Dia simpananku, apa masalahmu?”
Mereka suami istri namun dia diperlakukan seperti ini. Jelas hati Cindy akan sangat sakit mendengarnya. “Nggak ada, selamat bersenang-senang.” Semakin dia merasa lemah, semakin pula Reyhan akan menginjaknya. Itu yang dia ketahui. Maka dari itu, pilihannya adalah, Cindy harus tetap pura-pura kuat, meski hatinya hancur.
Chapter ini panjang, ya. Jangan lupa tinggalkan love kalian, ya. Ini untuk Cindy, besok update lagi. Maaf ini upload jam setengah lima pagi.