“Mommy!”
Panggilan itu membuat Letty dan Alexander bergeming. Tak hanya mereka, Leonard dan Canadia pun ikut masuk ke dalam kamar. Tanpa mengetuk, mereka pun langsung menerobos masuk ke dalam kamar yang ditempati oleh keluarga Oliver.
“Aurora!”
Nama itu teralun dari mulut semua orang. Segera mereka melesat ke dalam kamar dan mendapati sang putri telah terbangun dari tidurnya.
“Honey!”
Pandangan Aurora kontan tertuju pada sang ibu. Melihat kedatangan Letty, ia langsung mengangkat kedua tangannya ke udara, meminta ibunya untuk segera mendekap dan memeluknya dan Letty pun melakukan hal tersebut. Sementara tiga orang dewasa yang juga berada di ruangan itu berdiri di samping ranjang.
Sekejap Alexander mendongak dan seketika pandangannya bertemu dengan sepasang bola mata berwarna cokelat milik Leonard Van Der Lyn.
Entah mengapa, memandang wajah Leonard membuat alam bawah sadar Alexander ingin merinding ketakutan. Sungguh pun, lelaki itu tak lupa bahwa lelaki di depannya ini adalah seseorang yang pernah mencungkil bola mata ayahnya hanya untuk membuka sebuah brangkas. Dan Alexander tak lupa bahwa Leonard juga nyaris membunuh ayahnya. Namun, saat mengingat apa yang telah dilakukan Marthin Oliver pada keluarga Van Der Lyn, rasanya Alexander juga tak bisa menyalahkan Leonard.
Maka lelaki itu hanya bisa menghela napas panjang dan membuang napas serta kenyataan menyakitkan itu untuk kemudian menjadi kenangan yang tak perlu diingat. Hari di mana ia telah melamar seorang anggota keluarga Van Der Lyn, Alexander sudah berjanji bahwa dia telah memaafkan apa pun yang menjadi perseteruan dua keluarga tersebut. Lelaki itu kemudian mendekat, menarik sudut bibirnya hingga membentuk senyuman, lalu mengambil tempat di sisi putrinya.
“Kamu bermimpi buruk, Princess?” tanya Alexander sambil memandang wajah sendu sang putri dan Aurora pun menganggukkan kepalanya.
Tak berselang lama, gadis kecil itu menarik dirinya dari pelukan sang ibu kemudian mendongak dan memandang dua orang yang berdiri tak jauh dari belakang punggung ibunya.
Saat melihat wajah bibi dan pamannya, Aurora pun tersenyum. Tak begitu dengan Canadia yang malah mendesah lega. Gadis itu menoleh ke samping, memandang kakak sepupunya.
Wajah Leonard yang tadinya tampak tegas tak berekspresi kini sedang mencoba menarik sudut bibirnya ke atas dan membentuk senyum simpul di wajahnya.
“Lama tak bertemu dan sekarang kamu mau tidur sepanjang hari?” tanya Leonard. Letty pun tersenyum sambil memandang putrinya lalu ia mengusap puncak kepala Aurora. Tatapan Aurora kemudian tertuju pada Canadia. Gadis kecil itu menatap bibinya dalam tatapan diam yang cukup lama, membuat Canadia kembali mendesah lirih.
“Oh ... Peanut ... aku minta maaf telah membuatmu takut,” gumam Canadia. Dengan wajah sendu dan pandangan memelas, ia pun mendekat. Gadis itu berlutut di sisi ranjang, meraih satu tangan Aurora sambil memandang wajah keponakannya itu dalam tatapan diam.
“Are you okay?” tanya Canadia dengan nada lembut dan Aurora menggelengkan kepalanya.
“Seharusnya aku yang bertanya, apakah ibu Cana baik-baik saja?”
Sungguh, wajah Aurora terlihat sangat manis saat bertanya pada bibinya dan hal itu membuat Canadia bangkit dan berniat untuk meraih tubuh Aurora, tetapi saat Canadia ingat bahwa beberapa jam yang lalu dia membuat keponakannya itu pingsan, maka Canadia pun menunda gerakannya.
Gadis itu memalingkan wajah dan beralih memandang kakak sepupunya yang duduk di dekatnya. Letty tersenyum simpul. Wanita itu kemudian meraih satu tangan Canadia lalu menarik gadis itu untuk secara perlahan duduk di sampingnya.
“It’s okay, tak ada yang perlu ditakuti, Canadia,” ucap Letty. Sambil membelai belakang kepala Canadia, ia pun memandang gadis itu dan terus mengukir senyum di wajahnya.
“Dia baik-baik saja. Aurora kita kuat.” Ucapan Letty membuat Canadia kembali mendesah lirih untuk ke sekian kalinya. Gadis itu kemudian menundukkan kepalanya. Ia mengulum bibirnya rapat-rapat dan seolah sedang berusaha membangkitkan sesuatu di dalam dirinya. Setelah merasa lebih baik, Canadia pun akhirnya mendongakkan wajahnya dan kembali memandang Aurora. Canadia tersenyum dan terkekeh kemudian.
“I’m okay,” ucap Canadia sambil menganggukkan kepalanya.
Namun, seolah tahu persis apa yang sebenarnya dirasakan oleh bibinya, Aurora pun tak bisa tersenyum. Bahkan gadis itu tengah memicingkan matanya, memandang sang bibi dengan tatapan menyelidik.
“Benarkah?” Aurora pun akhirnya bertanya. Canadia yang mendengarkan pertanyaan itu kemudian membulatkan matanya. Sontak, ia menoleh ke samping dan memandang kakak sepupunya dengan wajah tertegun dan mulut yang setengah menganga.
“Y—ya!” jawab Canadia setengah ragu dan tentu saja Aurora bisa merasakannya dengan jelas.
“Aku tidak yakin,” ucap Aurora. Bola matanya bergulir ke bawah. Tanpa aba-aba, gadis kecil itu langsung mendekat lalu meletakkan telapak tangan kanannya di depan d**a Canadia.
“I know it hurts.” Ucapan Aurora membuat Canadia juga menoleh ke bawah. Ia pun mengikuti arah tangan Aurora.
“Hatimu berkedut dengan rasa sakit. Aku melihatmu menangis di dalam sini.”
Apa yang dikatakan oleh Aurora membuat Canadia memejamkan matanya. Ketika tangan kecil itu menyentuh tepat di depan dadanya, hati Canadia mencelos perih. Aurora seolah tahu bagian mana yang terluka cukup parah dan Canadia tak bisa menyangkalnya.
“Is it okay?” Aurora kembali bertanya yang sontak membuat Canadia menganggukkan kepalanya.
“Yeah,” gumam Canadia. Kedua tangannya bergerak dengan cepat, menyeka pipinya. Canadia pun terkekeh dan kembali menganggukkan kepalanya.
“Are you sure?”
“Yeah!” jawab Canadia. Sekali lagi dengan anggukkan kepala. Wanita muda itu kemudian menguatkan hatinya dan berusaha memberikan senyuman di wajah. Canadia pun beralih dengan memegang kedua tangan Aurora dan memandangnya lekat-lekat.
“Aku baik-baik saja, Sayang. Bahkan saat aku terluka, aku akan baik-baik saja. Kau tahu, kadang kala ada sesuatu yang membuat manusia terluka, tetapi semuanya akan membaik seiring dengan berjalannya waktu,” ujar Canadia.
Aurora terdiam selama beberapa detik lalu akhirnya ia pun mengedikkan kedua sisi bahunya lalu memalingkan wajahnya.
“Aku tidak tahu, Ibu Cana.” Ucapan polos itu lantas membuat Canadia terkekeh. Sekali lagi ia memandang ke samping pada Letty.
Letty pun tersenyum simpul. Ia beralih memandang putrinya lalu mengusap puncak kepala Aurora.
“Ibu Canadia baik-baik saja, Aurora. Sekarang kamu harus dengarkan Ibu. Kamu akan ikut dengan ayahmu kembali ke New York sementara Ibu dan paman Leonard akan menemani Ibu Canadia di sini. Bagaimana, apakah kamu setuju?”
Sesaat Aurora terdiam. Bola matanya bergulir ke arah sang bibi kemudian ia pun menganggukkan kepalanya segera.
“Hem,” gumam Aurora. Semua orang dibuat tersenyum.
“Terima kasih, Sayang, kamu sangat pengertian,” ucap Letty.
Canadia pun maju. Kali ini dia tak ragu memeluk tubuh keponakannya. “Thank you, peanut,” gumam Canadia.
“Lekas sembuh, Ibu Cana.”
Canadia terkekeh. “Ya, tentu,” gumam gadis itu. “aku pasti akan sembuh karena aku punya keluarga yang hebat,” ujar Canadia.
Letty dan Leonard mendekat. Bersama-sama mereka memeluk Canadia. Letty pun menoleh ke belakang lalu mengulurkan tangannya meminta sang suami untuk mendekat. Alexander tersenyum simpul, ia pun berjalan menghampiri sang istri lantas menggenggam tangannya.
“Senang melihat kalian bersama,” ujar Alex. Letty hanya tersenyum menanggapinya.
“Hem,” gumam Letty.
Semua orang hanya tak tahu bahwa kakak beradik Van Der Lyn itu hanya sedang menyiapkan diri karena mungkin ini adalah pelukan terakhir mereka.