“Hey!”
Panggilan dengan nada lembut itu membuat Letty Van Der Lyn bergeming. Wanita muda itu langsung menegakkan tubuhnya. Sebaris senyum pun terukir pada wajah yang sedari tadi terlihat lesu itu. Letty pun segera menghampiri sang suami yang datang sambil membawa gelas porselen berwarna putih yang sedang mengepulkan asap tersebut.
“Kubuatkan cokelat hangat. London sangat dingin malam ini,” ujar Alexander. Pandangan Letty langsung turun pada gelas porselen di tangan suaminya. Letty pun tersenyum melihat apa yang dibawakan Alexander untuknya.
“Pekerjaanmu sudah selesai?” tanya Letty.
Alexander pun tersenyum. Ia pun menganggukkan kepala dan segera merangkul tubuh sang istri lantas memberikan kecupan pada puncak kepala Letty.
“Ya. Kulihat ada mobil Leonard di bawah, haruskah aku menghampirinya?”
Pertanyaan yang baru saja keluar dari mulut Alexander lantas mengurungkan niat Letty untuk menyesap cokelat panas dari dalam gelas porselen di tangannya. Tampak kedua sisi alis Letty melengkung ke tengah dan membuat dahinya terlipat. Secara perlahan, gadis itu mulai mengangkat alisnya hingga mendongak dan memandang sang suami.
Alexander tampak menarik sudut bibirnya ke atas dan membentuk senyum simpul. Tangan kanannya bergerak menuju ke belakang kepala Letty, ia pun membelai rambut sang istri dengan gerakan lembut. Sungguh pun, usapan itu membuat Letty memejamkan matanya.
Tak tahan dengan kelembutan yang diberikan oleh suaminya, Letty pun memilih untuk merebahkan kepalanya ke depan d**a Alexander dan lelaki itu menerimanya dengan sukacita.
Ketika Letty meletakkan wajahnya di depan d**a Alexander, ia pun dapat mendengar dengan jelas detak jantung suaminya serta desahan napas panjang yang baru saja mengalun keluar dari mulut Alexander.
“It’s okay, kamu tidak perlu menemuinya jika kamu tidak ingin,” gumam Letty. Alexander terkekeh.
“Kenapa aku tidak ingin menemuinya? Dia adikmu dan secara harfiah dia adalah adikku juga. Well, dia adik iparku,” ujar Alexander. Letty tersenyum simpul, ia pun mendongak, memandang wajah sang suami.
“Hem,” gumam Letty. Dengan satu tangannya yang terbiar, ia pun menempelkan telapak tangannya pada pipi Alexander dan membelainya dengan lembut.
“Kamu memang benar, tapi sepertinya suasana hati Leonard sedang tidak baik. Aku hanya ingin menyelamatkan suamiku dari ucapan sarkasme dari adikku.” Ucapan Letty sekali lagi membuat Alexander terkekeh. Lelaki itu kembali mendekap erat tubuh Letty pun membelai sisi tubuhnya.
“Well, aku tidak heran lagi. Dia seorang Van Der Lyn,” ujar Alexander. Letty pun tersenyum kecut. Wanita muda itu menegakkan tubuhnya lalu mulai menyesap cokelat panas yang diberikan oleh suaminya.
“Oh ya,” Alexander kembali berucap dan sejenak dia menoleh ke belakang, seolah ingin memastikan sesuatu. Sejurus kemudian, ia kembali memandang istrinya.
“Aku serius bekerja sedari tadi, tapi aku punya firasat. Dan sepertinya firasatku benar, apakah putri kita baik-baik saja?”
Pertanyaan dari Alexander lantas membuat Letty mendelik. Refleks, ia pun memutar wajahnya ke belakang, sekadar mengecek keadaan putrinya.
“Ah ... itu ....”
Jantung Letty langsung berdegup dengan kencang dan seketika membuat Alexander tersenyum simpul. Lelaki itu kembali membelai belakang kepala istrinya.
“Sayang, kamu tahu kalau kamu tidak pandai berbohong. Katakan saja padaku apa yang terjadi karena kamu pun tahu bahwa aku tak bisa marah padamu,” ujar Alexander.
Letty diam sejenak dengan mulut yang menganga dan tertahan. Namun, sejurus kemudian ia pun mendesah kasar. Letty membalikkan tubuhnya dan kembali menaruh kedua siku tangannya di atas pembatas balkon.
“Seperti yang kamu tahu, Aurora punya kemampuan untuk merasakan emosi dari orang lain,” ujar Letty. Ia menunda sejenak. Menoleh ke belakang dan melihat reaksi Alexander. Lelaki itu hanya mengerutkan dahinya.
“Ya, lalu?” tanya Alexander. Letty kembali mendesah berat dan membawa pandangannya ke depan.
“Saat Canadia pulang, dia langsung berlari ke luar dan memeluk Canadia. Di saat yang sama, alam bawah sadarnya mendeteksi emosi dari Canadia. Dia pingsan dengan hidung yang mengeluarkan darah,” ujar Letty.
Sekejap Alexander terdiam. Sesaat kemudian dia memejamkan mata lalu mendesah kasar. Lelaki itu kemudian menghampiri istrinya dan sekali lagi meletakkan tangannya di atas pangkal bahu dari Letty sebelum menariknya ke dalam pelukan.
Tidak ada kalimat yang keluar dari bibir Alexander. Dia pun hanya mendekap erat tubuh Letty dan memberikan kecupan pada puncak kepala Letty.
“Alex, Leonard sudah mendapatkan keberadaan paman dan dia berada di markas Yakuza,” ujar Letty. Ia mendongak, memandang sang suami dengan tatapan sendu. Alexander yang melihatnya lalu mengerutkan dahi.
“Yakuza?” tanya Alexander. Letty kembali mendesah. Ia tak sanggup melihat raut wajah Alexander sehingga ia memilih untuk memalingkan wajahnya.
“Ya, Yakuza. Salah satu sindikat yang setara dengan Black Glow, sindikat milik ayahku.” Ucapan Letty membuat bulu kuduk Alex berdiri tegap. Kedua sisi alisnya pun melengkung ke atas.
“s**t!” gumam Alexander. Sekali pun Alexander tak pernah bertemu langsung dengan kawanan mafia milik keluarga Van Der Lyn, tetapi selama ini dia sudah mendengar rumor soal mereka. Terlebih, salah satu anggota Black Glow adalah penyebab kematian dari ibu kandung Alexander.
“Ya, Alex!” Letty menekan ucapannya dan kali ini dia berani menghadap sang suami. “mereka telah kembali dan aku punya firasat yang aneh. Melihat foto yang diberikan oleh Leonard, paman Lucas berdiri di sisi kanan Tsukasa dan menurut tradisi para pemimpin, orang-orang yang berdiri di sisi kiri dan kanan mereka adalah orang kepercayaan mereka. Itu berarti pamanku adalah—“
Belum sempat Letty meneruskan ucapannya, Alexander sudah kembali mendekap tubuhnya. Lelaki itu mendekap Letty lebih erat dari sebelumnya dan sekali lagi menempelkan bibirnya pada puncak kepala Letty.
Mendapatkan pelukan itu membuat Letty tak dapat menyembunyikan kesedihan dan kekhawatirannya yang sedari tadi membuat pikirannya kacau. Letty pun ikut mendekap tubuh Alexander.
“Sayang, tenanglah. Jangan pikirkan apa pun dan jangan membuat asumsi terlebih dahulu. Pertama-tama kita harus bersyukur karena pamanmu telah ditemukan. Bukankah itu yang selama ini kamu nanti-nantikan?”
Letty menganggukkan kepalanya di dalam pelukan Alexander. “Hem,” gumam Letty.
“Kalau begitu setidaknya kamu sudah tahu di mana keberadaan pamanmu. Sayang, aku di sini dan aku siap melakukan apa pun untuk—“
“Tidak,” sergah Letty kali ini wanita muda itu menggelengkan kepalanya. “satu-satunya yang bisa kamu lakukan adalah membawa Aurora kembali ke rumah.”
Alexander mendelik, kaget. “What?!” pekiknya.
“Ya, Alex. Aku dan adik-adikku yang akan pergi dan menjemput pamanku.”
“Letty, tapi—“
“Alex, dengarkan aku!” tandas Letty. Dengan satu tangannya ia menangkup wajah Alexander dan itu cukup untuk membuat Alexander diam.
“Kami terlahir dari keluarga yang punya sejarah kelam. Sampai saat ini masih ada dua orang kepercayaan dari ayahku yang masih setia membantu keluarga kami. Walaupun tak cukup kuat, tetapi kami punya orang-orang yang sudah menghabiskan setengah bahkan seluruh perjalanan hidup mereka untuk menghadapi situasi genting dan bahaya, jadi—“
“Letty, aku mohon, sekali saja.”
“Tidak, Alexander. Kau dan Aurora adalah orang awam. Jika aku membawa salah satu dari kalian, maka risikonya akan sangat besar. Alex, aku tidak bisa meletakkan dirimu dalam bahaya. Jika sudah berada di sana, tujuan kami hanyalah untuk membawa pergi paman. Kami juga belum tahu bagaimana situasinya.”
“Tapi kamu juga berada dalam bahaya, Letty. Bagaimana kalau—“
“Aku tidak akan mati di sana!” sergah Letty. Dari raut wajah Alexander, dia seolah sudah tahu apa yang ingin dikatakan oleh suaminya.
“Jika aku mati, maka aku akan mati di dekatmu. Kita akan berbaring di ranjang yang sama dengan rambut yang sudah berubah warna. Kita akan berpegangan tangan dan berpelukan di atas ranjang yang hangat. Bukankah kita sudah berjanji?”
Ada sesuatu yang mencelos perih dari dalam hati Alexander dan membuatnya memejamkan mata. Lelaki itu mendesah lirih dan hanya bisa berpasrah ketika tak ada sesuatu yang dapat membuatnya menolak ucapan dari Letty.
“Aku akan baik-baik saja, Sayang.” Ucapan Letty kali ini lantas membuat Alexander tak dapat menahan kesedihannya. Ia pun menangis tersedu-sedu di dalam pelukan sang istri. Betapa pun, Alexander pernah melihat bagaimana Letty memegang senjata dan membidik seorang lelaki yang tak lain adalah teman masa kecil Letty.
Alex tahu bagaimana hancurnya hati Letty ketika melakukannya. Alex juga yang kerap kali mendengar teriakan Letty di malam hari saat ia terbangun dalam mimpi buruk sambil berteriak jika tubuhnya berlumuran darah.
Letty telah mengakui semua dosanya di hadapan Tuhan dan kepada suaminya. Mendengar jika Letty akan ke markas salah satu kawanan penjahat, maka Alexander dapat memastikan bahwa akan terjadi pertumpahan darah di sana.
Walaupun Alexander yakin jika istrinya akan selamat, tetapi dia tahu persis bahwa efek samping yang akan terjadi setelah kejadian tersebut akan jauh lebih besar dan berkali-kali lipat dari apa yang sudah dan sementara dirasakan oleh Letty.
“Please be careful and please come back to me.”
“Yeah!” gumam Letty. Ia mendongak, sekali lagi memandang suaminya dan dalam tatapan nanar, Letty pun berkata.
“I promise.”
Alexander makin tak dapat menahan air matanya. Ia pun kembali memeluk sang istri dan mendekapnya dengan erat.
Malam penuh air mata dan haru ini terjadi di rumah sewa milik Canadia Van Der Lyn. Semua orang punya firasat bahwa apa yang akan mereka hadapi sebentar lagi adalah hal yang tak pernah mereka hadapi sebelumnya.
Semilir angin berembus ke arah mereka, membuat semua orang yang berada di sana menengadah ke langit. Angin seolah ingin memberitahu kepada kakak beradik Van Der Lyn itu untuk segera bersiap menghadapi takdir mereka.